Arsitektur Lapangan Merdeka

0
1547
Konsep awal Medan Merdeka dengan 'lapangan luas Koningsplein' di jaman pemerintahan Hindia Belanda di Batavia Lama. (Koleksi Museum di Belanda)

Setiap Pemerintah harus mendekati kemauan rakyat; inilah sepatutnya dan harus menjadi dasar untuk memerintah. Pemerintah yang tidak memperdulikan dan menghargakan kemauaan rakyat sudah tentu tidak bisa mengambil aturan yang sesuai dengan perasaan rakyat”.

Demikianlah tertata ucapan M. H. Thamrin (1894-1941) pada alas patung-dadanya di bagian Barat Lapangan Merdeka. Dengan itu, patung tersebut seharusnya terletak di Selatan, menghadap Balai Kota Jakarta.

Tetapi Lapangan Merdeka punya segudang persoalan selain letak patung. Pertanyaan dasar bagi siapa saja yang mau merancangnya adalah: keniscayaan manakah yang mau dinyatakan, fragmentasi atau sentralitas? Terkait dengan ini adalah pertanyaan kedua: mungkinkah ruang, landscape itu, menjadi subyek yang memiliki identitas tersendiri, bukan hanya pendukung dari obyek Tugu di tengahnya?

Rancangan yang sekarang berlaku telah mengagungkan sentralitas secara berhasil.  Rancangan terahir itu memang dibuat pada puncak kekuasaan Suharto di awal 90an. Namun ia gagal mengolah fragmentasi secara estetik-puitis. Padahal fragmentasi adalah hakekat dari lapangan ini, karena ukurannya yang kelewat besar (80 hektar).

Sebelum adanya Tugu Monas, sejarahnya pun adalah sejarah fragmentasi. Telah terdapat banyak parks di dalam keseluruhan park besar ini. Di belahan Utara pernah terdapat Helbach-park, Deca-park dan Fromberg-park, yang menjadi Taman Chairil Anwar dan Taman W.R. Supratman. Sementara di Selatan pernah terdapat ‘Pasar Gambir’ -cikal bakal Jakarta Fair sejak 1968- yang menjadi Taman Ronggo Warsito. Juga terdapat Hotel Koningsplein, yang kemudian menjadi kantor polisi, di sisi Barat, serta Stadion Ikada di Selatan Stasiun Gambir.

Pada tahun 1937, Karsten, peletak dasar tata-kota di Indonesia, dengan sengaja mengumbar fragmentasi. Ia mengajukan rancangan lapangan yang tidak mengandung pusat. Juga tidak mengandung sugesti kekuatan persatuan nasional (kolonial). Keseluruhan lapangan dibagi menjadi beberapa zona untuk berbagai kegiatan perkotaan. Semuanya mengacu kepada kepentingan warga  Batavia yang baru mendapat status ‘kotamadya’ (stadsgemeente) di 1926.

Memang suatu usaha sentralisasi pernah disarankan Treub, direktur Kebun Raya Bogor, pada masa puncak kekuasaan sentralistis kolonial, 1892. Tetapi ini hanyalah menegaskan jejak-jejak jalan silang setapak yang sempit dari Tahun 1860 yang disimpul di tengah. Tidak ada benda vertikal yang dominan. Sukarno-lah yang melakukan coup de maître (masterstroke)—sekali dan untuk selamanya—dengan membangun sebuah obyek vertikal, di tengah-tengah pula, tanpa kompromi. Sentralitas lalu menjadi keniscayaan yang tidak teringkarkan. Yang mungkin adalah menelikungnya dengan cara memberikan lebih banyak ruang dan identitas tersendiri untuk fragmen-fragmen yang membentuk kesatuan mosaik sebuah park untuk rakyat. Fragmen, seperti dalam arkeologi, semestinya berarti bagian-bagian berbeda yang bersama-sama membentuk satu kesatuan yang bermakna.

Baca Juga:

  1. Pesan Sukarno di Istiqlal
  2. Menteng dari Kota Taman Sampai Kebun Binatang, Politik, dan Ekonomi
  3. Sejarah Pembangunan HI dan Sekitarnya

Jalan silang yang sangat lebar berfungsi tunggal menunjang sentralitas dan monumentalitas Tugu. Kegunaan lain, termasuk untuk lalu lintas bermotor, tidak berarti. Akibatnya terjadi demarkasi  lapangan menjadi empat kuadran. Ini sangat merugikan kepentingan menyatukan keseluruhan lapangan bagi pemakai yang berekreasi. Jalan silang yang nyaman bagi pejalan kaki, seperti di banyak taman di dunia, seharusnya menjadi salah satu kunci sukses karena mengundang mereka memasuki dan melewatinya sebagai jalan pintas (short-cut) diagonal.

