Sejarah Roti di Jakarta

Sejarah Roti di Jakarta

0
13711
Toko roti Tan Ek Tjoan gerobak sepeda rotinya

Ngupi ame ruti. Inilah ungkapan khas penduduk asli Jakarta alias kaum Betawi. Ungkapan ini menunjukkan bahwa teman minum kopi paling pas sedap bukanlah kue sengkulun, ongol-ongol, uli, alie begente, atau kue tradisional Betawi lainnya, tetapi makanan Kompeni Belanda yang bahkan isinya “kiju”—demikian bisa disebut keju.

Seorang dokter berbangsa Jerman, dr Strehler yang bekerja sebagai tenaga medis di kapal Belanda yang ke Hindia mengisahkan bahwa santapan pagi di kapal adalah roti kering dan roti yang baru saja keluar dari oven. Temannya makan roti yaitu mentega dan keju tidak pernah absen dari meja sarapan.

Roti memang makanan bawaan Belanda ketika mereka meninggalkan kampung halamannya. Belanda negeri yang sohor dengan pembuatan rotinya. Sebab itu kapal-kapal mereka yang berdatangan sejak abad ke-16 akhir ke Nusantara, selalu membawa tepung gandum selain babi, kambing, bebek, dan ayam. Roti adalah makanan utama sekelas kentang. Sebab itu tukang bikin roti pun kudu ikut. Begitu pentingnya roti bagi orang-orang Belanda yang menjelajah jauh dapat dilihat dalam arsip perusahaan multinasional mereka, yaitu VOC.

Baca Juga:

  1. Profesi yang Punah Tukang Hirkop dan Tukang Minyak Tanah
  2. Dari Gerobak Kaset Keliling sampai Gelaran Lapak Underground
  3. Jasa Pengamen yang Dilupakan

Misalnya ada sejumlah peraturan di kota benteng Batavia terkait roti sejak awal kota itu mulai didirikan Jan Pieterzoon Coen pada 1619.  Disebutkan dalam aturan bahwa pengantaran roti kepada pelanggan tidak boleh melebihi pukul 08.00 pagi. Jika lewat maka dikenakan denda. Toko roti tidak boleh mempekerjakan budak untuk menjual roti di pinggir jalan. Masih ada aturan tambahan bahwa toko roti yang tidak berhasil menjual semua roti putih sampai pukul 14.00 siang, maka roti itu tidak boleh diperjualbelikan lagi. Jika kedapatan melanggar maka akan didenda 6 riksdalders.

Semua aturan itu menandakan bahwa sebagai makanan utama di kota Batavia, maka para tuan putih Kompeni merasa roti harus dikonsumsi dalam kualitas prima. Pembuatnya tidak boleh merangkap kerja lain nanti lelah dan tidak konsen lalu kualitas roti melorot. Dari aturan waktu menjajakan dan mengantar roti jelas bahwa kebiasaan makan roti pagi-pagi di Belanda dibawa pula ke Batavia. Di kota benteng Batavia, hanya koki khusus yang diperkenankan untuk mengolah tepung gandum menjadi roti.

Sebab itu jangan kaget di dalam sejarah kota Batavia lahirlah keluarga-keluarga jagoan pembuat roti. Mereka menurunkan beberapa generasi pembuat roti handal dan ternama. Setelah Negara Hindia Belanda runtuh dan Indonesia merdeka pun keluarga Belanda jagoan pembuat roti itu masih tersisa. Salah satunya adalah toko roti Van Otten. Tokonya di pusat perbelanjaan sohor tahun 1950-an, yaitu Jalan Majapahit di daerah yang tak jauh dari Harmoni. Selain roti mereka juga membuat kue. Saking sohor Van Otten menjadi langganan Ibu Fatmawati Soekarno. Buktinya ada fotonya dipampang di toko itu.

