Ketika saya pertama tiba di Jakarta dari negeri Paman Sam alias Amerika, terdapat sebuah kios kecil yang tidak dapat dideskripsikan di Jalan Wolter Monginsidi, jalan utama di Kebayoran Baru. Kios itu disebut Warung Gaul yang merupakan tempat nongkrong malam hari yang didesain untuk sekelompok pria menjelang akhir masa remaja atau usia awal 20-an. Warung itu semacam warung rokok, meskipun juga menjual makanan ringan, minuman, mie instan, dan beberapa peralatan kecil rumah tangga.
Beberapa langganan tetap Warung Gaul bekerja sebagai satpam di bank-bank dan kantor dekat sana, sementara lainnya bekerja sebagai pelayan restoran, asisten mekanik, atau buruh. Mereka berasal dari berbagai latarbelakang etnik dan bahasa, termasuk Jawa, Sunda, Betawi, dan Minang.
Di sana bahkan ada seorang pemuda ramah berasal dari Aceh yang menjual makanan ringan yang kadang ikut berkumpul di Warung Gaul. Salah seorang pelanggan, seorang pria pendek dan berotot bernama Ucok, lahir dan dibesarkan di Lampung, sebuah provinsi di ujung selatan Sumatera. Kedua orang tuanya berasal dari Tasikmalaya, sebuah kota di Jawa Barat.
Ia bisa berbicara bahasa Sunda, Jawa, dan Indonesia meskipun ia tidak mengetahui bahasa Lampung, dialek Melayu yang digunakan di provinsi asalnya. Semua pelanggan beragama Islam, belum menikah, dan berusia menjelang akhir masa remaja atau baru tumbuh sebagai pemuda itulah.
Baca Juga:
- Budaya Event Bukan Konser Musik
- Dari Gerobak Kaset Keliling sampai Gelaran Lapak Underground
- Jasa Pengamen yang Dilupakan
“Gaul” adalah sebuah kata yang penting dan beraneka segi dalam budaya kaum muda Jakarta. Dalam penggunaan umum, kata itu dapat berarti bersosialisasi, keren atau trendi. Bergaul berarti berbicara dengan santai dan akrab. Maknanya dekat dengan bahasa Yahudi Amerika untuk “to schmooze”.
Variasi yang biasa digunakan adalah pergaulan, sementara kurang gaul berarti tidak tersentuh atau tidak mengikuti perkembangan terbaru. Dalam bahasa slang Jakarta, kata “kuper”, singkatan dari kurang pergaulan, berarti “tidak mengetahui” atau “tidak menyadari”.
Warung Gaul berada di beberapa blok dari sebuah salon bernama “Salon Gaul Jakarta”. Para pelanggan warung menyebut bahasa Indonesia Jakarta yang mereka gunakan satu sama lain sebagai bahasa gaul, bahasa yang digunakan antarteman. Bahasa ini, ketimbang bahasa Jawa rendah atau bahasa daerah lainnya, merupakan media sosialisasi dan pergaulan di Warung Gaul.
Pemilik pertama Warung Gaul yang saya temui adalah Ridwan. Ia adalah seorang migran berusia 23 tahun berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Ridwan, yang menyebut dirinya sebagai bos warung dan mungkin adalah orang yang memberikan nama pada warung tersebut, cukup disukai oleh pengunjung lainnya.
Ia tinggal di rumah kost dekat warung yang berada di belakang warnet. Ia bekerja purnawaktu di warung, sejak sekitar pukul 08:00–23:30 WIB, setiap hari kecuali Minggu. Setelah hari gelap, sebagaimana mobil, truk, bajaj, dan bus berbaris tidak kurang dari tiga meter dari bangku kayu, sekelompok pemuda berkumpul di warung untuk bernyanyi, mengobrol, bercanda, bermain kartu, atau hanya bersandar satu sama lain dan memandang ke ruang kosong.