Seandainya semua kuadran ini disatukan lagi, dengan menanami habis jalan silang dan separoh jalan lingkar, akan dicapai keseimbangan antara ruang taman dan Tugu. Monumentalitas Tugu pun tidak akan terganggu, karena pasti tetap lebih tinggi terhadap pohon manapun. Keseluruhan ruang lapangan lalu akan menjadi subyek yang memiliki eksistensi tersendiri, bukan hanya berfungsi mendukung monumentalitas Tugu di pusat. Kesalahan utama rancangan sekarang adalah kerancuan maskulinistik yang menganggap ruang semata-mata sub-ordinat, sebagai penunjang obyek falik. Yang terakhir inilah yang dianggap punya identitas. Yang lain tidak, melainkan hanya sebagai penunjang dan penghiasnya.

Maka yang tertata baik hanyalah Tugu dan ruang yang langsung mengelilinginya. Makin jauh darinya, makin liar tidak tertata. Diferensiasi yang berarti hanyalah untuk mendukung sentralitas dan sakralisasi obyek vertikal itu sendiri: antara ring dalam dan luar, jalan silang, dan plasa di setiap kuadran yang menghadap ke Tugu.

Sedangkan sampah berserakan di kuadran Barat dan Timur, penuh rumput liar. Beberapa tempat di kuadaran Barat bahkan telah menjadi pangkalan pemulung. Penanaman pohon baru tidak memiliki konsepsi, tapi asal di tempat kosong. Bagian kuadran Barat sebelah Utara sebenarnya telah mempunyai suasana dan karakter taman yang khas melalui pengelompokan-pengelompokan pohon lama yang sudah matang.

Tetapi ia sekarang malah terancam menjadi kabur oleh tambahan pohon baru yang sembarangan, asal di tempat yang masih kosong. Dapat dibayangkan bahwa nantinya kawasan ini akan malah rata saja tanpa karakter, tanpa ada pembedaan gelap-terang, teduh-terbuka, pohon memayung dan pohon meninggi.

Merancang ruang lapangan sebagai subyek yang punya identitas tersendiri, akan melihat fragmentasi sebagai keniscayaan yang puitis. Tokh manusia hanya dapat merasakan satu ruang datar, tanpa dinding yang berarti, seluas maksimum 200 X 200 meter. Sebab, itulah jarak maksimum untuk hubungan pandangan, suara, dan jalan-kaki yang nyaman. Jadi alamiah, bila keseluruhan lapangan dibedakan menjadi bagian-bagian yang masing-masingnya seluas kurang lebih demikian.

Kebun Raya Bogor telah dirancang dengan pembagian serupa, masing-masing dengan koleksi tanaman yang berbeda, suasana yang berbeda, ketinggian yang berbeda, kebasahan yang berbeda, keteduhan dan cahaya yang berbeda, serta kesunyian yang berbeda. Pembedaan juga dapat dilakukan menurut jenis kegiatan, misalnya tempat demontrasi di depan Istana Merdeka.

Detail menjadi perhatian ketika orang melihat taman sebagai ruang yang hidup dan fungsional, bukan sebagai instrumen simbolis pendukung obyek. Maka terasalah keganjilan pada Patung M.H.Thamrin yang alasnya muncul begitu saja dari rumput di bawahnya, serta terjepit di antara dua jalur perkerasan yang melewatinya tanpa perhentian yang pantas, misalnya plasa yang cukup besar.

Patung Diponegoro serta “Rebutan Bendera” sungguh tidak memiliki makna apa-apa pada jarak dekat, karena tidak dapat dinikmati oleh sebab alasnya yang tinggi sekali, tidak berskala manusia. Sedangkan dari jauh terlalu banyak gesture dan detail yang kabur ketimbang postur yang tegas bicara. Justru patung-patung kecil seperti M. H. Thamrin dan Chairil Anwar yang dapat dinikmati sebagai momen reflektif, apalagi dengan membaca kutipan kata-katanya.

Bunga atau tanaman berwarna sangat kurang. Ground-cover berwarna hanya terdapat minim di sekeliling alas Tugu. Padahal, warna adalah salah satu ciri seni taman tropis. Bunga dan warna adalah alat diferensiasi alamiah, sebab senantiasa terdapat di tempat bercahaya banyak. Sedangkan jalur pejalan kaki dan bangku seharusnya dibuat pada kawasan di mana rumput tidak tumbuh karena terlalu teduh, dan karena itu juga merupakan tempat alamiah untuk berjalan-jalan dan duduk-duduk.

Jalur perkerasan di tepi kuadran Barat hanya berjarak sederatan pohon dari kaki-lima sepanjang jalan Medan Merdeka Barat. Mengapa kedua jalur ini tidak disatukan saja sehingga membentuk tepian lebar yang anggun? Jalur itu pun putus oleh pos polisi. Ironisnya, pada lokasi yang sama, dulu di tahun 50an, terdapat Kantor Polisi yang bersama-sama dengan beberapa bangunan lain membuat jengkel Bung Karno: “Kita harus singkirkan dari sini itu kantor polisi dan kantor telepon-telegraf. Di tengah-tengah harus dibangun monumen kemerdekaan Indonesia, dan ia harus terlihat dari jarak seratus kilometer”.

