Menteng: Dari Kota Taman Sampai Kebun Binatang Politik dan Ekonomi

Menteng: Dari Kota Taman Sampai Kebun Binatang Politik dan Ekonomi

0
1964
Rumah-rumah di Jalan Purwakarta, Menteng pada 1940. Pada 1970, Khusus di Menteng, karena mengantisipasi vandalisme terhadap kawasan sejarah, secara khusus Gubernur Ali Sadikin telah menetapkan sebagai cagar budaya dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta No. D.IV-6098/d/33/1975.

Kalau ada yang bilang ‘a city without old building is like a peoples without remembrance’ , berani sumpah itulah Jakarta.

Bagaimana tidak kalau saben-saben terdengar ada saja bangunan bersejarah yang dilenyapkan. Ironisnya itu terutama terjadi di Menteng, pusat kaum aristokrasi duit dan politik Indonesia bertempat tinggal.

Salah satu yang heboh adalah ketika rumah milik Sari Shudiono yang dijual dibongkar. “Rumah Cantik” begitu publik menggelarinya. Boleh jadi sebutan itu dibentuk oleh media populer film, sinetron dan video lagu. Dari penyanyi Chrisye, Marcell sampai band Jikustik. Tetapi, cobalah percaya, dalam gelar itu hidup apa yang dimaknai publik sebagai keasrian dan keantikan. Sesuatu yang sebenarnya identitas sejati Menteng sebagai tuinstad alias kota taman. Lantas menjadi artefak sejarah.

Kehebohan publik itu tentu saja terkait dengan tindakan vandalisme kepada penanda keasrian dan keantikan yang lekat di hati mereka itu. Protes pun mengalir. Mereka menuntut penyelamatan rumah yang letaknya di hoek Jalan Cik Ditiro 62-Jalan Ki Mangunsarkoro, Menteng ini. Saat itu dekat akhir November 2011. Selentingan yang beredar rumah khas Menteng dari tahun 1930-an itu dibongkar setelah dibeli seharga Rp 27 milyar oleh Edhie Baskoro Yudhoyono, anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Disebutkan ia membelinya karena tengah menyiapkan tempat tinggal untuk perkawinannya dengan seorang anak pimpinan partai.

Baca Juga:

  1. Rumah Indis Batavia
  2. Ada Villa Mewah Zaman Kompeni di Kramatjati
  3. Sejarah Pembangunan HI dan Sekitarnya

Bangunan-bangunan tua di Jakarta bukan tanpa payung hukum. Ada rupa-rupa peraturan. Sebut saja mulai Monument Ordonantie 1931 sampai Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Khusus di Menteng secara khusus Gubernur Ali Sadikin telah menetapkan sebagai cagar budaya dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta No. D.IV-6098/d/33/1975. Perlidungan terhadap Menteng  dan lebih luas lagi bangunan-bangunan bersejarah di Jakarta disempurnakan melalui Perda DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999 tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya.

“Rumah Cantik” memang berada di kategori C. Tetapi, sejatinya adalah kategori A karena nilai keaslian bangunan dan termasuk yang langka karena dibangun saat masa depresi. Meskipun hanya kategori C bukan berarti tidak terikat dengan semua aturan itu. Ia tetap harus diperlakukan sebagai bangunan cagar budaya. Sebab itu tidak seharusnya dibongkar sembarang. Harus lebih dulu melalui rekomendasi Tim Sidang  Pemugaran (TSP) DKI Jakarta. Sayang, semua tinggal di atas kertas. Gubernur Fauzi Bowo menyatakan bahwa status “Rumah Cantik” itu tidak setara dengan cagar budaya yang tidak boleh dibongkar dan diubah arsitekturnya. Ia tidak akan bisa banyak berkutik karena saat itu juga sebagai petinggi Partai Demokrat yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi, banjiran protes publik akhirnya memaksa Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menyegel “Rumah Cantik”. Tetapi, semua sudah terlambat.

