Ketika pada tahun 1964 saya baru saja diterima menjadi pegawai museum pusat yang baru, maka oleh seorang rekan saya dibawa berkeliling untuk melihat-lihat seluruh isi museum itu. Dari depan sampai ke belakang bahkan sampai ke gudang-gudangnya sekalian.
Pada bagian belakang dari museum itu, terdapat sebuah ruangan gudang yang dihubungkan keluar dengan sebuah pintu kayu. Rekan saya mengajak masuk melalui pintu itu, dan sampailah saya ke suatu ruangan belakang yang nampaknya bukan sebuah kantor.
Memang di ruangan itu bukan kantor, tetapi tempat tinggal Pak Ghozali, sekretaris museum. Saya belum berkenalan dengan dia. Ketika saya masuk ke ruang itu, terdengarlah suara tik-tik-tik-ting seperti orang yang sedang menghitung kepingan-kepingan uang logam. Ketika saya menengok ke arah suara itu, terlihatlah oleh saya seorang laki-laki yang kurus, memakai jas dan dasi sedang asyik menghadapi kepingan-kepingan mata uang perak, yang dikumpulkan dalam sebuah kotak. Dahinya yang lebar itu mengkerut sedikit karena konsentrasi meneliti mata uang-mata uang itu. Namun konsentrasinya segera terhenti dan saya diperkenalkan padanya.
Baca Juga:
- Abu Ridho Ahli Keramik Museum Nasional
- Kisah Pangeran Afrika di Bogor
- Sejarah Listrik dan Cerita Hantu di Depok
Sejak itu saya seringkali datang mengobrol di ruangan itu. Sebuah ruangan tempat tinggal yang sekaligus menjadi kantornya. Ia seorang yang belum lagi mencapai 40 tahun umurnya. Namun demikian bicaranya mengasyikkan. Ketika itu ia seperti biasa sibuk dengan uang-uangnya. Begitulah sebagai numismatikus utama Indonesia.
”Wah, Pak Ghozali ini kaya, ya”
Apa yang menjadi jawabannya tak terduga-duga.
”Oh, tentu saja. Pegawai museum tidak ada yang miskin, karena museum adalah gudang ilmu pengetahuan yang tidak akan kering-keringnya. Asalkan kita bisa memanfaatkannya. Ini adalah uang koleksi museum” katanya sambil memperlihatkan mata uang perak Argentina. Dan kemudian ia menunjukkan kepada saya sebuah mata uang emas dari jaman Majapahit. Mata saya bersinar-sinar, karena kemarin saya terpaksa berhutang untuk ongkos saya pergi ke museum ini.
”Dan ini apa?” tanya saya sambil menunjuk kepada beberapa helai sobekan kain.
”Inipun uang yang terbuat dari kain, mungkin dari jaman Majapahit. Termasuk koleksi numismatik kita yang berharga.”
”Uaah, saya kira sobekan sumbu kompor.” Tentu saja ia sedikit tersinggung.
Tetapi, ia mulai juga menerangkan dengan muka masih merah oleh emosi, bahwa ilmu numismatik di Indonesia ini belum maju. Sambil menunjukkan majalah numismatik yang terbit di London, ia berkata, di luar negeri numismatik sudah maju sampai-sampai menerbitkan majalah-majalah khusus segala. Ia menerangkan pula bahwa di museum pusat ini nomor tiga besarnya di dunia.
Dari dia saya mengetahui bahwa ada berbagai macam uang yang beredar di Indonesia sejak dulu. Uang yang dibuat oleh pedagang-pedagang Cina, uang Portugis, uang raja-raja di Indonesia, dan bahkan uang bikinan ketika VOC kehabisan duit. Itulah perkenalan pertama dengan numismatik dan sekaligus mengenal pribadi Pak Ghozali yang tetap merasa kaya meskipun miskin. Sekarang ini sayapun merasa begitu. Yang dimaksudkannya tentulah kaya akan ilmu pengetahuan bukan kaya harta.
Orang Taman Siswa
Saya baru tahu bahwa ia adalah salah seorang anggota Taman Siswa, ketika beberapa orang Taman Siswa yang saya kenal mengunjunginya. Nampaknya mereka akrab sekali. Belakangan Pak Ghozali bercerita bahwa ia dulu tinggal bersama di Taman Siswa bersama-sama dengan mereka. Mereka tinggal di sekolahan itu, dan kalau pagi-pagi terpaksa harus buru-buru bangun dan membersihkan kelas, sebelum murid-murid yang lain datang. Di sana ia dikenal sebagai seorang tokoh yang suka melucu. Dalam pergaulan saya dengan dia kemudian, sayapun mengetahui bahwa ia mempunyai bakat besar di bidang melucu itu.