Dari akses pejalan kaki suatu sequence dapat dirancang agar Lapangan Merdeka lebih menarik untuk dimasuki. Pada saat ini hanya terdapat dua halte, masing-masing di Barat dan Utara, yang sangat sempit seadanya, asal menempel pada tepian Lapangan, sama sekali tidak diperlakukan sebagai ‘gerbang masuk’ utama ke dalam Lapangan. Stasiun Gambir malah terisolasi dari keseluruhan lapangan oleh jalan silang dan ring dalam yang berskala tidak manusiawi dan gersang. Disain akses dan kawasan gerbang masuk untuk pejalan kaki, adalah kunci sukses banyak park kota-kota di dunia. Misalnya: Dublin. Sebab hal itu penting untuk meningkatkan pengunjungan yang menjamin keamanan, serta sekaligus menampakkan hubungan yang hangat dengan lingkungan perkotaan di sekitarnya.

Kawasan selatan adalah yang paling buruk, karena terdapat lapangan parkir. Penyediaan lapangan parkir secara khusus, sama dengan pelebaran jalan, hanya akan memancing lebih banyak arus lalu lintas kendaraan bermotor yang akan memuncak sebagai ancaman terhadap keberadaan Lapangan sebagai park. Lagipula cara berpikir di belakang penyediaan parkir ini, yaitu sebagai pendukung gedung Balai Kota, adalah kesalahan besar. Setiap gedung harus menyelesaikan masalah internalnya sendiri, bukan memindahkan masalahnya ke lahan lain, apalagi sebuah park, yang menurut definisi berarti hijau bebas polusi. Lapangan Merdeka tidak semestinya menjadi penampung limpahan masalah dari tempat lain manapun.

Jadi sebaiknya kegiatan apa yang ditampung atau tidak ditampung di Lapangan Merdeka dan sekitarnya?

Karena suatu lapangan publik harus bersifat netral, dengan kekosongan nya sendiri menjadi kapasitas untuk menampung sebanyak mungkin kegiatan temporer masayarakat sipil, maka harus dihindarkan kegiatan-kegiatan yang bersifat sektarian serta dapat mengganggu kegiatan di bagian-bagian lapangan yang lain. Sedangkan sebagai ruang hijau paru-paru kota, maka harus dihindari sarana permanen yang dapat mengundang jumlah kendaraan bermotor dalam jumlah besar terkonsentrasi pada waktu-waktu tertentu.

Ketimbang memasukkan kegiatan aktif ke dalamnya, lebih baik menghubungkan Lapangan Merdeka secara baik-baik dengan kegiatan spesifik yang sudah ada di sekitarnya, sehingga tercipta komplementaritas yang saling mendukung. Misalnya hubungan dengan Museum Nasional (Barat), Galeri Nasional (Timur) dan kegiatan perkantoran di sekitarnya. Hubungan ini harus sungguh-sungguh, bukan lips-service, misalnya dengan memyediakan tempat penyeberangan yang mengundang (bawah tanah?). Alangkah menyenangkan, seperti di banyak kota lain yang manusiawi di dunia, bila para pekerja bisa menyegarkan dirinya sebentar ke Lapangan di tengah–tengah kesibukan harian.

Untuk itu di Lapangan justru harus disediakan cukup sarana dan prasarana yang ‘lunak’ saja seperti bangku, jalur pejalan kaki dan sepeda, tempat sampah, dan lain-lain yang sungguh-sungguh rindang, nyaman, aman dan bersih. Kebutuhan para penyandang kemampuan berbeda (diffables) harus dijadikan persyaratan.

Kebijakan mengkhususkan lingkungan sekitar Lapangan Merdeka hanya untuk perkantoran pemerintah malah mengaburkan maknanya sebagai “civic center”. Bukankah civic berarti justru harus ada lebih banyak kegiatan masyarakat yang beragam di sekitarnya, sehingga dapat saling menunjang dengan lapangan itu sendiri, tanpa harus mengurangi kehijauan dan kepasifan Lapangan itu sendiri, seperti akan terjadi bila diisi dengan kegiatan aktif? Bukankah lingkungan itu terlalu besar untuk menjadi monokultur?


Lebih jauh baca:

Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia karya Richard Robison yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, Shopee, atau WA ke 081385430505.

Batavia Awal Abad 20 karya H.C.C Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, Shopee, atau WA ke 081385430505.

Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia karya Peter Kasenda yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, Shopee, atau WA ke 081385430505.

Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830 karya Saleh As’ad Djamhari yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, Shopee atau WA ke 081385430505.

Sukarno, Tiongkok & Pembentukan Indonesia (1949-1965) karya Hong Liu yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, Shopee, atau WA ke 081385430505.

400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapakShopee, atau WA ke 081385430505.

Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak,  Shopee, atau WA ke 081385430505.

LEAVE A REPLY