“Menteng is lost,” begitu kata Adolf Heuken sebagai kronikus Jakarta yang lama tinggal di Menteng. Heuken melihat budaya korup Pemerintah Kota DKI Jakarta membuat OKB dan kaum menak politik bersama arsitek-arsitek dekaden leluasa merajalela bikin bopeng wajah historis Menteng. Hilanglah bagian-bagian antik rumah-rumah lama Menteng bersama dimulainya perobohan demi perobohan dan atau pemugaran. Malahan kehilangan itu lebih lama lagi. Sebab sebelum dibongkar dipugar ada trik sengaja dibuat tak terurus dengan dipreteli atau dibiarkan rusak elemen-elemen pentingnya yang berharga. Lantas dengan begitu ada alasan dihancurkan seraya dibangun istana kaum aristokrasi uang dan politik.

Menteng sejak awal digagas para arsitek terdidik pada awal abad ke-20 sebagai pemukiman modern pertama di Hindia Belanda memang untuk istana kaum aristokrasi uang dan politik kolonial. Tetapi, keterlibatan PAJ Moojen (1879-1955) sebagai arsitek yang juga anggota Gemeenteraaden atau Dewan Kotapraja Batavia telah membuat Menteng mengarah pada pemukiman modern yang arsitektural ruangnya ramah pada budaya lokal. Termasuk bagaimana menempatkan suasana tropis berlingkungan hijau sebagai nilai terpenting.

Moojen diberi kuasa merancang tanah seluas 500 hektar. Di sinilah sebagai anggota Commisie van toesich op het beheer van het Land Menteng, ia ditugaskan merencanakan dan membangun Nieuw Gondangdia—nama awal Menteng—sebagai tuinstad atau kota taman. Untuk mengembangkan Nieuw Gondangdia pada 1912, Moojen mendirikan dan menjadi direktur NV de Bouwploeg. Bangunan kantor ini dirancangnya sangat manis karena menjadi gerbang memasuki Menteng. Di sini bekerja para arsitek yang membantunya mengembangkan pemikiran tentang tuinstad Menteng. Ia angankan Menteng sebagai terusan suasana Weltevreden atau sekitar Gambir yang sangat dipengaruhi arsitektur tropis modern berciri kota khas Jawa karena kapok dari bencana keliru arsitektral ruang ketika di Oud Batavia.

Tidak jauh dari kantor de Bouwploeg yang sejak 1985 sampai sekarang dipakai sebagai Mesjid Cut Meutiah itu, Moojen juga membangun Bataviasche Kunstkringgebouw. Gedung inilah yang pada masa Orde Baru sohor sebagai Gedung Imigrasi dan pada 1997 ditukarguling dengan tanah-rumah di Kemayoran untuk dijadikan Museum Ibu Tien Soeharto. Lantas, bersama jatuhnya Soeharto niat itu pun lenyap dan terdengarlah sayembara serta pelaksanaan pemugaran Kunstkringgebouw oleh Pemerintah DKI Jakarta. Saat itu banyak harapan bahwa karakter historis Kunstkringgebouw sebagai tempat pameran seni dan temu intelektual akan dihidupkan kembali, tetapi ironis setelah selesai malah dijadikan Budha Bar. Kabarnya itu bisa terjadi karena keterlibatan puteri dua orang menak politik.

Protes pun terjadi, namun bukan pada ketersinggungan betapa telah terjadi pelecehan atas warisan sekaligus identitas sejarah Jakarta, melainkan pada perasaan keterlanggaran salahsatu agama. Lantas Budha Bar pun berganti nama menjadi Bistro Boulevard. Pencantuman nama boulevard memang mengingatkan pada gedung Kunstkringgebouw  itu yang dirancang Moojen terletak pada ujung boulevard utama daerah Nieuw Gondangdia. Tetapi irinosnya juga melupakan nilai historis Kunstkringgebouw  yang jelas-jelas merupakan bangunan bersejarah yang dianggap sebagai karya pembuka arsitektur modern Indonesia.

“Moojen adalah pelopor gaya indische bouwstijl yang baru dan dengan itu menduduki tempat sebagai arsitek sungguhan pertama di Hindia Belanda,” begitu HP Berlage sebagai mahaguru arsitek paling masyur dan berpengaruh di Belanda memuji Moojen. Bahkan ketika pada 1923, Berlage berkunjung ke Batavia kesannya tentang cap Moojen di Menteng semakin positif. “Gaya bangunan vila modern dengan iklim tropis memberi kesan baik,” tegas Berlage. Pada 1918, Moojen memang sudah meninggalkan pengerjaan Menteng kepada sederetan nama arsitek baru seperti FJ Kubatz, FJL Ghijsels, JF van Haytema, dan H van Essen tetapi konsepnya terus direalisasikan.

