Tidak banyak dari zaman Inggris di Betawi yang mendapat keberuntungan memperoleh kemasyuran yang abadi seperti Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1811–1816 . Kalau kemasyuran itu harus dibagi, maka tak salah lagi mungkin hanya dengan garam Inggris, obat sakit mencret yang terkenal mujarab. Tetapi, yang terang bagi orang Betawi keduanya diingat karena membawa manfaat dengan caranya masing-masing.
Raffles meskipun singkat di Betawi, tetapi “ngebekasin” sampai jauh masa seabad setelahnya. Salah satu yang mengungkapkan ini adalah Pramoedya A. Toer dalam “Catatan Tentang Keluarga Thamrin”, sebuah naskah yang ditulisnya pada 1980 berbahan sejarah lisan keluarga Thamrin yang terkenal sebagai pahlawan dari Betawi. Pramoedya menyebut di Batavia beredar cerita burung bahwa keluarga Thamrin yang terkenal sebagai ‘knappe, doch sluwe Indische jongen’ (indo pintar dan keras serta sangat licin) dalam melawan kejahatan kolonial itu adalah keturunan Raffles.
“Raffles termasyur orang pandai dan bijaksana, boleh jadi karena kemiripan itu juga tuan sebijaksana dia,” demikian Pramoedya menuliskan juga cerita burung itu dalam karyanya yang terkenal Jejak Langkah (1985). Dikisahkan bahwa Mingke, tokoh utama novel sejarah itu yang katanya adalah Tirto Adisoerjo, mencari tokoh kunci yang dapat membantu mewujudkan idenya mengorganisir priyayi untuk menolong rakyat dari kejahatan kolonial sambil memperbaiki kehidupan mereka dengan pendidikan, pendampingan hukum dan usaha pers. Ia telah berkeliling menemui para patih di Batavia dan sekitarnya, tetapi tidak ada yang bersedia membantu.
Baca Juga:
- Kluyuran Jakarta Bareng Bung Hatta
- Haji Darip Panglima Perang dari Klender
- M.H. Thamrin vs Mohammad Tabrani
“Ada orang kaya, pangkatnya tidak seberapa yang sudah lama menyimpan cita-cita untuk berbuat seperti itu juga. Hanya karena kedudukannya rendah ia ragu memulai. Dia seorang dermawan yang selalu bersedia membantu usaha-usaha kebajikan. Cobalah tuan hubungi dia. Satu orang seperti dia akan lebih ampuh daripada seratus orang seperti aku, sekalipun berpangkat lebih tinggi,” kata Patih Meeter Cornelis.
Orang yang dimaksud adalah Thamrin Mohammad Thabrie (1860–1923), Wedana Mangga Besar. Pramoedya menjelaskan bahwa Thabrie di rumahnya di Sawah Besar yang disebut Bintang Betawi pada 1901 sebagai “istana yang tiada bandingannya di seluruh Gambir” selain memasang gambar Ratu Belanda di atas pintu masuk juga gambar Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Raffles.
Apakah benar ada darah Raffles dalam keluarga Thamrin? Apakah mungkin ketika Raffles di Batavia kehilangan istrinya, Olivia Marianne Devenish, kemudian membuat ia meniru langkah banyak tuan kulit putih di Hindia Belanda dengan mengambil “bini piare” alias nyai persis yang dilakukan oleh Tuan Willem asal Inggris di Pejambon dalam cerita Nyai Dasima?
Jika membuka biografi Mohammad Husni Thamrin karya Bob Hering M.H. Thamrin and His Quest for Indonesian Nationhood 1917–1941, maka tidak akan ditemui sepotong cerita pun soal kaitan keluarga Thamrin dengan Raffles. Adalah benar ada darah Inggris dalam diri keluarga Thamrin, tetapi itu bukan dari Raffles. Perkisahan Pramoedya ihwal kaitan Raffles dengan keluarga Thamrin rupanya memang bukan hendak memberikan gambaran sejarah, melainkan gambaran kultural orang Betawi yang melihatnya sebagai simbol pembaruan.
