Sepanjang sejarah kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, tiada yang bisa menandingi reputasi Jan Pieterzoon Coen dalam soal menyerukan perbaikan akhlak. Tanpa akhlak, tak ada kehidupan yang beradab.
Begitulah keyakinan Coen, yang kelahiran Kota Hoorn pada 1587 dan tersohor disebut founding father kota benteng Batavia sebagai emporium kolonialisme Belanda di Asia. Ketikaia yang berjuluk Mayor Singa naik sebagai gubernur jenderal pada 11 Desember 1620, segera saja dikeluarkannya satu aturan yang berangkat dari kekecewaannya setelah melihat begitu banyak praktek permesuman di antara abdi-abdi Kompeni.
Tak cukup sekali, pada 20 Juli 1622, dikeluarkan lagi peraturan sejenis untuk memerangi yang disebutnya “kehidupan penuh skandal”. Coen bangga karena yang kedua lebih komplet, ketat, dan keras hukumannya bagi pelaku permesuman.
Tapi alangkah malunya Coen karena perbaikan akhlak yang sering dikampanyekannya—sampai-sampai banyak yang menyebutnya sebagai seorang fanatik dan puritan—tinggal menjadi omong kosong. Sebab apa? Begini ceritanya.
Baca Juga:
Pada 1629, hebohlah kota benteng Batavia karena telah tertangkap basah Zara Specx, yang tengah panas-panasnya memadu cinta dengan kekasihnya di atas ranjang, di satu kamar rumah mewah Coen. Pieter J. Kortenhoeff, kekasih Zara, adalah pemuda ganteng 27 tahun yang sedang naik daun di dinas keperwiraan Kompeni. Sedangkan Zara adalah dara cantik bahenol 13 tahun campuran Jepang-Belanda. Keduanya bintang pujaan Kota Batavia. Tetapi, terutama Zara, dia buah hati kesayangan Coen, meski sejatinya bukan anak kandung sosok yang ditahbiskan dalam babad masyarakat Jawa sebagai Murjangkung karena tingginya yang sampai 183 cm itu.
Zara adalah anak Jacques Specx, sahabat kental Coen yang juga pejabat tertinggi wilayah Kompeni di Firando, Jepang. Setelah bertugas di Jepang, Specx dipindahkan ke Batavia berdasarkan surat panggilan bertitimangsa 14 April 1622 dan diangkat menjadi Ketua College van Schepelingen merangkap anggota luar biasa Raad van Indie. Pada 1624, Specx dipercaya menjadi komisaris urusan politik di Dewan Gereja di Batavia. Coen dan Specx memang selalu dalam kerja sama yang guyub ketika sama-sama sungsang sumbel membangun Kota Batavia pada masa awal pembentukannya. Saking dekatnya, ketika Specx dipanggil pulang ke Belanda pada 1627, Zara—putri tunggal buah pergaulan Specx dengan otemba atau gundik Jepang—dititip-percayakan di rumah Coen dan keluarganya demi mendapatkan asuhan hidup dalam kesalehan ajaran Calvin.
Coen merasa sangat terhormat dengan amanah Specx menitipkan putri kesayangannya di dalam rumah tangganya. Pertama, Coen merasa telah berhasil menanamkan tradisi yang hidup di negeri induk untuk dilakukan juga di Batavia, yang tersohor gampang menjauhkan perantauperantau kulit putih dari tradisibudaya Eropa dan menyeret mereka ke dalam budaya mestizo, yang dianggap rendah. Di Eropa, pada masa itu memang ada adat kebiasaan di kalangan keluarga kelas tinggi untuk menampung janda atau anak-anak kalangan kelas yang sama dalam rumah tangga mereka. Tapi yang terpenting dan menjadi pertimbangan kedua Coen adalah citranya sebagai keluarga saleh semakin kuat dan itu sangat membantu perwujudan cita-citanya untuk membentuk Batavia sebagai koloni kulit putih yang religius.
Tapi, dasar sial, pertunjukan perkelaminan liar antara Zara dan Kortenhoff, yang jauh dari kepatutan akhlak dan berlangsung di rumahnya sendiri, seketika dianggap Coen telah menghancurkan semua usahanya memberikan teladan bagi pembentukan masyarakat berakhlak mulia di Batavia. Sungguh itu aib dan cemar besar. Coen merasa sangat malu, terhina, dan jadi murka. Sebagai seorang yang mengutamakan akhlak, Coen pun menitahkan pengacara hitam, Anthoni van den Hauvel, agar pasangan liar itu segera dihukum sekejam-kejamnya. Hauvel memutuskan bahwa Zara harus dikarungkan dan ditenggelamkan hidup-hidup di laut, sedangkan pasangannya pantas digantung.
Presiden Raad van Justitie pun menegur Coen. Dia mengingatkan dan meyakinkan, mestinya Coen menunggu dulu keputusan pengadilan. Jangan main hakim sendiri, mentang-mentang gubernur jenderal. Sebab, dengan begitu Coen bukan hanya telah melanggar tata aturan yang dibuatnya sendiri demi keterjaminan ketertiban masyarakat Batavia, tapi juga tidak mencerminkan akhlak seorang yang beragama. Coen memang akhirnya bisa dipengaruhi, tetapi ia telah melakukan tekanan politik sedemikian rupa, sehingga akhirnya dalam pemungutan suara di Raad van Justitie niat Coen menjatuhkan hukuman kejam tetap dapat terwujud.
