Selain digelari sebagai “Queen of the East”, tempo doeloe Jakarta pun sohor dengan sebutan “Garden of the East”. Gelar terakhir ini tak mungkin dicapai tanpa seorang G.J. Bischop yang menjadi Burgemeeter alias Walikota pertama Batavia sejak 12 Agustus 1916 hingga 29 Juni 1920.
Seabad lalu, ia mengakhiri masa jabatannya dan para pengunjung Batavia kaget sebab mata mereka bertumbuk dengan taman-taman indah. Sebut saja pemuja tempo doeloe si sastrawan E. Breton de Nijs meriwayatkan bahwa “Batavia penuh taman-taman sehingga merupakan tempat berjalan-jalan yang teduh dan sangat indah…Sangat cocok untuk tempat bermain anak-anak dan pasangan yang sedang kasmaran…Orang tak akan menyadari bahwa sebenarnya mereka berada di tengah kesibukan kota”.
Pujian seperti yang dituturkan de Nijs tersebut tidak gampang diraih Batavia. Begitu juga gelar “Garden of the East”. Semua didapat karena Gemeente alias Pemerintah Khusus Kota Batavia menempatkan masalah pertamanan sebagai salah satu sektor yang sangat penting. Perhatian besar dicurahkan Gemeente Batavia untuk membuat dan memelihara taman-taman yang pada saat itu sudah sangat banyak jumlahnya.
Anggaran belanja Gemeente Batavia selalu menyediakan porsi sangat besar untuk pertamanan. Bahkan dalam anggaran belanja tahun kerja 1916 terhitung yang paling besar yaitu f 99.050. Jauh lebih besar dari anggaran untuk gaji seluruh personil administrasi Gemeente Batavia yang hanya f 11.224.
Bischop sebagai Burgemeeter pertama Batavia pernah mengungkapkan bahwa taman merupakan aset, potensi, dan investasi kota jangka panjang. Taman memiliki nilai ekonomis, higienis, ekologis, edukatif, dan estetis.
Baca Juga:
- Kampung Orang Bugis di Jakarta
- Jasa Kuli Sindang Cirebon di Kanal Batavia
- Sejarah Ide Pencerahan dan Perpustakaan di Jakarta
Ia memang terkenal begitu penuh perhatian dan mencitai taman sehingga untuk memperingati jasa-jasanya sebagai walikota, namanya diabadikan di Batavia menjadi nama sebuah taman terbesar yaitu Burgemeester Bischopplein yang sekarang dikenal Taman Suropati.
Berbekal kesadaran akan nilai taman seperti yang diungkapkan Bischop serta dukungan dana yang besar, maka pemeliharaan yang cermat dan sungguh-sungguh dapat dilakukan dan telah membuat wajah Batavia pada tahun 20-an sedap untuk dipandang. Taman-taman seperti Wilhelminapark (kompleks Mesjid Istiqlal sekarang), Frombergspark (depan Mabes Angkatan Darat sekarang), Decapark (depan Istana Medeka sekarang), dan Burgemeester Bischopplein merupakan tempat-tempat rekreasi yang digemari penduduk kota.
Kecintaan kepada taman di Jakarta tempo doeloe pun bukan hanya dikalangan pejabat dan penduduk Belanda saja, perasaan itu mentradisi pula di kalangan penduduk asli, yaitu Betawi. Tradisi-budaya Betawi mengharuskan orang menanami lingkungan rumah dengan berbagai tanaman sehingga persis sebuah taman.
Di halaman biasanya ditanam pohon delima, nona, belimbing, jambu klutuk, jeruk bali, dan seri. Di pojok halaman ditanam pohon kelor yang dianggap sebagai penangkal santet, teluh, gendam dan segala macam ilmu hitam kiriman orang jahat. Ada juga pohon saga, sirih, dan teleng yang ditanam disekitar pagar.
Sementara di belakang rumah orang Betawi ditanami rupa-rupa pohon produksi, seperti durian, nangka, kecapi, duku, pisang, manggis, pepaya dll. Tradisi inilah yang membuat banyak orang Betawi mampu menghadirkan desa-desa kebun di Jakarta dan sekitarnya seperti yang disebut S. Boedhisantoso dalam Masyarakat Desa di Indonesia (1964).
