Munculnya Bioskop-Bioskop Pertama di Jakarta

0
3067
Bioskop ORION Jakarta kota (Glodok) yang dibangun zaman Belanda sekarang pasar Harco

Bioskop apa saja yang muncul pertama kali di Jakarta, jenis film apa yang banyak diputar, apa persoalan yang dihadapi, siapa saja pengusaha bioskop pertama?

Tak selang lama setelah film pertama diputar di Batavia pada 5 Desember 1900, maka segera saja tontonan itu dipertunjukan di gedung permanen. Sejak saat itu pula muncul kelas-kelas bioskop dan kelompok kelas penonton.

Di ibukota provinsi selalu ada bioskop khusus untuk kalangan Eropa saja. Di Jakarta mulai di Bioskop Deca Park dan Bandung di Gedung Concordia. Bioskop Capitol, diseberang Masjid Istiqlal (sekarang sudah tidak ada), adalah bioskop Kelas I, Bioskop Kramat Theater, di wilayah Pasar Senen, adalah bioskop kelas II.

Selain itu, ada juga Bioskop Rialto, juga di Pasar Senen, yang merupakan bioskop kelas III—karena terletak di pinggiran dengan lingkungan masyarakat rendah.

Untuk orang kelas bawah lebih seronok nonton di bioskop semacam Rialto, dengan lingkungan yang kotor, tidak beda dengan lingkungan hidupnya sehari-hari. Di bioskop kelas III itu, mereka merasa lebih santai dan leluasa karena boleh angkat kaki sambil makan kacang atau pala manis.

Baca Juga:

  1. Profesi yang Punah Tukang Hirkop dan Tukang Minyak Tanah
  2. Film Pertama Masuk Jakarta
  3. Ondel-Ondel dan Korupsi

Sampai 1950-an, ketika transportasi belum memadai, ada kecenderungan bahwa pengunjung utama dari suatu bioskop adalah penduduk yang tinggal tidak jauh dari bioskop itu. Maka, tidak jarang penonton seperti sudah menjadi langganan dari bioskop tertentu.

Pihak manager bioskop juga mencarikan film-film yang cocok untuk penonton “langganannya”. Di Bioskop Orion di daerah Glodok atau Bioskop Mignon di Cirebon akan mengutamakan pemutaran film Cina. Adapun di Bioskop Cinema di Krekot mengutamakan film penuh perkelahian. Maka, penonton di daerah Glodok dan penonton di sekitar daerah Krekot terbina seleranya oleh selera film Cina atau selera film action murahan buatan Amerika.

Pada mulanya betul, usaha pemutaran film hanya dilakukan oleh orang Belanda. Orang Cina hanya menyewakan gedung. Ketika bioskop sudah menjadi bisnis yang bagus, maka orang Cina segera masuk, bahkan menguasai usaha perbioskopan. Pada 1925, sebagian besar bioskop berada di tangan orang Cina. Usaha bioskop adalah bisnis menengah yang memang merupakan bidang mereka pada saat itu. Akan tetapi, usaha bioskop ini adalah usaha yang banyak penyakitnya.

Film yang laku di bioskop A belum tentu akan laku di bioskop B, meskipun sama-sama bioskop kelas III. Sesama bioskop hampir selalu bersaing dalam memasang film. Hal ini dilakukan agar bisa lebih banyak menyedot penonton, bahkan agar bioskop saingannya “mati”.

Umpamanya, ketika bioskop A memutar film baru yang bagus, maka bioskop B, yang letaknya tidak begitu berjauhan, sengaja mendatangkan film yang lebih baru dan bagus meski sewanya mahal. Penonton bioskop A tersedot sekian hari sehinga bioskop A mengalami rugi.

Di samping itu, meski bioskop B tidak ada saingan, namun kalau hari hujan bioskop juga bisa sepi. Banyaknya risiko itu rupanya yang menjadikan bisnis ini kurang disukai orang Eropa. Adapun orang Cina perantauan memiliki keberanian dan keuletan yang diperlukan untuk menghadapi berbagai kesulitan dan risiko besar.

Orang Eropa yang mampu bertahan dalam bisnis ini, bahkan dijuluki “raja bioskop” di Bandung adalah F.F. Buse, warga negara Belanda yang konon berdarah Yahudi. Ia terus bertahan sampai tahun 1950-an. Hanya ada satu dua etnik lain yang ikut serta masuk dalam bisnis ini. Etnik Arab, umpamanya, seperti Bioskop Alhambra di Malang adalah milik Hasan Surkati dan Bioskop Alhambra di Sawah Besar Jakarta milik bin Shahab.

Dominasi keseluruhan usaha bioskop terus berada di tangan etnik Cina. Organisasi Ikatan Bioskop Hindia Belanda (Nederlands Indische Bioscoop-bond), yang berdiri tahun 1934, mayoritas anggotanya adalah bioskop milik Cina. Ketuanya adalah Holthaus, orang Belanda, direktur Bioskop Central di Bogor.

Bioskopnya sendiri milik Cina. Pengangkatan Holthaus bukan mustahil untuk memudahkan hubungan dengan pihak pemerintah dan importir film Barat yang dimonopoli orang Barat. Pengurus di bawah Holthaus semuanya Cina, yakni bendahara Van der Ie pemilik Bioskop Centrale di Jatinegara, komisarisnya Yang Heng Siang pemilik Bioskop Globe Pasar Baru dan Oey Soen Tjan pemilik Bioskop Cinema di Krekot, Sawah Besar.

Artikel dikutip dari buku H. Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950, hlm. 27-33

Untuk menghadapi harga iklan yang semakin tinggi, bioskop-bioskop terkemuka di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) pada 1935 mulai menerbitan Bioscoop Courant. Kata pengantar penerbitan nomor perdana ini menjelaskan bahwa beban bioskop saat ini sudah begitu berat, tapi koran-koran di Jakarta tidak memberikan toleransi dalam harga iklan. Tidak seperti penerbitan di Surabaya. Koran besar seperti Java Bode dan Niews van den Dag malah memperlakukan usaha perfilman sebagai “sapi perah” yang menguntungkan pada masa pasaran iklan sedang menurun saat itu.

Masalah penting yang juga disinggung pada kata pengantar itu adalah mengenai besarnya beban pajak yang dikenakan oleh pemerintah. Padahal, harga karcis terpaksa turun (tidak dijelaskan kenapa turun, tapi bisa diduga karena saat itu negeri ini sedang dilanda zaman malaise).

Redaktur sambil lalu mengingatkan pemerintah, bagaimana jadinya suatu kota besar tidak memiliki bioskop? Bagaimana ribuan penduduk bisa mendapatkan hiburan yang beradab? Diakuinya bahwa bioskop memang suatu usaha komersial, tapi bisa disangkal, katanya, film telah mengabdikan diri kepada masyarakat.


Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku H. Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950, hlm. 27-33. Informasi bisa kontak langsung ke WA 081385430505

LEAVE A REPLY