Apakah Ada Pesta Pora Gerwani di Lubang Buaya?

0
7692
Relief Monumen Pancasila Sakti di Lobang Buaya sebagai hasl kreasi tanpa bukti tentang Gerwani sedang menari dan menyanyi saat pembunuhan jenderal-jenderal terjadi.

Mitos tentang bernyanyi, menari, mengebiri yang dilekatkan pada anggota Gerwani adalah inti kampanye propaganda tentara yang mengubah bentrokan antar tentara (dengan campur tangan politik) menjadi genosida mengerikan, ketika orang-orang PKI dan sayap kiri secara umumnya menjadi korban ketidakmanusiawian dan pemerintahan Presiden Sukarno dihabiskan.

Ketika konten pornografi menghasut mereka, seketika kepanikan moral seksual yang dibentuk oleh tentara membuat bangsa Indonesia terkesiap. Apa yang terjadi di Lubang Buaya? Apa yang Gerwani perjuangkan dan apa dampak dari kampanye fitnah seksual terhadap mereka?

Para jenderal yang dilemparkan ke sumur di lapangan pelatihan terbang Lubang Buaya dibunuh oleh tentara. Namun, segera setelah penguburan korban, cerita diedarkan melalui media yang dikendalikan oleh tentara dan radio bahwa pada malam itu terjadi pesta seks. Para perempuan menari Harum Bunga dengan telanjang sambil menyanyi lagu “Genjer-Genjer”.

Baca Juga:

  1. M.H. Thamrin vs Mohammad Tabrani
  2. Onghokham Sejarawan Hedonis Jakarta
  3. Bang Ali Bangun Museum, Legalkan Judi

Mereka telah melakukan pelecehan seksual terhadap para tahanan, bahkan mengebiri kemaluannya, mencungkil matanya, dan menyiksanya hingga mati. Hal ini sama sekali tidak masuk akal, tetapi efektif, karena cerita ini masih dipercaya hingga sekarang. Penggambaran yang menakutkan tentang perempuan-perempuan tersebut melekat di dalam pikiran masyarakat. Namun, seorang kurator museum di lokasi itu, M. Yutharyani, menjelaskan bahwa tidak ada kekerasan seksual yang terjadi dan tidak ada para perempuan menari telanjang di sana.

Fantasi berbahaya ini terus digaungkan dan ditambah variasi beberapa bulan setelah terjadi peristiwa G30S. Misalnya ialah media terkemuka Kompas melaporkan pada 13 Desember 1965 bahwa 200 perempuan diminta untuk menari telanjang, ditonton oleh sekitar 400 pemuda, setelah itu mereka melakukan “seks bebas”.

Lapangan itu milik Angkatan Udara Indonesia dan terletak di kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cijantung, tetapi bukan di bandara. Lapangan telah digunakan sejak Juli 1965 untuk pelatihan relawan PR, Gerwani, BTI, atau SOBSI untuk kampanye Ganyang Malaysia. Pelatihan yang berlangsung pada akhir September telah dilaksanakan untuk ketiga kalinya oleh Suyono, Kolonel Angkatan Udara.

Kamp pelatihan serupa juga diselenggarakan di seluruh negeri oleh beberapa organisasi massa, seperti sayap perempuan NU, Muslimat NU pelatihan mereka diadakan di Cibubur. Pelatihan ini dilakukan dalam rangka Konfrontasi Malaysia (Dwikora), bukan atas inisiatif PKI. Ini termasuk indoktrinasi politik dan latihan militer dengan senjata ringan yang dipasok oleh angkatan udara. Unsur-unsur politik bukanlah Marxisme, tetapi Panca Azimat Revolusi, pedoman moral yang Sukarno butuhkan untuk mencapai revolusi yang ia bayangkan. Rekrutmen dilakukan melalui jalur Nasakom, tetapi Suyono lebih suka melatih pemuda komunis. Sebab itu ia mendapatkan teguran dan diminta untuk mengajak pemuda religius serta nasionalis.