Namun yang jelas Olivia yang meninggal mendadak membuat Raffles tidak bisa menghadiri pesta peresmian Societeit Harmonie pada awal 1815. Adalah benar Harmoni yang mulai membangunnya Daendels pada 1809 dengan material bangunan dari bongkaran tembok Oud Batavia, tetapi karena pergolakan perang yang berakhir dengan pendudukan Inggris, pembangunannya terlantar.
Untung saja Raffles yang menggantikannya memberi dorongan kuat melanjutkan pembangunan gedung tersebut, sehingga akhirnya dapat dipergunakan sesuai dengan tujuannya: sebagai gedung pertemuan bagi masyarakat kolonial Eropa untuk bersantai dalam keadaan “harmoni”. Malahan dalam ruang tambahan pada gedung induk ditambahkan oleh Raffles koleksi museum dan perpustakaan milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen. Artinya, di gedung inilah tempat lahirnya Museum dan Perpustakaan Nasional, dua lembaga ilmiah tertua d Indonesia.
Sejak pembukaannya, gedung Societeit Harmonie telah menjadi titik referensi bagi penduduk ibu kota dan atau tempat untuk orientasi arah. Sampai kini tetap begitu. Bis dan angkutan publik di Jakarta juga masih mencantumkan Harmoni sebagai jurusan yang dilalui. Padahal gedung warisan Raffles itu telah tiada karena digusur untuk pelebaran jalan dan tempat parkir Sekretariat Negara pada 1985. Bagaimana bisa Harmoni melekat bertahan begitu lama?
Alasan paling gampangnya karena Harmoni gaya arsitekturalnya dalam Empire Style yang sangat khas. Tetapi, bukankah di dekatnya ada Hotel Des Indes yang juga gaya arsitekturalnya tak kalah khas? Nah, ada yang bilang justru bisa langgeng karena demi menghormati Raffles yang lebih memilih mempercayakan anemer Melayu (baca: Betawi) untuk menyelesaikan Gedung Harmoni daripada tiga anemer Tionghoa yang paling laku pada zaman itu. Adolf Heuken dalam bukunya Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta menyatakan, “pada masa itu, kemenangan seperti yang didapati Abdul Hamied sungguh berarti dan pak Hamied menyelesaikan gedung itu dengan sangat baik.”
Perlu juga di diungkap soal kaitan Raffles dengan asal usul nama Betawi. Raffles melalui bukunya History of Java dianggap telah memberi legitimasi atas penuturan yang dianggap dongeng di dalam Babad Tanah Jawi bahwa nama Betawi bermula dari cerita “mambet tahi” (bau tahi). Pada jilid kedua bukunya yang terbit pada 1817, di halaman 154, Raffles menceritakan bagaimana keadaan Kompeni di dalam benteng Hollandia, sewaktu balatentara Mataram menyerang. Mereka kehabisan peluru sedangkan benteng akan jatuh.
Lantas mereka menggunakan batu dan benada-benda keras lain sebagai isi meriam. Raffles juga menulis, “Even this resource failed; and, as a last expedient, bags of the filthiest ordure were fired upon the Javans, whence the fort has ever since borne the name Kota Tahi…” (bahkan alat ini pun gagal; dan sebagai usaha terakhir, berkantung-kantung kotoran ditembakkan ke arah orang-orang Jawa, sehingga sejak itu benteng tadi bernama Kota Tahi…).
Heuken dengan merujuk pada Pauline D. Milone dalam Queen City of the East menyatakan bahwa Raffles memang mencomot ceritanya itu dari Babad Tanah Jawi. Raffles adalah orang asing pertama yang membawa ke khalayak lebih luas cerita yang semula hanya populer di antara orang Jawa itu. Cerita strategi perang tahi itu memang populer di antara orang-orang Jawa dan mudah ditemukan dalam banyak bentuk. Harry Tjan Silalahi intelektual Jawa pendiri CSIS yang aktif berteater semasa mahasiswa menuturkan bahwa di antara pemain ketoprak pada 1960-an cerita itu sangat populer dan menjadi bagian dari lakon panggung mereka.
