“Tiap utan ade macannye, tiap kampung ade Jago-Jagoannye.”
Ungkapan masyarakat tradisional Betawi, yang mendeskripsikan bahwa di Tanah Betawi begitu banyak tokoh-tokoh fenomenal pelopor perlawanan yang memiliki kemampuan berlebih di bidang personaliti, terkait kharisma dan kekuatan fisik yang didukung oleh keahlian dalam ilmu bela diri pencak silat dimana masyarakat setempat menyebutnya sebagai Maen Pukulan.
Sebut saja Entong Gendut dari Condet, Sabeni Jago Tenabang, Murtado Macan Kemayoran, Entong Tolo dari Pondok Gede, KH. Nur Ali Si Singa Krawang-Bekasi, H. Darip Generalissimo Van Klender, Safi’i van Senen, dan yang cukup fenomenal dan debatable Si Pitung dari Rawabelong, serta lain sebagainya yang kalau ditulis satu persatu tidak akan cukup satu halaman makalah ini.
Jago dan Jagoan Betawi merupakan khasanah kesejarahan yang muncul di masyarakat Betawi, baik sejarah tuturan lisan maupun historiografi mencatat eksistensinya. Memliki perjalanan yang cukup panjang, tidak kurang peneliti-peneliti sejarah KITLV Belanda seperti Margreet Van Till dan Henk Schulte Nordholt memfokuskan Jago dan Jagoan Betawi sebagai obyek penelitiannya.
Baca Juga:
Jika ditelusuri ke belakang, eksistensi Jago dan Jagoan di Tanah Betawi tidak terlepas dari istilah yang lahir di tanah Banten. Menurut sumber sekunder buku Sejarah Banten terbitan tahun 1954 yang disusun oleh TBG. Roesjan, hlm. 7, 10, dan 43, yang banyak mengutip dari sumber sejarah primer Babad Bayah dan Rante-Rante Banten.
Jago dan Jawara adalah dua istilah yang dibaratkan sebagai dua sisi uang logam. Eksistensinya tidak terlepas dari permainan sabung ayam jantan yang telah terlebih dahulu ada di tanah Banten, dan mulai dikenal pada tahun 1248.
Etimologi istilah Jago merupakan kata serapan dari bahasa Portugis, yaitu Jogo (baca: lafal Portugis Zhaogo) yang secara harfiah memiliki arti permainan atau pertandingan (adu). Istilah Jogo dimunculkan oleh para pedagang Portugis yang sangat senang menyaksikan permainan sabung ayam yang banyak dilakukan oleh masyarakat setempat, utamanya di kalangan para Jawara.
Bermula di tahun 1525-1526 ketika seorang pedagang Portugis bernama Dom Jorge De Meneses mendirikan sebuah bazaar tempat barter dan penampungan barang dagangan rempah-rempah, yang oleh masyarakat setempat disebut Bazar Menes. Nama bazaar ini diambil dari nama Dom Jorge De Meneses sebagai pendiri, didalamnya juga dibuat sarana hiburan dimana salah satunya adalah permainan sabung ayam jantan yang orang Portugis menyebutnya Jogo. Kata Jogo yang dilafalkan dalam bahasa Portugis Zhaogo oleh masyarakat lokal menjadi Jago.
Adapun istilah Jawara adalah istilah lokal untuk ayam jantan aduan (Jago) yang unggul dalam pertandingan (Juara), kemungkinan istilah jawara ini dipengaruhi dari para jawara yang saat itu banyak melakukan kegiatan permainan ini.
Sekalipun demikian istilah Jawara sudah ada jauh hari di masa kerajaan Sunda (Banten Girang), yaitu istilah yang dinisbatkan untuk seseorang yang berprofesi sebagai perantara antara raja dan kaula. Tidak saja sebagai perantara, sosok Jawara juga memiliki fungsi sebagai pengawal dan pembela raja.
Secara umum istilah Jago dan Jawara adalah julukan kepada seseorang yang ahli, namun istilah ini berkembang hingga akhirnya predikat Jago dan Jawara berubah menjadi istilah yang diberikan kepada orang yang ahli ilmu bela diri (pendekar pencak silat).
Istilah yang sama dengan Jawara adalah Jojoan yang lahir di lingkungan masyarakat Betawi, sebagai sebutan untuk orang-orang berpengaruh yang duduk di pemerintahan setingkat kelurahan mewakili rakyat, yang terdiri dari tokoh-tokoh non formal seperti tokoh agama dan masyarakat dan duduk sebagai Dewan Penasehat Lurah, seperti yang ditemukan di kelurahan Menteng Atas.