Pada malam hari dapat terdengar suara pekikan dan cicit dari tiga tikus besar yang bersarang di belakang kios. Ridwan akan tertawa melihat ketidaknyamanan saya ketika mereka mendekati kami; “mouse my friend,” katanya dalam bahasa Inggris yang tidak fasih. Ciri khas lain dalam pemandangan malam hari ini termasuk pedagang keliling nasi goreng dan siomay, para pejalan kaki, dan bahkan pelanggan tambahan yang mencari rokok.
Pada petang hari, kebisingan lalulintas pada jam sibuk seringkali menenggelamkan suara musik yang berasal dari gitar dan biasanya dimainkan oleh salah seorang pelanggan warung secara perlahan, lalu bernyanyi dengan suara pas-pasan. Ketika hari semakin malam, penampilan tunggal ini akan berganti menjadi permainan musik kolektif yang riuh ketika seluruh grup bergabung dalam nyanyian.
Seringkali tampaknya, seolah-olah percakapan di Warung Gaul tidak lebih ketimbang saling tuduh kegilaan semata. “Ia gila!” para pelanggan akan berkata sambil menunjuk seorang teman, atau mereka akan menempatkan jari telunjuk secara diagonal di kening mereka—tanda untuk miring kepala, sebuah ungkapan yang berarti otak yang cacat atau hilang—dan gerakan tubuh ke arah penerima candaan.
Humor merupakan aspek penting dalam interaksi di Warung Gaul, dan beberapa candaan serta permainan kata khusus diucapkan berulang kali. Salahsatu yang menjadi favorit adalah untuk mengatakan seseorang yang bekerja sebagai “pengacara”, yang kemudian berubah menjadi bentuk singkatan dari “penganggur banyak acara”. Hal lainnya adalah ungkapan multibahasa no money, nodong; no cewek, nongkrong.
Ungkapan itu adalah pernyataan yang sesuai dengan budaya nongkrong: pertama, ungkapan tersebut menyatakan bahwa menggunakan kejahatan untuk mendapatkan apa yang tidak bisa didapatkan, setidaknya selalu merupakan kemungkinan retorik bagi kaum muda Jakarta yang tidak kaya, ketika rasa kekurangan yang relatif diciptakan oleh kekayaan di sekitarnya menjadi terlalu sulit untuk dipikul. Kedua, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa selain menjadi kegiatan yang menyenangkan, nongkrong juga menjadi semacam hiburan.
Para pelanggan di Warung Gaul dengan mudah mengakui bahwa jika mereka mempunyai uang atau kekasih, maka mereka tidak akan menghabiskan seluruh waktu mereka untuk nongkrong di pinggir jalan. Selain itu, telah menjadi pengetahuan umum bahwa kebanyakan dari mereka menderita “kanker”—sekali lagi bahasa gaul singkatan dari “kantong kering”—sepanjang waktu.
Berbagai keinginan yang diekspresikan melalui pertunjukan para pelanggan Warung Gaul ketika menyanyikan lagu-lagu sedih, sentimental patah hati dan kekecewaan dapat dianggap sebagai respon atas keadaan ini. Memang, malam-malam di Warung Gaul kelihatannya dicirikan oleh perbedaan setara antara kadar kehangatan persaudaraan dengan kedinginan rindu yang tidak berbalas.
Ridwan pernah berkata pada saya bahwa setelah saya pergi, sisa anak nongkrong akan begadang sepanjang malam dan terkadang pergi nongkrong ke Blok M, area perbelanjaan modern di dekat warung. Saya mempelajari kemudian bahwa sebenarnya kelompok ini bubar pada tengah malam, masing-masing kembali ke rumah kost mereka untuk tidur hingga pagi.
Ridwan juga acapkali menyombongkan diri bahwa ia mempunyai banyak kekasih di Tegal dan Jakarta, yang semakin hari membuat saya semakin skeptis perihal keberadaannya. Pada saat itu saya telah menyadari sebuah kebenaran: bahwa musik dan kegiatan nongkrong di Warung Gaul setiap malam merupakan satu-satunya sumber hiburan bagi kebanyakan pelanggan tetap di sana.
