Kalau tukang minyak tanah pasti banyak yang tahu, meskipun sudah hilang beberapa waktu lalu, tetapi apa ada yang tahu tukang hirkop? Ada bilang ini zaman disruptif, yaitu zaman teknologi dan inovasi baru menggantikan yang lama, termasuk tukang minyak tanah dan hirkop.
Kata hirkop menurut ucapan lidah rakyat berasal dari bahasa Belanda huurkoop yang berarti sewa-beli, tetapi lazim diartikan sebagai kredit atau pembelian dengan pembayaran secara berkala.
Tukang hirkop atau tukang kredit sampai akhir 1950-an berkeliling gang, keluar-masuk kampung dengan keranjang besarnya membawa berbagai barang keperluan rumah seperti piring, gelas, mangkuk, panci, teko, sendok, dan berbagai macam barang lain.
Barang-barang tersebut ditawarkan dengan sistem kredit. Angsuran kredit bisa dibayar setiap hari, setiap minggu, atau tiga hari sekali tergantung kesepakatan. Oleh karena itu tukang kredit melengkapi diri dengan sebuah buku catatan yang berisi nama-nama orang yang berutang serta catatan setiap angsuran. Buku catatan tidak pernah tertinggal, selalu dipegang oleh tukang kredit.
Baca Juga:
- Sabeni Jago Tanah Abang dan Elit Silat Betawi
- Ondel-Ondel dan Korupsi
- Masjid Tua Al-Makmur Tanah Abang
Para tukang hirkop ini biasanya membeli secara kontan barang-barang tersebut di pasar Tenabang. Tetapi ada pula yang ngutang dulu pada sebuah toko yang menjadi bosnya. Nanti—sesuai dengan perjanjian—harga barang-barang dilunasi. Kerjasama ini memang saling menguntungkan.
Hampir semua tukang hirkop yang berkeliling di wilayah Tenabang dan kampung- kampung di sekitarnya adalah orang Sunda dari Tasik (alias Tasikmalaya). Tidak ada orang dari daerah atau tempat lain. Motifnya tidak terlalu jelas memang karena narasumber yang dimintai keterangan tidak bisa menjelaskan.
Sekarang ini semua tukang Hirkop yang dulu berkeliling dari gang ke gang, dari kampung ke kampung di wilayah Tenabang dan Karet sudah tidak ada. Entah di daerah lain. Penyebabnya adalah pertama, barang-barang yang diperdagangkan secara kredit sudah mudah didapat. Kedua, di wilayah Tenabang dan Karet sudah tidak ada lagi kampung-kampung yang tersisa akibat pembongkaran untuk pembangunan.
Lihat saja daerah Karet dan Kuningan yang pada 1950-an masih berupa kampung yang lebat dengan pepohonan, kini sudah menjadi kota modern tanpa orang Betawi di dalamnya.
Selain tukang hirkop, termasuk yang hilang di Jakarta adalah tukang mintak tanah.
Padahal dulu, tukang minyak tanah ini telah melenyapkan profesi tukang kayu bakar. Sampai pertengahan 1950-an orang-orang kampung di wilayah Tenabang masih memasak dengan menggunakan kayu bakar. Kayu bakar itu dijual di warung-warung dalam jumlah yang cukup. Tetapi menjelang berakhirnya tahun 1950-an, memasak dengan menggunakan kayu bakar mulai ditinggalkan dan berganti dengan menggunakan kompor minyak tanah.
Sejalan dengan penggunaan kompor minyak, bermunculan bisnis sektor nonformal lain, yaitu adanya tukang minyak tanah keliling yang dalam operasinya selalu berteriak dengan nyaring meneriakkan kata “minyak!”. Pada saat memasak dengan kayu bakar, orang-orang kampung di sekitar Tenabang membeli minyak tanah hanya untuk penerangan lampu minyak.
Di daerah Tenabang yang termasuk bagian kota seperti Kebon Jahe, Kebon Kacang, dan Kampung Bali sudah tersedia fasilitas listrik, tetapi di kampung-kampung fasilitas listrik belum ada. Begitupun di wilayah Tenabang kota yang sudah ada fasilitas “gas kota” untuk memasak sementara tidak demikian dengan di kampung-kampung.
Dengan adanya perubahan memasak dari menggunakan kayu bakar menjadi kompor, kebutuhan minyak menjadi bertambah. Hal ini menyebabkan bisnis keliling menjual minyak tanah menjadi semakin marak. Pangkalan minyak tanah—tempat para pedagang minyak keliling mengambil barang dagangannya untuk di jual—pun bertebaran di segala tempat.
Sekarang ini pedagang minyak tanah keliling sudah tidak ada di wilayah Tenabang dan bahkan juga di seluruh Indonesia. Hal ini karena sejak pertengahan tahun 2000-an pemerintah memutuskan kebijakan untuk mengkonversi bahan bakar minyak (tanah) dengan gas. Alasannya gas lebih bersih dan lebih modern ketimbang minyak tanah.
Akan tetapi kebijakan ini menelan banyak korban, yakni hilangnya mata pencaharian tukang minyak keliling, pangkalan minyak, serta pembuat dan penjual kompor minyak tanah. Tetapi ada juga yang diuntungkan, yaitu mereka yang mengimpor puluhan juta tabung gas dan kompor gas.
Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Abdul Chaer, Tenabang Tempo Doeloe hlm. 175-180. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee atau kontak langsung ke 081385430505