Bermain reog
Jauh sebelum reog BKAK mulai terkenal, Ghozali sudah bermain reog di Taman Siswa. Kawan-kawannya ialah Suhadi (pegawai museum pusat sekarang) dan Pak Amir (Direktur Museum Pusat sekarang) dan seorang kawannya lagi. Karena kelucuannya, ia menjadi bintang reog. Saya melihat salah satu fotonya ketika ia bermain reog. Melihatnya pun saya sudah tertawa, belum lagi kalau mendengar dialog-dialognya.
Ketika ia sudah menjadi pegawai museum, bakatnya bermain reog masih dikembangkannya. Dalam sebuah pertemuannya menghibur para hadirin dengan permainan reognya, akan tetapi keesokan harinya, ketika ia sedang sibuk di kantor, tiba-tiba datanglah panggilan untuk menghadap Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, yang waktu itu menjabat sebagai anggota direksi museum.
Ketika Ghozali sudah menghadap, lalu mulailah Pak Husein berkata, ” Tuan Ghozali, Tuan mempunyai bakat besar untuk melucu. Dan saya senang melihat permainan reog Tuan kemarin. Tetapi Tuan adalah seorang pegawai museum, seorang asisten kurator. Tuan Ghozali sebaiknya jangan bermain reog lagi, karena seorang asisten kurator tidak pantas untuk bermain reog.”
Ghozali mati kutu, tidak bisa menjawab apa-apa. Selain mengangguk-angguk. Belakangan ia mengomel kepada teman-temannya, ”Sialan, mau bilang main reog malu-maluin aja pakai puter-puter segala.” Sejak itulah ia menjadi pemain reog tidak resmi.
Ahli Silat
Tidak disangka, tidak dinyana bahwa Pak Ghozali yang sekurus itu ternyata seorang ahli dalam rimba persilatan. Kalau ia mendengar gamelan Sunda Ketuk Tilu dari radio, tangannya sudah gatal untuk mengikuti irama itu dengan silat kembangannya, badannya berputar, sambil sekali-sekali bilang: ”Nih, burung bango, nih harimau” Dan matanya melirik-lirik. Gerakannya indah sekali. Kalau ketemu batunya, ia betah ngobrol seharian mengenai segala macam aliran dalam dunia persilatan. Malahan, seringkali diikuti dengan contoh-contoh jurusnya.
Pengetahuan tentang persilatan itu luas sekali. Malahan ketika adiknya belajar silat dari buku, ia segera mengenali bahwa itu silat Cina, dan kemudian memberikan petunjuk-petunjuknya. Ceritanya mengenai dunia persilatan di Jawa Barat menarik sekali. Katanya, dahulu antara jagoan dengan jagoan seringkali ada perkelahian. Masing-masing jagoan menantang jagoan lainnya, untuk membuktikan siapa yang lebih unggul. Ia sering mengikuti pamannya melihat pertarungan demikian. Itulah yang menjadikan seorang jagoan silat tidak tenteram hidupnya. Meskipun sekarang sudah dilarang oleh pemerintah, namun masih saja orang yang berduel demikian.
Pernah pula Pak Ghozali bertukar pikiran dengan seorang ahli karate Jepang, ketika ia berkunjung ke Tokyo pada tahun 50-an. Malahan pada tahun 1967, ia dicari oleh seorang Amerika yang sedang mempelajari ilmu bela diri di Asia. Aneh sekali, orang asing mempelajari ilmu silat di museum pusat.
Benar-benar museum pusat itu dapat disamakan dengan ”toko serba ada”. Apakah yang tidak ada di museum ini. Perpustakaannya mempunyai koleksi buku-buku dalam segala bidang ilmu dari segala ilmu-ilmu sosial, jamu-jamu, mantra-mantra sampai kepada soal ruang angkasa. Koleksi-koleksi museum dari uang yang paling primitif, alat-alat rumah tangga sampai kepada patung-patung emas. Itulah sebabnya Pak Ghozali merasa kaya.
Are you hungry Mr. Ghozali?
Pada tahun 50-an Pak Ghozali diberi kesempatan untuk meninjau museum-museum di Eropa. Banyak museum yang telah dikunjunginya di antaranya ialah museum Louvre di Paris, museum di Amsterdam dan Leiden, museum-museum di London dan bahkan sampai ke Denmark dan Swedia.