Kaum muda di Warung Gaul tidak menghabiskan seluruh waktu mereka dengan melakukan pertunjukan musik. Judi adalah hiburan umum lainnya, salahsatu yang sangat mereka gemari. Ssst…Ridwan adalah pejudi yang terkenal buruk, sering kehilangan lebih dari pendapatannya ngewarung selama seminggu dalam semalam.
Namun jelas bahwa dangdutan (pertunjukan informal dangdut) adalah hal penting dalam budaya nongkrong, begitu juga dengan pertunjukan gubahan musik vintage pop yang lambat dan sentimental yang dikenal sebagai “lagu nostalgia”. Selain itu, sementara seorang musisi dengan hanya ditemani gitar dapat memainkan lagu nostalgia, dangdutan yang tepat biasanya membutuhkan beberapa instrumen perkusi sebagai pelengkap gitar sehingga kegiatan dangdutan menjadi kegiatan yang lebih sosial.
Peniruan vokal melodi instrumen “fill-in” dalam lagu-lagu dangdut—gitar utama, suling, mandolin, dan sebagainya—juga merupakan bagian dari pertunjukan dangdutan. Lagu-lagu ini biasanya dinyanyikan dengan suara hidung yang berlebihan untuk meniru warna suara instrumen, terkadang dilakukan setelah salah seorang meneriakkan nama instrumen yang digunakan dalam rekaman asli: “suling!” “melodi!” “mandolin!”.
Dengan demikian, kelihatannya ada perbedaan halus antara pertunjukan lagu nostalgia dan lagu dangdut di Warung Gaul. Lagu nostalgia dianggap sebagai sebuah ungkapan kerinduan seseorang, sementara lagu dangdut dianggap sebagai keadaan yang lebih kolektif dan bersifat perayaan. Seringkali penampil tunggal lagu nostalgia menyanyi dengan pelan untuk dirinya sendiri, diabaikan oleh orang lain di sekitarnya. Sedangkan lagu dangdut biasanya menarik perhatian seluruh kelompok.
Di tengah perjalanan dalam kerja lapangan saya, Ridwan sakit dan kembali ke kampungnya di Tegal. Ia digantikan oleh Rizal, adik lelakinya yang mahir bermain gitar serta menguasai repertoar besar lagu-lagu pop dan dangdut. Peran Rizal menjadi penting dalam memperkuat identitas kolektif Warung Gaul; tidak lama setelah kedatangannya, ia mendekorasi bagian dalam warung dengan lukisan dan foto berbingkai dengan potongan-potongan kayu dan sedotan minuman plastik.
Ia juga menulis nama dan nomor telepon para pelanggan tetap (termasuk saya) di lantai kayu warung, serta menempelkan koin seratus rupiah di panel depan gitar milik warung untuk menirukan kenop suara dan nada gitar elektrik.
Rencana paling ambisius Rizal adalah mendapatkan gendang murah untuk dangdutan tiap malam di warung dengan menggabungkan sumber keuangan para pelanggan tetap. Sayangnya, para pelanggan tidak dapat menemukan gendang yang mampu mereka beli. Setelah tiga atau empat minggu mencari, gendang termurah yang mereka temukan seharga Rp 60.000—terlalu mahal, meskipun saya telah memberikan kontribusi yang tidak seberapa.
Faktanya, karena Rp 60.000 saat itu hanya US$8 lebih sedikit, saya tergoda untuk membelinya sendiri. Akan tetapi, saya memutuskan bahwa tindakan tersebut akan membahayakan hubungan timbal balik egaliter yang saya nikmati bersama dengan para pelanggan tetap warung, dan juga akan menimbulkan ketidaknyamanan sosial. Lagipula, tidak ada seorang pun yang meminta saya memberikan kontribusi lebih dari yang sudah saya berikan sebelumnya.
Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Jermy Wallach, Musik Indonesia 1997-2001, hlm. 141-144. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505