Pada awal 1980-an, Saskia Wieringa melakukan penelitian tentang sejarah Gerwani dan mewawancari beberapa penyintas yang pada malam itu hadir di lapangan pelatihan. Mereka mengatakan terbangun tengah malam itu karena kebisingan yang dibuat tentara, menyaksikan penyiksaan dan penembakan tiga jenderal yang ketika tiba masih hidup, serta pembuangan semua mayat ke sumur.

Dalam situasi yang panik, sebagian dari mereka melarikan diri ke rumah masing-masing atau ke markas Gerwani, lalu membangunkan dua pemimpin angota Gerwani, Ibu Sulami dan Ibu Sudjinah. Beberapa dari mereka tetap tinggal sampai 2 Oktober sewaktu mereka bertemu dengan tentara RPKAD yang memeriksa informasi yang diberikan oleh polisi, Sukitman, yang telah dijemput oleh komplotan ketika ia melakukan patroli.

Pada 1983, muncul kesaksian berikutnya dari salah seorang perempuan yang waktu itu hadir di Lubang Buaya, setelah ia keluar dari penjara: “Waktu itu saya berumur 16 tahun dan anggota Pemuda Rakyat … Saya menyaksikan para prajurit membunuh jenderal dan berlari pulang. Saya ditangkap jam 09.00 pagi hari dan di penjara selama dua minggu. Saya dipukul dan diinterogasi. Mereka menelanjangi saya dan memaksa untuk menari telanjang di depan mereka lalu difoto. Kemudian saya dibebaskan. Setelah beberapa saat, saya ditangkap dan dibebaskan lagi. Secara total saya ditangkap lima kali sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menahan saya di penjara. Kejadian tersebut di awal November tahun 1965 dan saya dibebaskan pada Desember 1982.”

Wanita muda ini menghabiskan waktu di penjara selama 17 tahun dan tidak pernah dibawa ke pengadilan. Tidak satu pun dari gadis-gadis dan perempuan yang hadir di Lubang Buaya mendapatkan keadilan. Tampaknya pihak militer tidak bisa mengungkapkan kisah mereka yang nyata.

Misalnya cerita tentang Sukitman dan para gadis yang hadir di Lubang Buaya, tentara menyebarkan cerita yang berbeda ke masyarakat. Para perempuan progresif, aktif secara politik, dan berasosiasi dengan PKI bahkan Sukarno ini dikaitkan dengan penyimpangan seksual. Partai dan organisasi massa digambarkan sebagai kelompok yang tidak manusiawi, biadab, dan jahat. Hal ini membantu masyarakat untuk membentuk kesimpulan bahwa yang berhubungan dengan PKI atau organisasinya adalah hal yang salah dan dalam beberapa cara tersembunyi, sekaligus ini membenarkan jika para anggotanya patut disiksa dan dibunuh.

Surat kabar juga menulis hasil “wawancara” berdasakan “pengakuan” anggota Gerwani yang ditangkap. Kadang “pengakuan” ini didasarkan pada kasus identitas yang salah. Misalnya, Emy dan Atikah adalah dua anggota Gerwani yang ada di Lubang Buaya. Mereka melarikan diri ketika mengerti apa yang sudah dituduhkan kepadanya. Tidak ada yang ditangkap. Namun, sebagai gantinya, nama perempuan yang sama dengan mereka ditangkap, salah satunya ialah seorang PSK bernama Emy. Padahal ia tidak tahu apa itu Gerwani.

Ketika melarikan diri, Atikah mengubah nama menjadi Jamilah. Aparat militer mulai mencarinya. Salah seorang perempuan yang mereka temukan bernama Jemilah, bukan Jamilah. Cerita tentang Jemilah, yang dijuluki “Srikandi Lubang Buaya” diperkuat oleh Ibu Sujinah yang pernah berada di penjara yang sama, Bukit Duri, dan kenal dengan Jemilah. Jemilah mengaku sebagai perempuan Gerwani “menikam alat kelamin jenderal dengan pisau kecil sampai mereka mati”. Kisah ini muncul di seluruh media massa milik tentara dengan kata-kata yang sama. Ini jelas bahwa tulisan tersebut sudah dipersiapkan. Jemilah sendiri sudah meninggal. Setelah kematiannya, suami keduanya, R. Juki Ardi, penulis yang pernah dipenjara di Pulau Buru, menulis kisah tentang istrinya itu: Aku Bukan Jamilah (2011).

