Walaupun pada saat itu orang-orang Asia Tenggara tidak menyadarinya, kehadiran Portugis pada abad ke-15 menandai kemunculan kekuatan Eropa di wilayah mereka. Portugis yang didorong oleh motif komersial dan religius berharap bisa mendominasi Asia. Bibit ambisi ini ditanamkan pada wilayah-wilayah yang mereka kuasai yang tersebar di seluruh Asia.
Di Asia Tenggara, Melaka tentu saja menjadi permata mereka. Namun, Portugis tidak membentuk kekuatan organisasi dan angkatan laut yang memadai untuk mencapai tujuannya sehingga mereka segera tersaingi oleh bangsa Eropa lainnya yang lebih maju, terutama Inggris dan Belanda.
Ketertarikan komersial semua bangsa Eropa terhadap kepulauan Indonesia pada abad ke-16 dan ke-17 difokuskan pada rempah-rempah yang merupakan produk jarak jauh paling menguntungkan yang dapat disediakan wilayah tersebut bagi Eropa. Penjualan rempah-rempah—lada dari kepulauan bagian barat; pala, fuli dan cengkeh dari bagian timur—telah menjadi bagian dari sistem perdagangan kompleks yang mengikat kepulauan dan juga menghubungkannya dengan seluruh Asia.
Jawa Barat memproduksi lada. Pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur dan Jawa Tengah mengimpor rempah-rempah serta cendana untuk ditukar dengan tekstil lokal juga surplus beras yang ditanam di pedalaman Jawa. Lalu mereka menukar rempah-rempah ini untuk tekstil India dan barang-barang mewah Cina.
Baca Juga:
Masuknya bangsa Eropa merusak sistem perdagangan menguntungkan di wilayah tersebut karena mereka saling berupaya memonopoli perdagangan wilayah untuk keuntungan sendiri. Jayakarta menjadi pusat pertarungan ini, dan simbol kemenangan Belanda.
Pada awal abad ke-17, baik Belanda maupun Inggris membentuk Perusahaan Dagang Hindia Timur sebagai monopoli pemerintah untuk melakukan perdagangan di Asia. Kedua perusahaan ini segera terlibat dalam persaingan. Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda merupakan perusahaan khusus yang dijalankan oleh sebuah dewan direktur yang disebut sebagai Heeren XVII, yakni 17 orang perwakilan para pemegang saham.
Perusahaan tersebut dibentuk pada 1602 untuk tujuan nasional, dan para direkturnya bertanggungjawab kepada Parlemen Belanda. Berdasarkan peraturan dalam piagamnya, perusahaan yang lebih dikenal dengan inisialnya dalam bahasa Belanda—VOC— dapat menerapkan kekuasaan hampir seperti negara berdaulat dari Tanjung Harapan hingga wilayah Timur.
VOC didirikan pada saat Belanda masih berjuang meraih kemerdekaan dari Spanyol, karena itulah pemerintahnya berharap bahwa melalui perdagangan, perusahaan ini dapat menyediakan dana yang cukup bagi Belanda untuk melanjutkan upaya perang melawan Spanyol.
Selain itu, Belanda juga berharap dapat merendahkan posisi internasional musuhnya dengan menggantikannya sebagai kekuatan komersil. Namun, VOC segera menyadari bahwa saingannya di bagian barat kepulauan Indonesia bukanlah Spanyol atau pun sekutunya, Portugis, melainkan Inggris. Sebab sejak abad ke-17, orang-orang Eropa Utara jauh mengungguli orang-orang Iberia dalam bidang pembangunan kapal, navigasi, persenjataan dan organisasi.
Menurut F. de Haan dalam Oud Batavia isu yang menentukan nasib Jayakarta adalah kebutuhan Belanda untuk mendirikan markas besar di kepulauan Indonesia. Mereka memerlukan suatu tempat untuk membangun dan memperbaiki kapal, pangkalan untuk beristirahat dan mengisi perbekalan, tempat untuk menyimpan komoditas, mendapatkan informasi lokal dan penerjemah, serta sebuah pusat militer dan administrasi. Mereka bukan mencari wilayah jajahan, melainkan sebuah basis operasi untuk perdagangan.
Pada 1605, Belanda berhasil merebut Benteng Victoria di Ambon yang menjadi tempat penting bagi perdagangan mereka di Kepulauan Rempah-Rempah. Namun, Ambon terlalu jauh di timur untuk dijadikan pusat pengawasan aktivitas perdagangan yang lebih luas. Belanda mencari sebuah pelabuhan di wilayah perdagangan populer di Indonesia bagian barat, dekat Melaka dan Selat Sunda.