Itu adalah kunjungannya ke luar negeri yang pertama kali dalam sejarah hidupnya. Sangat sukar baginya untuk menyesuaikan diri dengan makanan di luar negeri. Ketika ia berada di Kopenhagen, ia diterima dalam suatu resepsi besar yang dihadiri oleh tokoh-tokoh terkemuka permuseuman dan bahkan tokoh-tokoh dalam bidang pemerintahan. Dalam resepsi itu dihidangkan makanan-makanan khas Swedia. Seperti biasanya dalam setiap resepsi, maka setelah makan para tamu ngobrol.
Kebetulan Pak Ghozali sedang ngobrol dengan direktur museum Kopenhagen ketika tiba-tiba perutnya berbunyi klukuuk-klukuuk dengan amat kerasnya (seperti ayam berkokok pagi-pagi) Direktur Museum Kopenhagen itu tertegun sebentar lalu bilang, ”Are you hungry Mr. Ghozali?” Pak Ghozali malu sekali tapi ia tidak kurang akal, ”Saya terlalu senang bertemu dan berbicara dengan Tuan, sehingga perut saya ikut bicara”, keduanya lantas tertawa.
Cerita ini sudah bayak kawan-kawan yang tahu. Dan ketika saya asyik berbicara dengan kawan saya, maka tiba-tiba perut kawan saya berbunyi sayapun lalu bilang, ”Are you hungry Mr. Ghozali?” Kami pun tertawa lalu pergilah kami makan nasi padang di sebuah warung di belakang museum.
Pelatih hansip
Di samping menjabat sebagai sekretaris museum, Pak Ghozali secara tidak resmi menjadi security officer dari museum pusat. Karenanya ia sangat menaruh perhatian kepada hansip museum. Ketika hansip masih aktif di tahun 60-an ia tak segan-segan melatih di lapangan, meskipun fisiknya sendiri sudah tidak memungkinkan.
Namun demikian hansip-hansip museum banyak menerima pelajaran tentang security museum daripadanya. Malahan pernah pula diajarkan bagaimana mempergunakan senjata, bagaimana bersilat dengan tongkat. Apa yang dituju ialah menanamkan pengertian security kepada pegawai-pegawai. Hal ini dipandang penting, karena museum adalah tempat penyimpanan barang-barang yang harus dijaga dan dilindungi.
Menjadi advisor permuseuman
Pengetahuan Pak Ghozali sangat luas. Ia banyak tahu tentang segala macam seluk-beluk tentang kota Jakarta. Ide-idenya tentang museum lokal untuk kota Jakarta banyak sekali. Misalnya ia ingin mendirikan museum yang isi koleksinya segala macam etnografis yang terdapat di kota Jakarta, seperti tentang segala macam makanan khas kota Jakarta, pakaian pengantin, alat-alat rumah tangga, adat-istiadat penduduk Jakarta asli serta permainan anak-anaknya. Tentang sejarah kota Jakarta pun ia banyak tahu. Sudah banyak tulisan-tulisannya mengenai hal ini. Yang dimuat di pelbagai harian di ibukota, seperti Pedoman, Kompas, dan bahkan Budaya Djaya.
Ia banyak memberikan advis kepada instansi-instansi yang hendak mendirikan museum. Misalnya saja museum AURI di markas AURI Tanah Abang Jakarta, telah banyak mendapat advis-advis dari Pak Ghozali. Selain dari itu iapun banyak memberikan advis untuk museum Bali. Museum Kota (Jakarta) serta banyak museum lainnya.
Pengetahuannya yang luas itu sangat mengagumkan. Ia pernah pula memberikan advis mengenai soal padi, perikanan, dll.
Akhir hayatnya
Hari Minggu tanggal 24 Mei 1970, jam setengah empat sore, adalah hari berkabung bagi dunia permuseuman di Indonesia, karena pada saat itu Pak Ghozali meninggalkan dunia yang fana ini dalam usia 38 tahun. Sejak tahun 1962 ia menderita penyakit paru-paru, dan belakangan ternyata menderita komplikasi pada perut dan ginjalnya. Segala usaha telah dijalankan untuk mengobatinya. Beberapa lamanya ia telah dirawat di RS. Fatmawati, dan kemudian untuk beberapa bulan dirawat di RS. Dr. Noor di Ancol Jakarta.
Ia adalah contoh orang yang mengabdi kepada bidang pekerjaannya dengan ikhlas. Bahkan cintanya kepada museum masih dibawanya sampai saat-saat terakhir hidupnya. Pernah ia bilang bahwa ia tidak mau bekerja lain kecuali di museum ini, meskipun banyak tawaran-tawaran untuk pekerjaan lain yang lebih baik. Pesannya yang terakhir ialah bahwa ia ingin mati di museum dan itu terlaksana.
Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Wahjono Martowikrido, Cerita Dari Gedung Arca: Serba-Serbi Museum Nasional Jakarta, hlm. 87-97. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505