Senin, 5 Juni 1629, keluarlah keputusan Raad van Justitie, yang ditandatangani Pieter Vlak, Kepala Raad van Justitie, dan Coen sendiri sebagai gubernur jenderal. Sehari setelah keluarnya surat itu, Kortenhoeff dihukum pancung, yang ditonton ratusan orang di depan gedung Stadhuis. Hukuman Zara lebih ringan. Gadis belia itu dijatuhi hukuman dera sampai mati di dalam gedung Stadhuis dan terbuka untuk umum. Coen menolak segala bentuk permohonan ampun yang diajukan pendeta, meski itu hak istimewanya sebagai gubernur jenderal. Tetapi Zara selamat meski tubuhnya yang
montok berkulit mulus harus menerima pecutan rotan oleh beuls alias algojo berpuluh kali.
Santer berita bahwa sebab musabab Coen meninggal mendadak bukanlah karena serangan kolera, melainkan serangan jantung yang diakibatkan oleh perasaan bersalah yang menghantui dirinya dan memuncak manakala pada 20 September 1629, ia mengetahui ayah Zara sekaligus sahabatnya, Jacques Specx, dalam perjalanan ke Batavia dan kapalnya sedang berada di Selat Sunda.
Padahal sebenarnya Zara tidak mati. Beberapa sumber menyebutkan si bahenol itu selamat. Ia pindah lalu menikah dengan Georg Candidus, seorang pendeta dari Jerman. Tercatat, pada 1635, Zara meninggal di Taiwan.
Saat itu Batavia, buah hati Coen, sudah menampakkan diri sebagaimana yang diimpikannya, yaitu berkembang menjadi kota pusat emporium kolonialisme Belanda di Asia. Seperti Zara, kota benteng itu tumbuh cantik mempesona. Saking cantiknya, sampai disandangkan gelar Koningin van het Oosten alias Ratu dari Timur. VOC pun mekar sebagai salah satu perusahaan multinasional pertama dan terkaya di dunia.
Tetapi, satu saja cita-cita Coen yang kandas dan justru yang paling sering diserukannya, yaitu ihwal kehidupan yang beradab dengan akhlak mulia. Coen dan penerusnya tidak bisa menghentikan yang mereka sebut dengan nyinyir sebagai praktek permesuman dan perkelaminan liar yang berbentuk pergundikan. Ini merebak di barak dan rumah abdi Kompeni yang berpangkat tinggi. Bahkan kemudian terinstitusikan.
Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer (1632-1632) pernah menyatakan, dengan sering menyerukan perbaikan akhlak, Coen sesungguhnya terjebak “obsesi buta akan perkembangan Batavia”bebas permesuman layaknya seorang puritan, bahkan fanatik.
Dalam konteks ini, Coen—begitu juga banyak gubernur jenderal setelahnya—tak melihat betapa di tubuh Kompeni terdapat persoalan-persoalan besar lainnya yang penting dan menuntut perhatian serta energi lebih besar.
Sebab, persoalannya akan berbahaya sekali bila didiamkan atau ditangani setengah-setengah, yaitu maraknya praktek suap, jualbeli jabatan, penyelundupan atas nama kedinasan, dan lain-lain-sesuatu yang kemudian dikenal sebagai korupsi. Inilah kejahatan yang begitu busuk dan sangat ganas merusak semua tiang penyangga kehidupan Kompeni.
Bahkan ketika Kompeni sudah payah—didera epidemi penyakit akibat kerakusan abdi-abdinya yang menanamkan uang hasil korupsi mereka dalam bentuk industri gula yang kemudian bangkrut dan mengganggu keseimbangan alam Batavia—tidak hanya seruan memperbaiki akhlak yang digencarkan, malah Gubernur Jenderal Dirk van Cloon pada 1734 sampai menyerukan satu hari pembacaan doa dan puasa untuk menjauhi Batavia dari krisis yang mengancam.
Adalah benar diperlukan seruan untuk membangkitkan kembali vitalitas masyarakat yang keblangsak dan merangsang kreativitasnya untuk bangkit dari krisis. Tetapi seruan perbaikan akhlak dalam arti yang sifatnya ritualistik kepada masyarakat sungguh bukan bahasa yang terutama diperlukan dalam situasi krisis itu. Apalagi demi mengetahui betul bahwa yang meneyerukan dan seluruh abdinya lebih busuk akhlaknya.
Dan memang terbukti seruan perbaikan akhlak tidak begitu mampu menyelamatkan perusahaan dagang yang memukau serta merupakan cikal-bakal kolonialisme Belanda di Asia itu. VOC akhirnya runtuh dan dikenang oleh generasi selanjutnya sebagai korban penyakit moral dalam satir memalukan: VOC atau Vergaan Onder Corruptie alias Jatuh Karena Korupsi.
Lebih jauh baca:
Batavia Kehidupan Masyarakat Abad XVII karya Hendrik E. Niemeijer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Profil Etnik Jakarta karya Lance Castles yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505