Ada Villa Mewah Zaman Kompeni di Kramatjati

0
6459
Rumah Besar Cililitan, tahun 1930

Di Kelurahan Kramatjati, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur terdapat satu nama wilayah yang kini sudah tidak lagi dikenal masyarakat, sebuah wilayah yang berdasar Publicatie 28 Februari 1836, Staatsblad No. 19 merupakan bagian dari tanah perkebunan milik pemerintah kolonial yang statusnya merupakan tanah sewa (perceel).

Luas wilayah yang tidak begitu besar kurang dari sepuluh hektar berada dalam satu kampung yang bernama Kampung Jati, karena letaknya berada lebih rendah dari wilayah lain di sekitarnya seperti Kampung Kebon Jeruk dan Kampung Karpus, maka wilayah ini disebut daerah Lebak.

Sebagian besar wilayah Lebak di Kampung Jati ini pada tahun 1837 melalui surat pajak sewa tertanggal 2 November 1837 disewakan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada seorang tuan tanah Belanda bernama J. Scott, ia menanami kebun yang disewanya itu dengan hamparan tanaman sirih yang sangat luas, hingga masyarakat setempat lebih sering menyebut wilayah ini dengan sebutan Lebak Sirih.

Baca Juga:

  1. Kampung Lagoa Bukan dari Nama Orang
  2. Kramatjati Riwayatmu Dulu
  3. Kwitang dari Kata Gnuidang

Di dalam area perkebunan Lebak Sirih terdapat bangunan peninggalan Belanda seluas 500m2 yang disebut sebagai Landhuis atau rumah tuan tanah perkebunan, yang telah berdiri jauh sebelum J. Scott menyewa wilayah ini menjadi sebuah perkebunan sirih.

Nama Landhuis Lebak Sirih kemudian disebut juga oleh masyarakat setempat sebagai Rumah Besar Cililitan, karena sebelum abad ke 19 Kampung Jati merupakan bagian dari wilayah Cililitan.

Landhuis Tjililitan atau masyarakat menyebutnya Lebak Sirih ini terletak di dalam lingkungan Rumah Sakit POLRI Dr. Soekanto, Kramatjati, meski tidak menjadi bangunan bagian dari Rumah Sakit.

Jika dituju dari arah Jalan Raya Bogor menuju lokasi, Landhuis Lebak Sirih ini berada di sebelah utara atau kiri jalan raya, posisinya terhimpit dengan bangunan rawat jalan, rawat inap Rumah Sakit Polri dan restaurant Solaria, namun keberadaannya sudah jauh dari kesan sebuah bangunan situs cagar budaya.

Keberadaannya sampai kini masih utuh tegak berdiri, hanya saja tampak tidak terawat dan dijadikan pemukiman warga sipil dan purnawirawan polisi.

Pemilik pertama Landhuis Lebak Sirih adalah Hendrikus Laurens van De Crap pada tahun 1775, yang pernah diduga melakukan tindakan korupsi dan perampokan sewaktu bekerja pada VOC.

Paska meninggalnya Hendrikus Laurens Van De Crap, Landhuis Lebak Sirih atau Rumah Besar Cililitan diwariskan kepada isterinya yang bernama Anna Christina Houtman pada tahun 1785.

Pada tahun 1807 Landhuis Lebak Sirih dimiliki oleh Pendeta Calvinist yang bernama Daniel Alberth Reguleth, hingga sepeninggal pendeta Albert Reguleth keberadaan landhuis ini diambil alih oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan dijadikan markas Veldpolitie (polisi lapangan).

Sebagai markas Veldpolitie, landhuis ini digunakan sebagai tempat untuk memantau keamanan di wilayah Ommelanden atau daerah pinggiran Batavia, yang di akhir abad 19 sampai tahun 20an marak dengan perampokan yang ditujukan kepada bangsa Eropah, khususnya para tuan-tuan tanah termasuk dalam hal ini adalah tuan tanah Cina.

Di masa pemerintahan militer Jepang, landhuis Lebak Sirih dan sekitarnya dijadikan Sekolah Kepolisian Istimewa, guna menunjang angkatan perang Jepang di bidang keamanan masyarakat. Sekolah kepolisian ini terus berlangsung hingga sampai pada masa kolonial Belanda.

Sampai berakhirnya masa kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, sekitar tahun 1949-1950 oleh pemerintah Republi Indonesia, Landhuis Lebak Sirih atau Rumah Besar Cililitan dijadikan Sekolah Polisi Negara (SPN) hingga tanggal 23 Mei 1966 mulai dikembangkan dan menjadi Rumah Sakit Polisi.

Lebih jauh baca:

Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapakdan Shopee.

Batavia Kehidupan Masyarakat Abad XVII karya Hendrik E. Niemeijer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Jakarta 1950-1970an karya Firman Lubis yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505

Buku terkait dengan artikel.

LEAVE A REPLY