Toko roti lainnya adalah Boggryen. Terletak di kawasan elite Gang Thibault yang dalam lidah Betawi disebut Gang Tibo atau sekarang Jl. Juanda III. Ini juga dimiliki oleh orang Belanda. Selain itu, masih terdapat beberapa lagi toko roti kecil milik orang Belanda di beberapa wilayah, seperti di Menteng, Laan Trivelli dan Cideng. Semua toko roti dan kue ini sejak awal 1960-an sudah tidak ada lagi. Mungkin pemiliknya ikut memilih berangkat ke Belanda ketika pemerintah Indonesia memulai nasionalisasi dan pemilihan kewarganegaraan pada 1950-an.

Sedangkan toko roti dan kue di Jakarta yang masih bertahan adalah Tan Ek Tjoan yang terletak di wilayah Cikini. Tetapi, semula di Bogor. Dirintis oleh pemuda Tan Ek Tjoan bersama isterinya, Phoa Lin Nio. Isterinya inilah yang paling berjasa karena piawai membuat roti. Mereka membuka usaha roti di daerah Surya Kencana pada tahun 1921. Ini adalah kawasan elite di mana banyak tinggal orang-orang Belanda. Ini yang membuat roti Tan Ek Tjoan berkembang pesat.

Pada 1953, Tan Ek Tjoan mulai melebarkan sayap ke Jakarta dengan membuka toko roti di kawasan hiburan sohor, yaitu Taman Sari. Lantas, pada 1955 pindah ke kawasan Cikini yang dekat dengan tempat tinggal para elite, termasuk orang Belanda, di Menteng.

Perusahaan roti ini sudah memasuki generasi kedua dan ketiga. Pesaingnya dulu adalah perusahaan roti merk Lauw  yang sangat tua. Jika membaca otobiografi  Lau Tjoan To alias Junus Jahja maka Toko Roti Lauw ini terkait dengan keluarganya. Junus adalah tokoh Tionghoa peranakan yang terkenal sebagai pejuang pembauran orang Tionghoa.

Dikisahkan bahwa roti Lauw ini sohor pada tahun 1930-an bukan saja karena citarasanya, melainkan juga karena keawetannya yang sanggup disimpan selama tiga hari dan tetap tidak berubah rasanya apalagi menjadi bulukan. Tetapi, ada info juga roti ini baru mulai pada tahun 1940-an.

Adalah menarik Lauw dan Tan Ek Tjoan adalah dua toko roti yang terkenal mampu menerima pesanan “roti buaya” yang menjadi persyaratan utama setiap acara lamaran perkawinan orang Betawi. Mereka juga yang mula-mula memperkenalkan roti buaya dengan isi coklat. Ini sebenarnya keluar dari tradisi azalinya roti buaya Betawi, tetapi sangat laku. Meskipun demikian merekajuga masih menerima konsumen garis keras yang tetap ingin menjunjung tradisi roti buaya, yaitu harus tanpa citarasa serta keras tak mudah dikalahkan gigi.

Tetapi, untuk roti buaya khas sesuai tradisinya di antara orang Betawi rekomendasinya memang bukan Toko Roti Lauw maupun Tan Ek Tjoan, melainkan satu warung roti di Pasar Kembang, Rawabelong, Jakarta, yang juga sama dikelola oleh orang Tionghoa. Toko roti ini oleh penduduk sekitar disebut sebagai Toko Roti Pacong. Walau pun toko roti itu jelas-jelas memasang plang nama Toko Roti Lesmana.

Selain itu pesaingnya Tan Ek Tjoan adalah roti Luxor yang juga dimiliki oleh orang Tionghoa.Tetapi  Luxor umurnya tidak panjang. Pada 1990-an Luxor masih punya pabrik yang beroperasi di Jalan Balikpapan, Jakarta Pusat. Tetapi, setelah itu tak selang lama mereka memindahkan lokasi dagangnya atau cabangnya ke pinggiran kota. Luxor ini penanda awal pabrik roti di Jakarta mulai surut dan terpaksa bergeser ke pinggiran. Lantas hal ini terjadi selang dua puluh tahun kemudian kepada Toko Roti Tan Ek Tjoan yang legendaris. Masa jaya Tan Ek Tjoan di Jakarta akhirnya surut.

Ironisnya toko Roti Tan Ek Tjoan justru surut masa jayanga ketika usianya hampir hampir 100 tahun. Pada pertengahan Februari 2015, toko rotinya di Cikini ditutup. Mereka pindah ke Kampung Utan di Ciputat, artinya sudah di luar wilayah Jakarta, yaitu wilayah administrative Tanggerang Selatan. Beberapa tahun sebelumnya pabrik roti Lauw yang berada di Cipete, Jakarta Selatan akhirnya dipindahkan ke kawasan Industri, Pulogadung. Tetapi, di Cipete itu masih ada sisnya berupa gerai toko rotinya. Termasuk juga toko rotinya yang di Pasar Boplo, Gondangdia, Jakarta Pusat.

Toko Roti Tan Ek Tjoan di Bogor dulu dikenal sebagai tempat pemberhentian untuk membeli bekal sebelum orang pergi naar boven atau pergi ke Puncak. Lantas ketika turun kembali pulang ke Jakarta kembali mampir ke Toko Roti Tan Ek Tjoan untuk membeli roti oleh-oleh. Ciri khasnya adalah keranjang kotak yang berasal dari anyaman bambu.

Pada 1970-an, ada perusahaan roti tawar yang cukup terkenal bernama Maxim, tetapi setelah 1990-an menghilang di pasaran Jakarta. Tepatnya, bukan mati sebenarnya melainkan krisis secara finansial dan terpaksa pindah ke kawasan pinggiran Jakarta di Jalan raya Bogor. Dari era ini di Jembatan Lima, Jakarta Barat, ada pabrik roti Liong. Lantas di Bukit Duri Tanjakan di Jakarta Pusat ada pabrik roti Barliana. Perusahaan roti lain yang bisa dikatakan meredup dalam bersaing adalah perusahan roti dan kue merek Vineto dan Swisse.

Sekarang meskipun mendapat saingan dari beberapa perusahaan roti yang lebih modern, tetapi perusahaan roti Lauw dan terutama Tan Ek Tjoan ini mungkin tidak lagi berdiri paling depan. Namun jelas mereka masih memiliki armada gerobak sepeda roti yang terbanyak di wilayah Jakarta.

Meskipun armada gerobak sepeda roti mendapat saingan dari perusahaan roti modern dengan armada motor dan suara elektronik, misalnya Sari Roti yang terkenal serta sempat dihimbau Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) agar umat Islam untuk melakukan gerakan boikot produk Sari Roti.

Apakah gerobak roti Lauw dan Tan Ek Tjoan juga akan dimakan zaman? Sama persis nasibnya dengan armada penjaja roti kotak kaleng dengan pikulan yang selalu berkeliling sambil memperdengarkan teriakan khas saben pagi hari, Broed..Bot..ti… Roti Nyonya…?

Sekarang oleh-oleh roti yang bergengsi dari Bogor bukan lagi berasal dari Toko Roti Tan Ek Tjoan, tetapi telah diganti dengan oleh-oleh Roti Unyil yang kecil-kecil persis kepala bonek Si Unyil ukurannya. Di Jakarta sendiri, Tak Ek Tjoan harus bersaing dengan perusahaan roti besar Holland Bakery atau Bread Talk, Tous le Jours yang tokonya tersebar di beberapa tempat strategis maupun pusat keramaian seperti mall.

Holland Bakery ini boleh dikatakan toko roti yang berusaha menyambungkan diri dengan asal-usul roti dari Belanda. Tokonya dibentuk dengan model plang nama kincir, suatu upaya mengambil citra Belanda yang terkenal dengan rotinya. Walaupun begitu tetap saja Lauw dan Tan Ek Tjoen membuat roti buaya dan roti gambang yang keras berwarna coklat yang di atasnya ditaburi wijen dan beberapa roti dengan bentuk dengan rasa lama yang tak bisa digeser kedudukannya.

Mungkin yang turun dari mobil atau masuk mall sudah menentukan pilihan roti santapan mereka, tetapi yang turun dari commuterline Jabodetabek, pilihannya tak lain tak bukan Tan Ek Tjoan dan Lauw. Turun dari ojek atau angkot bisa pilih Liong, Maxim, Barliana dll. Atau mungkin bukan begitu sebab kadang selera tak bisa diganti, apalagi jika di dalamnya ada memori.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY