Masyarakat Betawi memiliki beberapa model pakaian tradisional, namun khusus untuk pakaian tradisional sehari-hari pria Betawi menggunakan pakaian yang disebut sebagai baju tikim dan celana pangsi.
Bentuk model baju tikim di jazirah semenanjung Melayu lebih menyerupai pakaian Teluk Belanga atau di Minangkabau dengan sebutan pakaian Guntiang Cino. Di daerah Jawa Barat setelan pakaian yang menyerupai baju tikim dan celana pangsi adalah baju kampret dan celana komprang atau baju jaman celana sontog. Hanya saja pada baju kampret lebih terbuka dengan tanpa kancing untuk merapatkannya.
Baju tikim oleh beberapa kalangan disebut juga dengan istilah baju koko (Hokkien: abang), karena berdasar latar belakang sejarahnya berasal dari pakaian kaum peranakan Tionghoa yang ada di Tanah Betawi. Belakangan karena perkembangan mode, model baju tikim yang tanpa kerah diberi tambahan kerah berdiri yang kemudian baju tikim disebut dengan nama baju sadariya atau baju takwa.
Baca Juga:
Untuk bawahannya adalah celana yang penggunaannya dililitkan sama persis ketika akan memakai sarung, untuk menguatkan ikatan itu agar tidak melorot digunakanlah angkin atau kain lebar untuk mengikatnya di pinggang. Sampai pada akhirnya kedudukan angkin digantikan sabuk kopel haji.
Dalam perkembangan selanjutnya celana pangsi dengan model penggunaannya seperti sarung dibuat lebih sederhana, dengan membuat tali yang diikatkan pada bagian tengah yang lebih menyerupai celana kolor.
Belakangan pada sebagian masyarakat menyebut pakaian tradisional Betawi ini dengan sebutan baju pangsi, sesungguhnya penyebutan yang kurang tepat karena pangsi merupakan setelan bawah yang disebut celana pangsi.
Baju tikim dan celana pangsi yang digunakan masyarakat tradisiona Betawi di masa lalu, umumnya digunakan oleh para petani, pendekar, jawara, jago silat atau maen pukulan.
Menurut budayawan peranakan Tionghoa-Betawi, David Kwa bahwa baju tikim dan celana pangsi merupakan pakaian yang dipengaruhi budaya Tionghoa.
Baju tikim (Hokkian: tui kim) dan celana pangsi (Hokkian: phang si) diadaptasi dari pakaian tradisional orang Tionghoa di Batavia, yang masih digunakan orang Tionghoa di Batavia hingga awal abad ke20.
Baju tikim umumnya tidak berkerah, karena diadaptasi dari orang Tionghoa kebanyakan. Baju tikim Betawi menggunakan lima kancing. Awalnya bahan kancing terbuat dari kain yang dipilin. Bentuk kancing yang jantan menyerupai kepala capung, karenanya disebut kancing kepala capung.
Perbedaan lainnya, tikim yang diadaptasi oleh orang Betawi sudah tidak ada lagi kantong vertikal di bawah ketiak yang disebut kantong ti tou (lambung babi), yang berfungsi sebagai tempat menyimpan thau chang (kuncir atau kepang).
Lebih jauh baca:
Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Jakarta 1950-1970an karya Firman Lubis yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505