Bahkan karena begitu lekat kehidupan orang Betawi dengan lingkungan berpepohonan, maka kata “taman” dijadikan ungkapan untuk menyebut pelaminan, sebuah perlengkapan yang menjadi pusat ritual dalam salah satu dari tiga tahap terpenting ritus kehidupan orang Betawi, yaitu perkawinan.
Jadi taman dalam konsep kebudayaan Betawi bukanlah sekadar suatu tempat, dimana alam dibentuk sedemikian rupa dan berbagai pepohonan ditanam serta dirawat untuk menyenangkan mata dan pikiran. Tetapi merupakan suatu ruang terbatas dan tertutup yang dipergunakan untuk menaiki tahap kehidupan yang lebih tinggi. Sakral.
Sekarang, ketika pembangunan melahap habis tanah orang Betawi, hampir tak mungkin mereka bertaman apalagi berkebun di sekitar rumah. Namun demikian kearifan tradisi akan taman tetap bertahan dalam kehidupan orang Betawi yang memanfaatkan lahan baru mereka di pinggiran Jakarta, terutama di Sawangan, Depok, sebagai ruang pembibitan pepohonan yang kemudian menjadi pasokan pedagang pohon di jalan-jalan Jakarta.
Pada masa Henk Ngantung jadi Gubernur Jakarta konsep pertamanan dikenalkan di sepanjang jalan-jalan Jakarta. Usaha ini dilanjutkan dengan lebih luas lagi pada masa Gubernur Ali Sadikin. Malahan ia memperkenalkan kampanye penanaman sejuta pohon di Jakarta. Suatu program yang visioner karena saat itu belum muncul wacana lingkungan hidup, bahkan kementerian lingkungan hidup pun belum ada. Ide ini pun didapat Bang Ali dari seorang wartawan, Aristides Katoppo, yang sebagai pecinta alam protes atas ditebangnya pohon-pohon besar di sekitar Jalam Merdeka.
Namun, perkembangan semangat bertaman itu berlainan sekali dengan yang terjadi pada diri pejabat Pemprov DKI Jakarta setelah Ali Sadikin. Jakarta tidak lagi memiliki pengelola kota yang menempatkan prioritas tinggi untuk menghijaukan lingkungan kota secara maksimal dengan membangun dan merawat banyak taman-taman agar lingkungan menjadi bersih, terbebas dari pencemaran udara, sejuk, indah, alami dan nyaman.
Kalaupun ada taman yang terawat, seperti Taman Suropati, tetapi keasriannya sering terganggu jika ada kegentingan politik, seperti saat setelah Soeharto berhenti lalu taman ini menjadi tempat tentara mendirikan barak jaga.
Lebih ironis adalah tindakan Pemprov DKI Jakarta yang saben tempo terus saja menggusur Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dalam rencana Induk Djakarta 1965–1985, luas RTH ditargetkan sebesar 37,2 %, lantas Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985–2005 turun menjadi 25,85%, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000–2010 hanya sebesar 13,94% (9,545 ha). Sementara dalam kenyataannya hanya ada 9,04% (6.190 ha) dari total luas Jakarta yang 66.152 ha.
Pengelola kota Jakarta hampir setengah abad terakhir rupanya lebih mengarahkan untuk memahami kota dalam konteks “sumber ekonomi”, wahana ekspresi kapitalisme pendanaan (financial capitalism), bukan sebagai lingkungan tempat habitat hidup bersama, melainkan bubuh diri ekologis. Sebab itu tantangan ke depan adalah bagaimana menggeser pemahaman tersebut ke arah kota berdaya lestari (memperhatikan perspektif kelestarian jangka-panjang dan bukan business as usual), sehingga dapat mengantarkan Jakarta masuk ke masa depan sebagai abad ekologis.
Bagaimana bukan sekadar membangun upaya memperbanyak taman-taman kota, jika perlu hutan kota (arboretum) agar Jakarta akan memiliki panorama kota (townscape) yang estetik sebagai kota hijau, lebih jauh lagi menyetop teknologi dan konsep berkota yang kadaluarsa karena tidak ekologis. Misalnya, selain memulihkan alam Jakarta dan sekitarnya untuk mendukung kehidupan juga mulai beralih ke bahan energi terbarukan.
Jika berhasil, maka Jakarta bukan hanya mengulang sejarah yang baik dari masa lalunya, tetapi juga menemukan seraya memaknai kembali jauh lebih dalam gelar “Garden of the East”.
Lebih jauh baca:
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta 1950-1970 karya Firman Lubis yang bisa didapatkan di di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505