Oleh karena saran dari suami pertamanya, pemimpin SOBSI, Jemilah muda—yang baru menikah dan hamil tiga bulan—pulang ke rumah di awal Oktober. Ia dicegat oleh tentara dan menanyakan soal nama. Mereka diperintahkan untuk mencari perempuan bernama Jamilah dan menangkapnya langsung, walaupun ia protes bahwa namanya Jemilah, bukan Jamilah. Para tentara (dengan baret merah, RPKAD) mengambil uang dan seluruh harta miliknya. Lalu ia dibawa ke kantor KOTI, dipukuli hingga hampir tak sadarkan diri. Setelah itu dia diminta untuk menandatangani surat pernyataan sebagai Atika Jamilah, yang jelas ia tolak.

Selanjutnya, ia dibawa ke Korps Polisi Militer dan di sana penyiksaan terjadi lagi. Ia ditelanjangi dan dilecehkan. Beberapa upaya pemerkosaan dilakukan, tetapi ia berhasil melawan, kata Ardi. Ia disiksa dengan sangat kejam sehingga ia memasrahkan hidup dan memilih untuk mati. Ia juga hampir menjadi gila. Perempuan yang satu penjara dengannya berusaha untuk memberikan dukungan. Ia ditempatkan di penjara perempuan Bukit Duri selama 14 tahun tanpa pengadilan.

Jemilah yang saat itu masih sangat muda tidak mengerti tentang politik. Suami pertamanya merasa tidak perlu menjelaskan kepadanya tentang politik nasional dan apa perannya di SOBSI. Ia juga tidak pernah mendengar tentang PKI, apalagi Gerwani, tetapi selama interogasi, ia selalu disebut sebagai “lonte Gerwani”. Jemilah mengalami siksaan sangat berat hingga keguguran.

Terlepas dari siksaan berat yang dialami oleh Jemilah, termasuk siksaan seksual, Jemilah dipaksa memegang arit. Arit adalah jenis senjata tajam yang dipakai ketika membunuh jenderal. Penyiksanya mengatakan kepadanya: “Gerwani itu anjing … Kamu bisa pilih… Saya perkosa atau ikuti perintah.” Jemilah tidak pernah melihat pisau sejenis itu sebelumnya. Itu menyerupai pisau yang biasanya digunakan ayahnya untuk memotong padi, tetapi lebih kecil. “Ambil ini. Ini adalah senjata yang kamu pakai untuk mencongkel mata jenderal di Lubang Buaya,” kata para tentara dengan geram. Ia tidak tahu apa yang diinginkan dari dirinya, tetapi ia mengambil arit itu dan dibawa keluar di bawah pohon rambutan, tempat ia difoto sebagai “bukti” bahwa ia terlibat di Lubang Buaya.

Kampanye ini dirancang untuk mengaitkan komunisme dengan wanita liar, sesat, serakah, dan pembunuh, lalu menghadirkan tentara sebagai penyelamat bangsa yang di ambang kehancuran. Ini adalah niat para pembuat mitos dan kaki tangan mereka, tidak hanya mencoreng nama Gerwani dengan fitnah seksual, juga melabeli PKI sebagai partai yang anggotanya mengalami kelainan seksual, sekaligus untuk melawan Presiden.

Jurnalis Simatupang menyebutkan bahwa pada 15 Januari 1966, mahasiswa yang demo menulis “dengan huruf sebesar gajah” di dinding rumah milik Hartini, istri Sukarno, di Bogor: “Ini adalah sarang sifilis. Gantung Gerwani”. Simatupang, penulis anti-Sukarno menulis pada 24 Januri 1966, menjelaskan bahwa adanya pesta pora seks Sukarno dan menteri-menterinya. “Bau tengik Neros dan Caligulas … mabuk secara terus menerus. Segala macam obat kuat dan kondom ditemukan di tas para diplomat … Bung Karno masih enggan membubarkan PKI karena ia takut hubungannya dengan Tiongkok akan rusak … sebagaimana ia juga khawatir pasokan obat kuat dari Tiongkok akan terputus …  ini lebih penting dibanding martabat masyarakat kita … Revolusi tidak bisa disamakan dengan pornografi dan kecabulan”.