Ketika kuasa militeristik Jepang datang pada 1942, Menteng sudah menjelma menjadi tuinstad alias kota taman dengan kekayaan arsitekturnya yg sohor punya wajah khas tiada duanya di Asia. Bahkan setelah Indonesia merdeka dan Jakarta resmi menjadi ibukota, saat semangat anti-Belanda menguat dalam bentuk penghancuran yang berbau kolonial, Sukarno malah meminta Menteng dipertahankan. Kavling-kavling di Menteng yang masih kosong pun diisi dalam gaya pra Perang Dunia II oleh arsitek Han Groenewegen.

Tetapi bersama dijatuhkannya Sukarno dan bangkitnya Soeharto, pelan-pelan Menteng sebagai city planning pertama di ibukota Batavia mulai digerogoti oleh kaum aristokrasi uang yang sohor disebut OKB (Orang Kaya Baru) dan menak politik penderita hongerodeem atau busung lapar sejarah. Mereka tidak mengerti old is gold tetapi old is odd. Sampai di sini mereka sama sekali tidak  puya pemahaman saving the past for our future sebab mereka lebih melihatnya sebagai investasi politik di masa depan yang menjanjikan jika dapat berada di lingkaran terdekat kekuasaan Orde Baru.

Saat itu Soeharto sebagai penguasa Orde Baru yang diidentifikasi sebagai kekuasaan patrimonial memang tengah membangun ‘kraton’ di Jl. Cendana.  Ini segera saja diikuti para abdinya yang berlomba-lomba memasuki kawasan negara gung Menteng. Lantas, pada 1970-an itu—periode yang dikatakan Ricard Robison sebagai tahun-tahun pembentukan penguasa-pengusaha—kaum aristokrasi uang dan politik berbondong-bondong berburu rumah di kawasan  Menteng. Bahkan kantor partai mereka pun di dirikan di kawasan Menteng itu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demorasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar).

Sejak itulah apa yang diceritakan Firman Lubis sebagai ‘Anak Menteng’ dalam sebuah kenang-kenangannya Jakarta 1960-an bahwa daerah mainnya itu yang masih relatif bersih dan sepi mulai berganti dengan keriuhan. Bukan hanya lalu lintas, tetapi juga politik, seperti peristwa 27 Juli 1996 dan reformasi 1998. Sampai di sini ia bukan saja sedang mengeluhkan jejak Menteng sebagai tuinstad zaman kolonial dirombak, direnovasi bahkan dihancurkan diganti dengan rumah-rumah berarsitektur ‘aneh-aneh’ dan norak. Tetapi, ia juga sedang bicara ihwal perubahan mental penguasa pribumi yang pelan-pelan mengorbit kembali dalam mental penguasa kolonial: “kelas majikan”.

Susan Blackburn dalam bukunya yang terkenal Sejarah 400 Tahun Jakarta punya istilah untuk mereka yaitu “tuan-tuan baru”. Mereka ini menandai era baru Menteng yang mulai dikuasai OKB dan para menak politik yang kaya tetapi berselera rendah, juga arogan sebab rumahnya dibangun tanpa meninggalkan secuil tanah pun untuk pekarangan. Inilah awal senjakala Menteng. Saat itu pula hilang ikon-ikon pentingnya seperti Toko Li, Oranje Nassau Apotheek, Lapangan Voetbalbond Indische Omstreken (VIOS), gedung apartemen unik di ujung Jl. Sutan Sjahrir yang sangat penting untuk sejarah arsitektur. Menjamur pembangunan gedung-gedung modern yang tinggi dan besar di Menteng dan sekitarnya.

Menteng dalam masa senjakala. Is Menteng lost? Ya, jika pemerintah dan warga Jakarta diam. Sudah banyak aturan dan rencana. Yang kurang kepedulian dan keterlibatan serius untuk menjalankan sebuah upaya menyelamatkan kota taman, tuinstad Menteng yang historis sebagai identitas Jakarta yang manusiawi dan ekologis. Jangan biarkan Menteng dari tuinstad diubah menjadi dierentuin alias kebun binatang, tempat para binatang politik dan binatang ekonomi mempertontonkan peradaban rendah mereka.

 

Pernah dimuat di Koran TEMPO 11 Desember 2011