Perbedaan mencolok yang paling saya ingat dan rasakan mengenai lingkungan, khususnya perumahan di Jakarta sesudah orde baru ialah pagar rumah. Tetapi, sebelumnya rumah-rumah tinggal di Jakarta pada 1950-an relatif belum banyak berpagar. Baik pagar yang membatasi ke jalan maupun ke samping rumah sebelah. Pagar rumah waktu itu umumnya sebagai tanda batas saja. Biasanya berupa tanaman berbatang pendek, misalnya tanaman kemuning, mangkok-mangkokan atau beluntas. Atau pagar bambu, papan atau kawat setinggi pinggang.
Banyak rumah juga terbuka begitu saja sehingga memberi kesan tata ruang lebih terbuka dan memudahkan terjadi kontak sosial di antara para tetangga. Tidak seperti di zaman pembangunan mulai 1970-an, ketika banyak rumah memiliki pagar tembok atau besi yang sangat kokoh dan tinggi sehingga menimbulkan kesan seperti benteng. Rumah seperti itu terutama di pemukiman elite, apalagi yang bersebelahan dengan kampung sehingga hubungan antartetangga dan antarmanusia terhalang dan tidak ada lagi. Istilahnya menjadi lu-lu, gua-gua.
Baca Juga:
Di era 1950-an, saya ingat kalau bermain ke rumah tetangga terasa mudah dan bebas, tidak terhalang pagar tembok atau pintu besi tertutup rapat. Umumnya antartetangga saling mengenal dan berhubungan dengan cukup baik. Tegur sapa di antara tetangga sering terjadi. Rumah-rumah yang belum berpagar kokoh seperti di Menteng pada 1950-an karena peninggalan zaman kolonial, yang suasana keamanan dan ketertibannya relatif baik di zaman itu. Walaupun keamanan dan ketertiban memburuk pada 1950-an, belum memaksa orang untuk membangun pagar rumah yang kokoh.
Pagar seperti itu mulai dibangun ketika mulai terjadi banyak tindak kejahatan seperti pencurian dan perampokan di permukiman, terutama setelah perbedaan kaya dan miskin terus membesar sesudah 1970-an sehingga menimbulkan keresahan sosial. Apalagi setelah zaman terorisme internasional sesudah 1980-an dan 1990- an, dan kerusuhan 1998 di Jakarta serta aksi-aksi terorisme pada 2000-an. Rumah-rumah kedutaan, diplomat asing, para pejabat, dan orang-orang kaya dipagari layaknya seperti benteng dengan para penjaganya yang berseragam paramiliter, bertampang seram, dan galak. Mereka ibarat hidup dalam kandang-kandang atau sel-sel yang tersekat antara satu dan lainnya.
Sekaitan dengan belum berpagarnya rumah-rumah di Jakarta pada 1950-an, saya mempunyai kenangan menarik. Pada awal 1950-an, waktu usia saya menginjak 8-9 tahun, saya mulai gemar mengumpulkan perangko. Waktu itu teman-teman saya juga senang mengumpulkan perangko, khususnya perangko luar negeri. Kami menaruh koleksi perangko kami di buku album perangko. Berbagai cara kami lakukan agar dapat memperoleh perangko. Salah satu cara ialah pergi ke rumah-rumah orang asing yang banyak tinggal di Menteng. Banyak dari mereka ialah diplomat.
Kami biasanya mencari amplop-amplop bekas di tempat penampungan sampah di rumah mereka. Biasanya amplop-amplop itu mempunyai perangko yang masih tertempel di situ. Karena rumah umumnya belum berpagar, kami mudah saja masuk ke pekarangannya. Umumnya tempat pembuangan sampah berada dalam pekarangan di depan rumah.
Nah, pada suatu hari saya dan beberapa teman pergi berburu perangko ke rumah-rumah itu. Di antara teman kami ialah Hendrik, anak Indo. Saya ingat ketika kami sedang mengaduk-aduk sampah di depan rumah duta besar Amerika Serikat di Taman Surapati (pintu masuk masih terbuka dan belum ada penjaganya), tak berapa lama kemudian keluarlah seorang nyonya bule setengah umur. Ia tampaknya heran melihat kami anak-anak mengorek-ngorek tempat sampahnya.
Setelah mendekat, ia kemudian menyapa kami dalam bahasa Inggris yang kami kurang mengerti. Kami menduga ia menanyakan kami sedang mencari apa. Si Hendrik—dasar anak Indo ada saja ulahnya—langsung saja mengangkat tangannya dan menggoyang-goyangkannya di depan mulutnya seperti orang sedang menyuapkan makanan. Melihat gerakan si Hendrik, yang separuh bule, si nyonya bule menampakkan muka yang agak terenyuh berbelas kasihan. Ia kemudian balik masuk ke rumah dan tak lama kemudian keluar lagi dengan sepiring kue-kue yang langsung ditawarkannya kepada kami.
Tentu saja kue-kue yang enak-enak itu segera kami serbu dan lahap habis. Nyonya itu tampak senang melihat kami makan seperti orang kelaparan. Mungkin ia merasa seperti baru memberi makan beberapa ekor anak kucing yang sudah lama tidak makan. Kami kemudian mengucapkan ”teng kiu, teng kiu” beberapa kali ke nyonya itu. Tetapi si Hendrik lain lagi, dia mengatakan ”dang ki wel” (dari dank u wel atau terima kasih dalam bahasa Belanda).
Ketika kami meninggalkannya, nyonya itu tersenyum bahagia sambil melambaikan tangannya. Mungkin ia puas telah menolong kami memberikan makanan. Ia mungkin mengira kami anak-anak jalanan atau anak-anak melarat, karena waktu itu memang banyak gelandangan dan pengemis berkeliaran. Maklum, keadaan baru saja selesai perang.
Kejadian itu teringat terus oleh saya. Walaupun sering merasa geli, saya juga menghargainya sebagai suatu kisah kemanusiaan di zaman baru usai perang. Saya kira di zaman sekarang yang sangat ketat keamanannya kejadian yang manusiawi seperti itu tak akan mungkin terjadi lagi.
Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Jakarta 1950-1970 karya Firman Lubis, halaman 96-98. Bukunya bisa didapatkan di di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee serta komunitasbambu.id atau telpon ke 081385430505.
Lebih jauh baca:
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505