Selain itu Babad Diponegoro yang terkeal itu juga memuatnya. “Dadya telas kang pelor tindja kinarja, mapam tepijo sami, karja njendhok tindja, mengkana Ki Mandura , mapan kengingmimis tai, ingkang salira, mapan galuprat tai. Miwah para dipati ija mengkana, pan mungur munggur sami , dadya undurira, sedaya dening tindja, dadya mesanggrahan malih, pan samja siram, henengna ingkang winarni …Tetapi karena pelurunya hampir habis tahi digunakan, topi-topi mereka diberdayakan untuk menyendok tahi, dengan demikian Ki Mandura terkena peluru tahi, badannya berlumuran kotoran manusia, Adipati kena pula badannya, wajahnya merah marah hingga mereka mundur, semua gara-gara tahi, kembali ke pesanggrahan, maka mandilah mereka, hingga sini dulu cerita mereka itu.”
Apakah cerita yang populer di dalam khasanah Jawa dan kemudian dicomot Raffles itu dogengan belaka? Tidak. Sebab kemudian ditemukan sumber Belanda yang menceritakan hal yang sama, seperti dari catatan Seyger van Rechteren, seorang krankbezoeker, yaitu pegawai Kompeni yang tugasnya menengok dan menghibur orang-orang sakit. Ia datang pada 1629, saat Batavia akan mendapat serangan kedua dari Mataram. Sedang peristiwa siasat perang tahi itu terjadi pada serangan pertama pada 1628. Artinya ia tidak benar-benar menyaksikan bagaimana siasat perang tahi itu digunakan serdadu Kompeni. Tetapi, ia masih merasakan bagaimana cerita itu hangat di diperbincangkan orang-orang kota Batavia.
Selain Rechteren yang mencatat peritiwa lucu itu menurut penemuan Heuken adalah Johan Neuhoff dalam buku berbahasa Jerman Die Gesantschaft der Oos-Indische Geselschaft in den Vereinigten Nederlandern an den tatarischen Cham. Buku itu diterjemahkan dari naskah asli Belanda pada 1666. Ketika pasukan Mataram merangsek maju Sersan Hans Madelijn dari Pfalz, Jerman, mendapat siasat gila menyiramkan tinja. Ketika dihantam “peluru jenis baru” ini mereka lari sambil berteriak dengan marah: “O seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay!”
Akhirnya, lahir di Jamaica pada 1781 dan dikebumikan di Inggris tahun 1826, Raffles dari 1805 sampai 1824 bekerja di kawasan Asia Tenggara. Meski ia meninggalkan jejak di Inggris, antara lain memelopori pendirian kebun binatang London, tetapi tindakan-tindakannya lebih membekas di kawasan Asia Tenggara, sehingga rasanya tepat jika C.E. Wurtzburg pada 1954 mentiteli biografi yang ditulisnya Raffles of the Eastern Isles.
Meskipun Betawi hanya salah satu titik di peta geografi perjalanan hidup Raffles di Asia Tenggara, tetapi titik yang cukup penting dalam sejarah hidupnya karena di kota inilah ia kehilangan istri tercintanya Olivia dan dimakamkan di Tanah Abang yang dalam cerita rakyat Betawi ditunggui di jaga dengan setia oleh pengawalnya yang disebut “setan si Jakob”.
Sebuah tugu peringatan untuk Olivia dibuat Raffles di halaman Istana Bogor dengan pahatan kata: “walau nasib yang bengis memisahkan kita, saya tidak akan melupakanmu”. Begitulah Raffles telah mencatatkan kenangannya akan Betawi dan sebaliknya orang Betawi mengenangnya agar tak lupa dengan cara tersendiri.
Lebih jauh baca:
Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan S
Tanah Abang Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan S