Dongeng Urban Asal Mula Nama Tanah Abang

Dongeng Urban Asal Mula Nama Tanah Abang

0
2712
Pasar Tanah Abang pada 1977 ketika urbanisasi besar-besaran mengalir ke Jakarta

Kata yang punya dongeng, pada zaman dulu di satu daerah di Betawi, hidup sebuah keluarga dengan lima belas orang anak. Merawat dan memelihara anak sebanyak itu bukan perkara mudah bagi sang ayah dan ibu. Terlebih si ayah tidak punya pekerjaan formal. Pekerjaannya setiap hari adalah mengurus kebunnya yang tidak terlalu luas.

Alhamdulilah, di kebun itu tumbuh bermacam-macam pohon buah seperti rambutan, nangka, cempedak, mangga, pepaya, dan pisang. Setiap musim buah-buahan tersebut bisa dijual dan hasilnya untuk membeli beras dan pakaian.

Selain itu untuk makan sehari-hari pun keluarga itu mengandalkan hasil kebunnya. Nangka muda bisa dibuat sayur; jantung pisang bisa dibuat uraban; dan daun jambu monyet, daun pepaya, atau daun beluntas bisa dibuat lalaban. Boleh dibilang setiap hari dan setiap waktu sang ayah dan ibu selalu bergelut dengan upaya mencari bahan makanan untuk anak-anaknya.

Rumahnya yang kecil, sederhana, dan sempit juga sangat bermasalah pada malam hari. Anak-anaknya harus tidur bersempit-sempit di lantai tanah di atas selembar tikar atau pelupuh. Siang hari memang tidak bermasalah karena anak-anak dapat bermain-main dan berlari-lari di kebun.

Baca Juga:

  1. Dari Tanah Abang Menyerang Batavia
  2. Kwitang dari Kata Gnuidang
  3. Kampung Lagoa Bukan dari Nama Orang

Bila turun hujan, apalagi pada malam hari, penderitaan keluarga itu sangat menjadi-jadi. Hal tersebut dikarenakan atap yang terbuat dari ilalang, membuat bocor di mana-mana. Mereka tidak bisa tidur. Mereka cuma bisa pasrah menunggu sampai hujan berhenti. Selama menunggu hujan itu pun mereka biasa berbasah-basah kena air bocor.

Sang ayah dan ibu pun tidak sewaktu-waktu bisa membelikan anak-anaknya pakaian. Boleh dibilang setiap anaknya cuma punya dua setel pakaian; satu setel yang sedang dipakai dan satu lagi sedang dicuci.

Dalam keluarga itu pun ada prinsip: pakaian si kakak yang sudah sempit diberikan kepada adiknya yang lebih kecil. Kebetulan semua anaknya adalah laki-laki sehingga prinsip ini bisa diterapkan.

Sewaktu anak pertama berusia 12 tahun, dan anak ke -13 dan ke-14 serta si bontot belum lahir, seorang saudagar kaya sedang berjalan-jalan di daerah itu. Ketika dia melewati rumah keluarga itu, dia tertarik dengan bau harum cempedak. Dia ingin tahu buah apa itu dan ingin mencobanya. Maka si ayah menyuruh anak sulungnya meronggod memetik satu buah cempedak yang sudah mateng.

Cempedak itu dibelah dan tampaklah isinya yang kuning serta berbau harum. Si saudagar mencoba memakan beberapa biji. Kemudian sisanya ingin dia bawa pulang.

Si ayah dan anak sulung membantu memasukkan cempedak ke dalam kereneng supaya mudah dibawa. Ketika menerima kereneng itu, si saudagar lalu membuka dompet dan memberikan sejumlah uang yang cukup banyak. Begitu banyak sampai si ayah kaget dan kesima.

“Banyak sekali, Tuan,” kata si ayah.

“Tidak apa-apa,” jawab saudagar itu. “Peganglah semuanya.”