Konsekuensi bagi mereka yang dekat dengan Presiden Sukarno sangat besar. Misalnya, kisah hidup Nani Nurani Affandi sebagaimana ditulis dalam bukunya Penyanyi Istana: Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno (2010). Ia lahir pada 1941 dari keluarga aristokrat tradisional di Cianjur, Jawa Barat. Ia adalah penyanyi dan penari seni klasik Sunda terkenal. Presiden Sukarno yang menyukai seni klasik mengundang Nani untuk pentas di hadapan para tamu. “Suara Emas” dari Cianjur tidak hanya bernyanyi untuk Presiden.

Dalam acara yang lain, ia juga tampil dalam perayaan 45 tahun PKI pada Juni 1965 di Cianjur. Ironisnya, ia dicegah untuk melakukan beberapa adegan dramatis karena anggota Gerwani yang terlibat menentang hal ini untuk suami mereka. Ia tidak pernah bergabung dengan partai politik atau organisasi, selain Seni Budaya Sunda. Situasi tegang setelah 1 Oktober membuat Nani pindah ke Jakarta. Lalu, ia menyadari bahwa ia dikaitkan dengan fitnah terkait peristiwa Lubang Buaya dan ada tuduhan bahwa ia tergabung dalam kelompok G30S.

Selama tiga tahun Nani berhasil tak tertangkap radar. Sampai akhirnya pada 1968 ia ditangkap. Ia masih dikenal sehingga tidak mengalami penyiksaan, tetapi ia mendengar tangisan korban yang mengalami penyiksaan di ruangan lain. Ia dipenjara selama tujuh tahun tanpa proses hukum. Ia dituduh berada di Lubang Buaya, tempat yang tidak pernah ia tahu, dan menyanyikan kidung ketika Jenderal Ahmad Yani berada di ambang kematian (ini tidak masuk akal karena Yani terbunuh di rumahnya). Pada suatu waktu, ia bahkan dituduh sebagai kekasih Aidit—yang hanya ditemuinya satu kali ketika ada acara publik di istana. Bahkan Ibu Salawati Daud yang sangat dihormati, walikota perempuan pertama (di Makassar, terkenal karena berhadapan langsung dengan pembunuh massal Kapten Westerling), dituduh menari telanjang di Lubang Buaya, menjadi pelacur, dan salah seorang kekasih Aidit.

Setelah pers militer mulai menerbitkan cerita-cerita Gerwani di akhir 1965, perempuan di seluruh negeri yang tidak pernah mendengar tentang Lubang Buaya digambarkan sebagai perempuan biadab yang menyiksa para jenderal. Puluhan ribu perempuan di desa yang menjalani hidupnya dengan terhormat tiba-tiba dipukul, dimasukkan ke dalam penjara, dan dibunuh. Tak terhitung perempuan dari organisasi sayap kiri setelah diperkosa dengan kejam, payudara mereka digunting. Mereka diberi stigma sebagai penyihir, ateis, maniak dengan seks, dan mesum.


Dikutip atas izin penerbit Komunitas Bambu dari buku Saskia E. Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana, Propaganda dan Genosida di Indonesia: Sejarah Rekayasa Hantu 1965, hlm. 115-120. Bukunya bisa didapatkan dan www.komunitasbambu.id atau hubungi 081385430505

400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapakdan Shopee.

Sukarno, Orang Kiri, Revolusi dan G30S 1965 karya Onghokham yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Sukarno dan Modernisme Islam karya Muhammad Ridwan Lubis yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Sukarno Muda karya Peter Kasenda yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Hari-hari Terakhir Orde Baru karya Peter Kasenda yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Penghancuran PKI karya Olle Tornquis yang bisa didapatkan di Tokopedia, dan Shopee.

Musim Menjagal karya Geoffrey Robinson yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee