Nyai yang Sejati

0
2734
Nyai Dasima diidealisir oleh Ardan sebagai perempuan korban struktur sosial kolonial yang ingin mengembalikan posisi dirinya, mempertahankan jati diri dan harga diri dengan memberontak terhadap kungkungan cara hidup pernyaian bentukan tuan putih.

Nyai. Kata ini dapat banyak berkisah. Tentang harkat martabat perempuan yang dijatuhkan dan bagaimana perlawanan dilakukan untuk dapat mengangkat kembali arti dan nilai hakikinya yang penuh kemuliaan dari lumpur comberan segala keburukan, kebejatan dan kerendahan.

Awal mulanya, menurut Umar Nur Zain dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia, kata nyai sering dipergunakan dalam sastra lama dengan arti orang yang dimuliakan dan disayang. Tetapi pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19, Nyai—sebagai produk dari sistem kolonial sejak tiba di abad ke-17 sebagai perusahaan dagang—kata ini oleh tuan-tuan putih kolonialis Belanda disuntikkan arti baru yang negatif. Suntikan yang menurut Pramudaya A Toer dalam Bumi Manusia (1980) telah membuat “siapapun tahu… nyai-nyai: rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pada soal-soal berahi semata. Mereka hanya pelacur, manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas”.

Tetapi sampai sekarang asosiasi negatif produk kolonial itu tetap bertahan dan mendominasi pemahaman masyarakat ihwal nyai. Buktinya Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta yang sekarang menjadi pedoman utama berbahasa Indonesia terutama mengartikan kata nyai sebagai gundik (orang asing terutama Eropa). Mengapa nyai dengan asosiasi yang negatif ini bertahan terus, apakah tidak pernah ada perlawanan untuk mengembalikan nyai di posisinya yang sejati?
Setidaknya dalam catatan sejarah ada SM Ardan dan Pramoedya A Toer. Mereka adalah sastrawan yang telah melancarkan perlawanan untuk mengimbangi citra dan arti kata nyai yang telah diselewengkan itu. Keduanya berpandangan sama bahwa nyai adalah korban penganiayaan sistem dan struktur kolonial dan mental feodal yang diciptakan serta sedemikian rupa diusahakan melanggeng di tanah jajahan sejak akhir abad ke-19 oleh para tuan-tuan putih. Pelanggengan ini banyak berhasil karena sastrawan-sastrawan juga para penulis kolonial dalam periode itu mengambil peran sebagai agen utama yang menjadikan karya-karya mereka alat di mana semua kejahatan kolonial itu dikampanyekan dan dilembagakan.

Baca Juga:

  1. Raden Saleh, Daendels dan Megamendung
  2. Bung Hatta di Hari-Hari Terakhir Bung Karno
  3. Radjiman Wedyodiningrat Bapak Pajak

Sebab itu Ardan maupun Pramoedya dalam perlawanannya memilih memasuki masa-masa awal sastra zaman kolonial Hindia yang memang memulai sejarahnya dengan cerita-cerita nyai. Pada masa itu nyai menjadi motif sastra yang terus menerus mendapat perhatian, bahkan menjadi subjek utama cerita yang ditulis dalam bahasa Melayu Pasar “jang gampang orang mengarti dan jang djadi bahasanja sebagian besar pendoedoek di Hindia Nederland”.

Mayoritas pengamat menyatakan Hikayat Njai Dasima karya G. Prancis yang terbit pada 1896 adalah naskah tertua dari sastra jenis ini. Ardan menilai kepopuleran cerita ini bukan saja telah mengilhami dan membuat orang ramai-ramai menggarap tema-tema nyai—Njai Painah (1900), Njai Alimah (1904), Njai Aisyah (1915), Njai Soemirah (1917), Njai Marsina (1923)—tetapi juga di dalam kepopulerannya yang melanggeng hingga jauh melampaui zamannya telah berhasil menjungkirbalikkan citra nyai yang terhormat dan mulia menjadi sebatas bini piare alias gundik, perempuan bermoral bejat, penggila harta juga berahi dan tanpa kepribadian serta iman.

Ardan memulai perlawannya pada 1960 dengan membuat versi baru Hikayat Njai Dasima yang dipublikasikan sebagai cerita bersambung berjudul “Njai Dasima” dalam koran Warta Berita, September–Oktober 1960. Ia tidak hanya mengubah bahasanya dari Melayu Pasar ke bahasa Indonesia dengan dialek Jakarta dalam cakapannya, tetapi terutama motif dan perwatakkan tokoh-tokohnya. Nyai Dasima diidealisir oleh Ardan sebagai perempuan korban struktur sosial kolonial yang ingin mengembalikan posisi dirinya, mempertahankan jati diri dan harga diri dengan memberontak terhadap kungkungan cara hidup pernyaian bentukan tuan putih. Pada 1964, Ardan meluaskan protes dan perlawanan dengan membuat versi naskah drama Nyai Dasima-nya untuk pentas keliling, lalu dibukukan pada 1965 dan dicetak ulang pada 1971.

Sepuluh tahun kemudian, Agustus 1980, terbit roman sejarah Bumi Manusia karya Pramoedya yang memperlihatkan protes dan perlawanan yang lebih hebat dan sistematis terhadap citra nyai. Selang dua tahun kemudian, pada 1982, Pramoedya memasukan beberapa cerita nyai dalam antologi sastra pra-Indonesia, Tempo Doeloe—termasuk Tjerita Njai Dasima karya Francis.

Ia tampak mendalami betul cerita para nyai ini dan terinspirasi menjadikan nyai sebagai tumpuan ceritanya, tokoh yang memainkan peranan dan karakter paling penting dalam keseluruhan ceritanya yang berlatar akhir abad ke-19. Tetapi yang menarik adalah Pramoedya menempatkan tokoh nyainya yaitu Nyai Ontosoroh—meminjam istilah kritikus sastra Apsanti Djokosujatno—sebagai mother goddess dan prototipe manusia modern.

Nyai—demikian wanita itu mau disebut, sebagai nama kehormatannya—adalah seorang ibu yang perkasa, agung, dermawan, mencerahkan, membebaskan dan melindungi. Nyai bangkit dari seorang budak menjadi nyonya besar yang berkuasa dan sangat profesional dalam menggerakkan perusahaan besar. Nyai adalah “manusia liberal…putra-putra terbaik zaman kemenangan kapital”. Lebih jauh lagi Nyai adalah “manusia baru zaman modern” yang dengan aura kedewiannya dapat mendidik dan membimbing membebaskan diri dari sistem feodal kolonial.

Tentu saja dengan pencitraan nyai yang sedemikian luar biasa itu Pramoedya telah menerobos konvensi nilai dan citra nyai dalam berbagai cerita serta menawarkan cara pandang yang lain (kalau tidak dapat disebut hakiki) tentang nyai. Dan meskipun tokoh Nyai Ontosoroh hanya rekaan Pramoedya semata yang dengan keunggulan sastra jenis roman sejarah dapat memperlihatkan sifatnya yang sejati, namun nilai dan citra nyai yang dikedepankannya sebagai prototipe perempuan yang dengan kekuatan dan ketegap-tabahan hati tampil sebagai pembebas-pencerah memang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia.

Sejarah mencatat bagaimana tokoh pendidikan nasional Suwardi Suryaningrat dan istrinya Sutartinah Sastraningrat pada 2 Mei 1928 melepaskan gelar kebangsawanan mereka dan mulai memakai nama baru: Ki Hajar Dewantara dan Nyai Hajar Dewantara. Ki Hajar sendiri mengatakan kata “ki” begitu juga “nyai/nyi” sebagai istilah kehormatan bagi orang tua di Jawa. Juga gelar bagi orang-orang yang dihormati karena telah menemukan hakikat umat manusia dan agama di desa dan biasanya berfungsi sebagai pendidik.

Mochamad Tauchid, salah seorang dari pimpinan Taman Siswa pasca kemerdekaan, menerangkan perubahan nama Suwardi dan Sutartinah dengan memakai gelar “ki” dan “nyai/nyi” mengandung arti bahwa mereka berubah dari satrio-pinandito (satria dengan semangat seorang pandita) menjadi pandito-sinatrio (pandita atau guru yang siap mengangkat senjata untuk melindungi bangsa dan rakyat). Menurut Tjipto Mangunkusumo dalam dialognya dengan Suwardi suami istri itu menjadi “pandita-satria teladan yang berjuang melawan kekuasaan kolonial dan feodal”.

Demikianlah, nyai hadir dan tercatat dalam sejarah. Tidak dapat dinafikan ada nyai yang “rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pada soal-soal berahi semata”, tetapi terdapat pula nyai yang dengan kekuatan dan ketegap-tabahan hati tampil sebagai pembebas-pencerah masyarakat. Nyai yang ketika ketidakadilan sedang sekuasa-kuasanya maju untuk menunjukkan diri “deposuit potentes de sede et exaltavit humiles” (dia rendahkan mereka yang berkuasa dan naikkan yang terhina).

Jika demikian seharusnyalah citra dan nilai nyai tidak terus ditimpakan sesuatu yang negatif. Saatnya untuk sadar dan bergerak meneruskan jalan yang telah dirintis Ki Hajar Dewantara, Nyi Hadjar Dewantara, SM Ardan dan Pramoedya A Toer untuk menaikkan kembali citra nyai dari kehinaan ke takhtanya yang mulia dan mengandung kearifan untuk diteladani semua perempuan.

Pernah dimuat di Kompas, 4 Maret 2006


Lebih jauh baca:

Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan & Pencapaian karya Cora Vrede-De Steurs yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.

Nyai Dasima karya G Francis dan SM Ardan yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapak, dan Shopee.

Terang Bulan Terang di Kali dan Cerita Keliling Jakarta karya SM Ardan yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.

Ibuisme Negara karya Julia Suryakusuma yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.

Julia’s Jihad: Tales of the Politically, Sexually and Religiously Incorrect karya Julia Suryakusuma yang bisa didapatkan di Tokopedia, dan Shopee.

Pramoedya A. Toer: Dari Budaya ke Politik 1950-1960 karya Savitri Scherer yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.

Jakarta Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di di TokopediaBukaLapakdan Shopee.