Perseteruan Penguasa Pelabuhan Tanjung Priok

0
8770
Labuang De Passore atau Lagoa

Pasca kemerdekaan Indonesia, Jakarta yang menjadi ibu kota negara memasuki zaman yang rawan dengan kekerasan dan tindak kriminal. Sebagian besar pelakunya merupakan eks pejuang laskar yang kehilangan pekerjaan karena revolusi telah usai. Mereka yang tidak terakomodir dalam institusi resmi militer memilih “dunia kekerasan” untuk menyambung hidupnya.

Daerah-daerah ekonomi seperti Senen, Meester Cornelis, Tanah Abang dan Tanjung Priok menjadi tempat menyandarkan kebutuhan hidup. Mereka menjajakan diri sebagai penjaga keamanan, centeng dan jagoan.

Daerah-daerah ekonomi itu menjadi lahan perebutan kekuasaan, baik antar individu maupun antar organisasi pengelola keamanan. Hal ini yang menjadi penyebab utama daerah tersebut dinamakan oleh masyarakat umum waktu itu sebagai daerah onderwereld (dunia hitam) yang dianggap seram dan menakutkan.

Baca Juga:

  1. Perbaditan di Batavia dan Protes Sosial
  2. Kampung Orang Bugis di Jakarta
  3. Ondel-Ondel dan Korupsi

Tanjung Priok sebagai pelabuhan utama kota Jakarta menjadi salah satu lumbung ekonomi yang dipenuhi para jagoan. Mereka berangkat dari berbagai macam latar belakang etnis, karena secara umum tidak ada penguasa tunggal dari latar belakang etnis dalam dunia kekerasan di kota Jakarta.

Dua etnis yang pernah eksis dalam percaturan onderwereld di Jakarta Utara atau di Pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya adalah etnis Bugis dan Banten. Salah satu nama jagoan yang legendaris sebagai penguasa Pelabuhan Tanjung Priok hingga akhir tahun 50an adalah Lagoa, tokoh masyarakat Bugis yang bernama asli Labuang De Passore. Selain sebagai tokoh masyarakat, Lagoa juga dikenal sebagai seorang jago yang merangkap menjadi Mandor Pelabuhan.

Para buruh menganggap mandor sebagai tokoh jago yang dituakan, bahkan dianggap sebagai pemimpin dari kalangan etnisnya.  Hal ini pula yang dialami Lagoa sewaktu menjadi Mandor Pelabuhan Tanjung Priok. Tidak hanya di kalangan etnis Bugis-Makassar saja, Lagoa juga dipandang sebagai tokoh masyarakat yang punya kharisma oleh etnis lain yang ada di seputar Pelabuhan Tanjung Priok.

Di Pelabuhan Tanjung Priok sendiri juga terdapat tokoh lain berasal dari etnis Banten yang berprofesi sebagai mandor, yaitu Haji Tjitra yang bernama lengkap Haji Tjitra bin Kidang. Namanya sudah kondang sebagai penguasa penguasa Pelabuhan Tanjung Priok sejak akhir tahun 1920an yang direbutnya melalui pertarungan sengit dengan jago yang juga berasal dari Banten.

Kedatangan Lagoa di Pelabuhan Tanjung Priok sedikit banyak mengusik “pendaringan” Haji Tjitra bin Kidang. Sebab itu perseteruan kedua tokoh ini legendaris di Pelabuhan Tanjung Priok. Kerap kerusuhan sering terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok karena perebutan kekuasaan dari dua mandor berbeda etnis ini, tidak sekali dua kali mengakibatkan korban nyawa yang menghiasi berita di koran-koran Ibu Kota kala itu.

Cerita kedua tokoh Mandor Pelabuhan Tanjung Priok dari berbeda etnis ini meski diawali dengan perseteruan namun berakhir dengan harmonis, keduanya mampu menjadi tokoh perdamaian peredam konflik yang pernah terjadi di antara etnis Bugis-Makassar dan Banten bahkan dengan komunitas etnis lainnya.

Puncak kedamaian ditandai dengan diangkatnya Lagoa menjadi menantu oleh Haji Tjitra bin Kidang sebagai wujud perdamaian dan persaudaraan antara etnis Banten dan Bugis-Makassar di Tanjung Priok.

Pelabuhan Tanjung Priok sebagai daerah dengan penuh kekerasan terus berlanjut sepeninggal mereka berdua, bahkan meluas hingga ke luar daerah pelabuhan. Hingga di pertengahan tahun 60an terjadi konflik besar yang memakan banyak korban jiwa antar beberapa etnis penguasa daerah kekerasan di Tanjung Priok. Bahkan sampai harus melibatkan pejabat tinggi militer yang juga tokoh masyarakat Bugis saat itu, Brigjend. TNI Andi Muhammad Jusuf Amir dan Kol. TNI Ahmad Daeng Setoedjoe untuk mendamaikan.

Sampai kini, Tanjung Priok masih dikenal sebagai daerah keras, meski tidak lagi sekeras dulu.


Lebih jauh baca buku:

Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapak, dan Shopee.

Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.

Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapakdan Shopee.

Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta karya Robert Cribb yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Jakarta 1950-1970an karya Firman Lubis yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505

Buku-Buku terkait dengan artikel.

LEAVE A REPLY