Pada 25 Mei 1958, tepat jatuh hari Sabtu pukul 14.00, Ismail Marzuki seorang pejuang dan komponis besar, sosok yang disebut “Beethovennya Indonesia” wafat di Kampung Bali, dan dimakamkan di Karet Bivak, Tanah Abang.
Perjuangannya di masa revolusi fisik bukan dengan senjata, melainkan lewat syair dan lagu. Keberaniannya dalam menulis syair lagu pembakar semangat para pejuang menjadi momok yang menakutkan pihak penjajah, karyanya dianggap memiliki jiwa, laksana panglima perang yang memberi komando untuk terus maju ke medan laga.
Bang Ma’ing panggilan sehari-hari Ismail Marzuki yang dilahirkan di Kwitang 11 Mei 1914 ini cenderung “blak-blakan” kalau bicara dan mengungkapkan isi hatinya, sebagaimana anak-anak Betawi pada umumnya. Apa yang dirasakan tentang situasi dimana ia turut merasakan, itulah yang dituangkannya dalam bentuk syair dan lagu.
Hal itu pula yang dilakukannya ketika di tahun 1946 seorang kawan wanita yang menjadi mata-mata Belanda mendekatinya, berupaya membujuk bang Ma’ing agar menciptakan sebuah lagu yang bertema perdamaian dan enak didengar telinga, tentunya dengan imbalan uang yang tidak sedikit mengingat kondisi kehidupan bang Ma’ing yang sedang susah karena seringnya berseberangan dengan pemerintah kolonial kala itu.
Bang Ma’ing menyadari betul bahwa kawannya itu adalah seorang mata-mata yang dibayar Belanda, mengharapkan bukan saja lagu tetapi juga nama besar bang Ma’ing yang nantinya akan dijadikan sebagai alat propaganda, bahwa komponis besar Indonesia sudah berpihak kepada Belanda.
Baca Juga:
- Budaya Event Bukan Konser Musik
- Munculnya Bioskop Pertama di Jakarta
- Tempat-Tempat yang Diingat di Jakarta Pusat Dulu
Bang Ma’ing menyanggupi permintaan kawannya itu, dan berjanji akan selekas mungkin menyelesaikannya. Kawannya senang bukan kepalang, terbayang hadiah besar dari Belanda yang akan didapat dari hasil membujuk bang Ma’ing.
Tidak dalam hitungan minggu lagu pesanan itupun selesai, bang Ma’ing mengundang kawan wanitanya itu untuk mendengarkan lagu baru pesanannya. Di depan piano bang Ma’ing dengan tenang memainkan intro lagu, bait demi bait mulai didendangkan syair lagu bernuansa heroik yang lambat laun membuat raut wajah kawannya itu memerah.
Hingga pada not terakhir, bang Ma’ing tersenyum sambil berujar “inilah lagu yang enak didengar telingaku, kuberi judul “Hallo Bu, Disini Di Garis Depan.”
Sebagai seorang komponis Bang Ma’ing dalam merangkaikan nada seperti memberikan jiwa pada setiap lagunya, beberapa lagu menjadi daya penggerak bagi para pejuang kemerdekaan di medan pertempuran.
Seperti yang terjadi pada satu pasukan TRI dari Divisi Siliwangi di pos tapal batas antara Karawang dan Bekasi, pasukan itu mengalami krisis moril manakala persenjataan dan amunisi yang semakin berkurang. Kelelahan mendera pasukan karena tiada habis-habisnya digempur pasukan musuh, mereka berusaha bertahan sekuat tenaga menjaga pertahanan.
Kelelahan dan rasa putus asa yang melanda sebagian besar pasukan yang masih berusia muda membuat perintah dari atasan tidak lagi diperhatikan, satu persatu dari mereka yang mental berjuangnya jatuh mulai menanggalkan ransel dan meletakkan senjatanya.
Dari corong radio yang berbunyi di pos penjagaan terdengar seorang komandan mengobarkan semangat agar tetap terjaga spirit tarung mereka, namun suara komandan itu tidak dapat menggugah hati para pemuda itu.
Sampai satu ketika terdengar sebuah lagu yang berirama melankolis, namun syairnya sangat tajam menusuk hati sanubari, sebuah lagu yang menceritakan doa seorang ibu kepada puteranya yang dalam peperangan. Doa ibu agar yang mengantarkan pesan semoga senantiasa anaknya selalu tabah dalam menghadapi perjuangan, sebagaimana perjuangan seorang ibu melahirkan dan membesarkannya.
Seketika itu pula para pemuda yang tadinya lunglai saling berpandangan lalu bangkit kembali memakai ransel dan senjatanya, seolah-olah memiliki tenaga baru. Tenaga baru yang dimunculkan dari hembusan syair lagu yang memiliki jiwa ciptaan Bang Ma’ing berjudul “O, Angin.”
Lebih jauh baca:
Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Tanah Abang Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta karya Robert Cribb yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Jakarta 1950-1970an karya Firman Lubis yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505.