Masalahnya, pelabuhan-pelabuhan besar di wilayah ini sudah didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang tidak bersahabat dengan Belanda. Melaka dikuasai Portugis, Banten yang merupakan pelabuhan terbesar di Jawa Barat dikendalikan oleh seorang penguasa yang mencurigai ambisi Belanda dan tidak suka melihat persaingan Belanda dengan Inggris yang mengganggu. Ia hanya bersedia memberikan izin kepada Belanda untuk membangun 11 gudang di Banten dan izin yang sama juga diberikan kepada Inggris.
Belanda segera mengalihkan perhatiannya ke Jayakarta—atau Jacatra, sebagaimana mereka menyebutnya—sebagai lokasi yang berpotensi dijadikan markas besar. Pertama, alasannya adalah seperti Banten, pelabuhan ini dekat dengan Selat Sunda yang sering dilalui kapal-kapal Belanda dalam perjalanan melintasi Samudera Hindia dari dan ke Eropa melewati Tanjung Harapan. Kedua, walaupun merupakan bawahan Banten, penguasanya—Pangeran Jayakarta—sudah tidak lagi tunduk pada Banten dan berupaya membangun kekayaan dan kemandirian dengan cara menarik para pedagang dari Banten. Pada 1610, sebuah kontrak ditandatangani antara Belanda dan Pangeran Jayakarta yang mengizinkan VOC untuk membangun gudang-gudang di tepi timur Kali Ciliwung.
Orang yang bertanggungjawab atas kehancuran Jayakarta ialah Jan Pieterszoon Coen yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC pada 1618. Di mata orang Belanda, Coen adalah seorang pendiri imperium yang berpikiran jauh, sementara pihak lain mungkin melihatnya sebagai megalomaniak kejam. Pada 1614, saat masih berusia 28 tahun, ia sudah membuat rencana luarbiasa ambisius bagi VOC yang belum lama berdiri. Ia membayangkan bahwa Belanda akan memiliki rangkaian pos perdagangan di seluruh Asia yang memungkinkan negeri itu untuk mendominasi seluruh perdagangan di wilayah tersebut.
Coen menekankan pentingnya pengendalian lokal sebagai tempat pengumpulan komoditas Asia dan pusat kolonisasi karena ia beranggapan bahwa dominasi Belanda membutuhkan banyak orang Belanda yang berada di wilayah lokal untuk perdagangan intraregional, aktivitas militer, akuntansi, pekerja terampil dan pengawas perkebunan. Sebagai pemimpin yang berada di tempat, jauh dari Belanda yang harus ditempuh dalam waktu berbulan-bulan dengan kapal, Coen memiliki posisi sebagai penentu keputusan vital.
Sebagai orang yang penuh ambisi, Coen menggunakan kekuasaannya secara maksimal. Ia mengintimidasi Heeren XVII melalui korespondensi agar mendukungnya. Surat-suratnya penuh dengan keluhan tentang kelambanan para dewan dalam menyediakan suplai penting, yaitu kapal, dana dan sumber daya manusia.
Ketika Coen menjadi gubernur jenderal pada 1618, hubungan antara Belanda, Inggris dan Jawa sudah sangat buruk. Satu-satunya yang membuat Belanda bisa bertahan sampai bertahun-tahun kemudian adalah tidak adanya persekutuan di antara musuh-musuhnya. Belanda dan Inggris terlibat dalam persaingan dagang sengit yang sering pecah menjadi agresi terbuka di pelabuhan Banten, Jawa Barat.
Gusar dengan tingkah laku orang-orang Eropa, penguasa Banten semakin memusuhi mereka karena kedua bangsa Eropa ini saling bertikai serta di saat yang bersamaan memaksa para pedagang Jawa dan Cina lokal untuk menurunkan harga lada. Meskipun Banten semakin menjadi ancaman bagi Belanda, keduanya memiliki musuh yang lebih berbahaya, yaitu Sultan Agung dari Mataram. Penguasa Jawa Timur dan Jawa Tengah ini menganggap kehadiran Belanda sebagai hambatan bagi ambisinya untuk menguasai seluruh Jawa.
Jika penguasa Banten bersekutu dengan Mataram, atau salahsatu dari mereka bersekutu dengan Inggris, maka VOC tidak akan pernah bisa mendirikan basis perdagangan di pulau Jawa. Namun, kekuatan-kekuatan ini saling curiga karena masing-masing berupaya memperkuat posisinya sendiri.
Pada 1618, Coen memutuskan untuk mengambil tindakan antisipasi di Banten karena beranggapan bahwa VOC akan menghadapi bahaya dari Inggris dan penguasa Banten. Ia memperkuat pertahanan bangunan-bangunan milik Belanda di Jayakarta dan memperbanyak tentara garnisun di sana (Lihat Peta 1.2.). Tindakan ini membuat Pangeran Jayakarta meningkatkan pertahanan kota.
