Berbagai kelompok etnis Nusantara meninggalkan namanya menjadi sebuah kampung di Jakarta. Akarnya panjang ketika Jakarta masih bernama Batavia dan menerapkan politik secara segregasi atau hidup terpisah berdasar kelompok etnisnya.
Etnis Bugis dari Sulawesi Selatan adalah salah satunya. Beberapa nama Kampung Bugis sampai kini masih dikenal, seperti di sebelah utara Jl. Tubagus Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, yang pada tahun 1687 pengelolaannya diserahkan kepada Arung Palakka bersama 400 pengikutnya dan disebut sebagai To’ Angke (Orang Angke). Begitu pula Kampung Bugis yang berada di sebelah utara Jl. Pangeran Jayakarta dan sebelah utara Jembatan Lima, yang pada tahun 1690 mulai jadi pemukiman orang-orang Bugis.
Di sisi lain pemukiman orang-orang Bugis ada yang dinamakan berdasar dari nama pimpinan, seperti nama Kampung Petojo yang disebut di atas, pengelolaan wilayahnya pada abad 17 diserahkan pemerintah kolonial Belanda kepada seorang pemimpin Bugis bernama Arungpattojo, terletak di sebelah utara Tanah Abang. Arungpattojo merupakan seorang raja wilayah di sebuah daerah yang sekarang masuk dalam Kecamatan Lili Riaja, kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.
Baca Juga:
- Kisah Setangan Kain Tutup Kepala Khas Betawi
- Jasa Kuli Sindang Cirebon di Kanal Batavia
- Tugur: Jaga Malam yang Dilupakan
Keberadaan etnis Bugis di Batavia tidak terlepas dari sosok Arung Palakka, Raja Bone yang mengungsi ke Batavia dalam rangka meminta suaka politik kepada pemerintah kolonial Belanda. Namun tidak semata-mata meminta suaka politik saja, dalam tradisi Bugis dan Sulawesi Selatan pada umumnya “hijrah” meninggalkan kampung halamannya juga didorong adanya pengalaman pahit yang dialami.
Kondisi yang tidak kondusif seperti perang atau ingin memperbaiki kehidupan berlandaskan pada Sirri na’ Pesse yaitu prinsip hidup masyarakat Bugis yang terdiri dari sirri dan pesse’. Sirri memiliki arti rasa bangga dan malu, sedangkan pesse’ berarti ikut merasakan penderitaan orang lain. Perasaan empati yang mendalam terhadap sekitar, seperti tetangga, kerabat, atau sesama kelompok sosial.
Di negeri seberang tradisi “buang diri” ini memotivasi orang Bugis untuk berlayar menempuh lautan luas dan menciptakan kehidupan baru di luar kampung halamannya, oleh karena itu banyak ditemukan kampung-kampung Bugis di beberapa daerah di Indonesia.
Sejak abad 19 telah banyak laporan-laporan yang mengatakan keberadaan perahu Bugis yang bersandar di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, dari Singapura hingga Papua dan dari Filipina hingga Australia. Bahkan ada yang mengatakan bahwa orang Bugis pernah berlayar menyeberangi Samudera Hindia sampai ke Madagaskar di Afrika, hal ini menimbulkan anggapan yang keliru dan tidak berdasar yang menyatakan bahwa Bugis adalah suku bangsa pelaut dan dikenal sebagai bajak laut ulung yang ada di Asia Tenggara.
Berbeda dengan suku pelaut, orang Bugis akan membuka lahan di tempat yang dituju dan menciptakan kehidupan baru. Ia tidak akan kembali hingga tercapai keberhasilan dan kesuksesan, dan inilah yang membedakan etnis Bugis dengan etnis perantau lainnya yang masih akan kembali ke kampung halamannya. Sebagaimana filosofi orang Bugis yang akan berlayar menyeberangi lautan “Kagesi sanre lopiE kotisu to taro sengereng”, yang bermakna di mana pun perahu ditambatkan di sanalah budi baik ditanamkan.
Peningkatan jumlah daerah komunitas Bugis-Makassar di Tanjung Priok, disinyalir terkait erat dengan mulai maraknya aktivitas kemaritiman setelah dipindahkannya pelabuhan utama Batavia oleh pemerintah Hindia Belanda dari Sunda Kelapa atau Pasar Ikan ke Tanjung Priok di akhir abad 19.
Lebih jauh baca buku:
Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta karya Robert Cribb yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505