Film Pertama Masuk Jakarta

0
2823
Bintang Betawi 1905

Hanya dalam tempo lima tahun, setelah ditemukan teknologi yang bisa memproyeksikan gambar-gambar hidup bergerak ke atas layar. Kota Batavia sudah bisa menikmatinya penemuan ajaib itu. Di sebuah rumah di Tanah Abang film pertama diputar. Laki perempuan nontonnya dipisah.

Pada 30 November 1900, harian Bintang Betawi memuat pengumuman dari perusahaan Nederlandsche Bioskop Maatschappij, bahwa sedikit hari lagi akan memperlihatkan tontonan amat bagus, yaitu gambar-gambar idoep dari banyak hal yang belum lama terjadi di Eropa dan Afrika Utara.

Juga disebutkan gambar Sri Baginda Maharatu Belanda bersama Hertog Hendrick ketika memasuki ibukota Negeri Belanda, Den Haag. Pertunjukan akan berlangsung di sebuah rumah yang berada di sebelah toko mobil Fuchs di Tanah Abang. Inilah iklan pertama mengenai pertunjukan film di Hindia Belanda.

Baca Juga:

  1. Profesi yang Punah Tukang Hirkop dan Tukang Minyak Tanah
  2. Ondel-Ondel dan Korupsi 
  3. Sejarah Munculnya Golput

Itulah gambaran ketika pada penghujung 1900, masyarakat Hindia Belanda sudah bisa menyaksikan pertunjukan yang sangat ajaib, yaitu film yang saat itu disebut “gambar hidup”. Jadi hanya dalam tempo lima tahun, setelah para penemu jenial di Amerika, Prancis dan Inggris hampir secara bersamaan berhasil menemukan teknologi yang bisa memproyeksikan gambar-gambar hidup bergerak ke atas layar. Orang-orang penghuni negeri jajahan Belanda nun di khatulistiwa Asia Tenggara sudah bisa menikmati penemuan luarbiasa mereka.

Pemutaran film pertama yang dimaksud itu berlangsung pada 5 Desember 1900. Menurut iklan Bintang Betawi tanggal 5 Desember 1900, pertunjukan itu adalah Pertoendjukan Besar Yang Pertama dan seterusnya akan main pada alamat di atas, yakni di Tanah Abang Kebon Jahe (Manage) mulai jam 7 malam. Harga karcisnya terdiri dari tiga peringkat, yakni untuk kelas I f 2 (2 gulden, rupiah Belanda), Kelas II f 1 dan Kelas III f 0,50.

Pada tahun-tahun permulaan ini, pertunjukan bioskop belum memiliki tempat tetap. Pemutaran berpindah-pindah dari satu gedung ke gedung lain, seperti menyewa gedung milik Kapten Cina Tan Boen Koei. Yang sederhana diputar di tempat terbuka seperti lapangan Mangga Besar atau di Los Pasar Tanah Abang. Pertunjukan yang diselenggarakan di alam terbuka karcisnya lebih murah.

Artikel dikutip dari buku H. Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950, hlm. 27-33

Di samping itu, mutu proyektor yang digunakan juga menentukan tingkat harga karcis. Proyektor yang digunakan pada pemutaran di Surabaya, menurut laporan Bintang Betawi 4 Januari 1901, gambarnya amat jelek, tidak sebanding dengan proyektor milik American Biograph. Karcis dari pertunjukan diselenggarakan oleh perusahaan American Animatograph di daerah Glodok, Jakarta, hanya f 0,25 bagi penonton Cina dan f 0,10 bagi penonton Slam. Padahal, gambar tidak bergoyang-goyang, stabil. Tempat duduk wanita dan pria juga dipisah.

Yang dimaksud dengan kata “Slam” di atas adalah Pribumi, yang umumnya beragama Islam. Untuk penonton Pribumi, sejak 1903 diberikan keringanan agar bisa ikut nonton. Maklum tingkat ekonomi Pribumi umumnya amat rendah. Harga karcis 10 sen atau sama dengan harta 1 ½ liter beras itu sudah sangat terasa berat. Tapi The Royal Bioscoop, karena mungkin proyektornya bagus, maka harga karcisnya lebih tinggi: Loge f 2; Kelas I f 1; kelas II f 0,50; kelas III f 0,25. Untuk kelas yang terakhir itu diberi catatan khusus, yakni boeat orang Slam dan Djawa saja.


Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku H. Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950, hlm. 27-33. Informasi bisa kontak langsung ke WA 081385430505

LEAVE A REPLY