Orang Inggris juga mendirikan pos dagang di sisi kali, berseberangan dengan milik Belanda. Coen sangat mengharapkan terjadinya perang. Seperti diungkap oleh H.T. Colenbrander dalam Jan Pietersz. Coen: Levensbeschrijving (1934), ia menulis kepada Heeren XVII:
“Mohon Tuan-Tuan yang terhormat bayangkan bagaimana kami duduk manis di sini sementara ancaman dari segala penjuru menekan kami. Walaupun demikian, kami tidak gentar …. Karena itulah saya sekali lagi mengharapkan dengan segala kerendahan hati agar Tuan-Tuan secepatnya mengirimkan pasukan, kapal dan dana dalam jumlah besar serta berbagai kebutuhan lain. Jika permintaan ini dipenuhi, semuanya akan baik-baik saja; jika tidak, Tuan-Tuan akan menyesalinya. Jangan putus asa dan jangan ampuni musuh, tidak ada yang dapat menghambat atau membahayakan kita karena Tuhan berada di sisi kita. Jangan pula terpengaruh dengan kekalahankekalahan sebelumnya karena kita dapat membuat pencapaian besar di Hindia dan di saat yang bersamaan mendapatkan keuntungan besar setiap tahun dari wilayah ini.”
Kecemasan yang bercampur dengan semangat Coen yang meluap-luap dapat dipahami karena pada saat itu—akhir 1618— pasukan Coen kalah jumlah dengan Inggris. Pada 14 Desember 1618, armada Inggris menangkap sebuah kapal Belanda di Banten. Sebagai balasannya, Coen membakar pos dagang Inggris di Jayakarta. Armada Inggris berkekuatan 14 kapal berlayar ke Jayakarta, lalu terlibat dalam sejumlah pertempuran kecil dengan 8 kapal Belanda.
Karena kalah jumlah, Coen memutuskan bahwa ia tidak memiliki pilihan selain berlayar ke Maluku untuk meminta bala bantuan dari pos-pos terluar VOC di sana. Ia meninggalkan benteng di Jayakarta yang pertahanannya sangat lemah dan kekurangan mesiu. Sebelum berlayar, ia menuliskan surat penuh amarah kepada Heeren XVII: “Demi Tuhan saya bersumpah bahwa di sini tidak ada musuh yang lebih menghambat dan membahayakan VOC daripada kebodohan dan kesembronoan Tuan-tuan sekalian yang tak dapat dipahami.”
“Pengepungan” benteng di Jayakarta yang terjadi setelahnya, bukanlah kisah kepahlawanan. Komandan bentengnya—Pieter van den Broecke—berpikir seperti seorang pemilik toko, hal yang paling membebani pikirannya dalam situasi tersebut adalah bal-bal katun dan sutra mahal yang terpaksa dikeluarkan dari gudang untuk digunakan sebagai barikade. Namun, sebenarnya benteng ini jauh dari bahaya besar. Alasannya sederhana, yaitu Inggris dan Jawa tidak bisa mencapai kata sepakat mengenai pihak mana di antara mereka yang akan menyerang.
Penguasa Banten pun mengirimkan armadanya ke lokasi untuk mencegah Inggris maupun Pangeran Jayakarta mengambil kesempatan dalam kelemahan Belanda dan memperkuat posisi terhadap Banten. Setelah kontak senjata setengah hati antara Belanda dan pasukan Jayakarta, pertempuran beralih menjadi perundingan pada 14 Januari. Pangeran Jayakarta melakukan tindakan putus asa dengan menahan beberapa tokoh negosiator penting Belanda, tapi situasinya segera menemui jalan buntu.
Belanda menyadari bahwa situasinya sudah aman ketika Inggris mundur karena gentar dengan keberadaan armada Banten, ditambah dengan disingkirkannya Pangeran Jayakarta oleh Banten. Di dalam benteng, orang-orang Belanda segera merayakan kejadian-kejadian ini dan dalam suatu pesta yang diadakan pada 12 Maret 1619, mereka menamakan bentengnya menjadi “Batavia” untuk menghormati leluhur bangsa Belanda, yaitu orang-orang Batavia. Walaupun tidak segera mendapatkan pengakuan resmi, nama ini terus bertahan dan diakui oleh VOC pada 1621.
Ketika Coen kembali pada Mei 1619—sangat telat karena halangan yang tidak terduga—benteng dan penghuninya berada dalam keadaan aman walaupun semua itu bukan berkat upaya mereka. Dengan kekuatan superior yang sekarang ada di bawah komandonya, ia mengambil kesempatan untuk menjadikan Jayakarta sebagai markas besar VOC di Hindia yang sudah lama diinginkannya.
Pada 30 Mei, pasukan VOC membumihanguskan kota dan istana Jayakarta ini, semua penduduknya melarikan diri.
Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn, cetakan pertama (2011), halaman 9-20. Buku bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee serta komunitasbambu.id atau kontak Hp 081385430505.
Lebih jauh baca:
Batavia Kehidupan Masyarakat Abad XVII karya Hendrik E. Niemeijer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Profil Etnik Jakarta karya Lance Castles yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505