
Pengamen bertindak sebagai radio hidup, memainkan lagu-lagu yang ingin didengar orang dalam ekonomi pertunjukan. Jasa mereka dilupakan bahkan oleh yangs angat diuntungkan, yaitu perusahaan rekaman.
Terlepas dari anggapan penonton perihal pengamen sebagai gangguan umum atau hiburan sambutan selama perjalanan panjang yang melelahkan, mereka adalah agen penting dari peniruan musik yang beroperasi di luar media massa resmi.
Tentu saja mereka merespons tekanan pasar dan tren musik, tetapi seperti para musisi amatir di pinggir jalan yang menganggap lagu rekaman secara komersial sebagai musik akar rumput “masyarakat Indonesia, mereka menghidupkan kembali pertunjukan rekaman berteknologi tinggi melalui pembawaan lagu langsung berteknologi rendah.
Pada pertengahan 2000, kita biasa mendengar lagu hit “Jika”, lagu duet oleh bintang pop alternatif Melly Goeslaw dan Ari Lasso. Lagu yang sering dimainkan oleh musisi jalanan di seluruh Jakarta tersebut terkadang sulit untuk dikenali jika ditampilkan secara solo dengan gitar akustik, tanpa iringan elektronik yang rumit dan berlapis seperti yang ada di rekaman.
Baca Juga:
- Budaya Event Bukan Konser Musik
- Dari Gerobak Kaset Keliling sampai Gelaran Lapak Underground
- Tempat-Tempat Terkenal di Jakarta Barat Dulu
Akan tetapi, para pendengar terlihat senang mendengarkan tiruan lagu itu, yang merupakan versi terdekat dengan lagu “sebenarnya” (yaitu versi rekamannya) yang ditampilkan langsung.
Jika seseorang menahan diri dari perlakuan terhadap identitas nasional sebagai sesuatu yang terberi (given), maka peran pengamen dalam menyesuaikan produk industri budaya nasional yang berbasis di Jakarta patut dipertimbangkan.
Jika pengamen merupakan ikon hidup ‘rakyat’, seperti yang banyak mereka klaim, maka musik yang dimainkan oleh pengamen adalah musik rakyat yang benar-benar merakyat (ipso facto folk music), mewakili rakyat Indonesia umumnya dan menciptakan warisan musik yang dimiliki bersama oleh seluruh penduduk kota, mulai dari yang paling melarat hingga paling kaya.
Komando para musisi jalanan dalam repertoar musik populer Indonesia dapat menjadi bukti bahwa lagu Indonesia diperuntukkan bagi semua orang, bahkan orang yang paling miskin pun termasuk dalam komunitas nasional yang terdapat dalam lagu tetapi—mengutip kembali pemikiran Clifford Geertz—pada kenyataannya mereka juga membantu produksi lagu.

Pengamen bertindak sebagai radio hidup, memainkan lagu-lagu yang ingin didengar orang dalam ekonomi pertunjukan—tidak termasuk hitungan pemasaran dari perusahaan rekaman—yang mencakup orang Indonesia dari segala lapisan masyarakat, termasuk orang-orang yang terlalu miskin sehingga tidak mampu membeli radio atau kaset dengan uang mereka sendiri.
Meski demikian, fakta bahwa pengamen kekurangan sokongan dari perusahaan rekaman atau sumber kekuatan dan kesejahteraan lainnya membuat mereka menjadi penampil yang kurang dipercaya di mata orang Indonesia.
Kontribusi sederhana yang pengamen dapatkan dalam kehidupan sehari-hari dapat dianggap sebagai derma, bukan sokongan dana, dan kurangnya dukungan institusi selagi mereka mengembangkan sumber kredibilitas dasar yang ada, juga menjadi alasan untuk menyingkirkan mereka.
Misalnya saja dalam pertunjukan musik yang lebih formal yang biasa disebut sebagai event, umumnya merujuk pada acara terstruktur apa pun yang melibatkan penonton dan beberapa jenis pertunjukan. Di sini penampilan pengamen tidak selalu diterima oleh para pendengar sebagai penampil sebenarnya. Pengamen dianggap event tidak punya legitimasi. Setidaknya karena event tidak seperti pertunjukan musik jalanan, maka mereka mendapatkan dukungan dana dari para sponsor.
Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Jermy Wallach, Musik Indonesia 1997-2001, hlm. 178-180. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505