Sewaktu akan pergi, si saudagar tiba-tiba memperhatikan si sulung sehingga sang ayah bertanya, “Ada apa, Tuan?”

Si saudagar masih tetap memperhatikan si sulung yang sedang mengangkat kulit cempedak untuk dibuang. Kemudian ia bertanya, “Ini siapa?”

“Oh,” jawab si ayah. “Ini anak saya yang pertama. Memang kenapa?”

“Oh, saya ingin sekali memiliki anak ini. Kebetulan saya tidak punya anak.” Kemudian sambungnya, “Nanti anak ini saya didik, saya ajar untuk menjadi pedagang. Apa boleh?”

Si ayah kaget dan bingung. Dalam hati dia gembira sekaligus sedih. Gembira karena ada orang yang mau memelihara dan mendidik anaknya. Sedih karena harus berpisah dengan anaknya, terlebih karena anak yang paling tua.

Setelah terdiam dia bilang, “Begini, Tuan. Saya harus berunding dulu dengan istri saya. Kalau dia setuju dan anaknya mau, bagi saya tidak masalah.”

Lalu si ayah masuk ke dalam menemui istrinya. Mendengar kabar itu si istri juga gembira sekaligus sedih. Gembira karena salah seorang anaknya akan diserahkan dan dididik oleh orang lain. Sedih karena harus berpisah dengan anaknya. Meski demikian dia pun setuju. Si sulung pun ketika ditanya juga mau.

Kemudian bersiap-siaplah si sulung untuk berangkat. Ketika dia sedang melipat bajunya yang sedang dijemur, si saudagar bilang, “Tidaklah perlu dibawa, nanti dibelikan yang baru.”

Setelah pamit dengan ayah, ibu, dan adik-adiknya, si sulung pun berangkat mengikuti saudagar itu diiringi dengan tangis sedih dari ibu dan adik-adiknya.

Begitulah kira-kira, hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Singkat cerita menjelang tahun kedua belas, tahu-tahu si sulung muncul lagi di rumah orangtuanya.

Dia mengenakan pakaian yang bagus, membawa barang-barang bagus, dan juga uang dalam jumlah yang sangat banyak. Dia bercerita pada ayah ibunya bahwa dia telah diajak berdagang ke mana-mana bahkan katanya sampai negeri Cina dan Hindustan.

Ayah angkatnya atau bapak kualon-nya belum lama ini meninggal. Semua harta kekayaan diwariskan kepadanya. Dengan demikian dia membawa pulang uang dalam jumlah yang sangat banyak.

Si sulung sangat sedih melihat keadaan ayah, ibu, dan adik-adiknya. Kini adiknya sudah bertambah tiga orang. Mereka masih tinggal di rumah seperti sebelum dia pergi dulu. Setiap malam tidur harus berdesak-desakan di lantai di atas selembar tikar.

Oleh karena itu dia ingin sekali mengubah keadaan ayah, ibu, dan adik-adiknya. Pertama-tama dibelilah tanah-tanah dan kebun-kebun yang sangat luas yang terletak di sekitar rumah orangtuanya. Kemudian tanah-tanah itu akan diberikan kepada adik-adiknya.

Adik pertama dipanggil dan dia bilang, “Adikku, adik nanti tinggal di tanah yang di behilir ya. Nanti abang buatkan rumah. Adik boleh tinggal di situ sampai kapan saja. Namun rumah dan tanahnya tetap milik abang.” Si adik menyambutnya dengan suka cita.

Kemudian dipanggilnya adik kedua dan dia bilang, “Adikku, nanti adik tinggal di tanah abang yang ada di bekulon. Nanti abang buatkan rumah. Adik boleh tinggal di sana sampai kapan pun. Namun rumah dan tanah itu tetap milik abang.”

Selanjutnya adik ketiga diberikannya tanah yang ada di beludik; yang keempat di beletan; dan yang lain-lain diberikan tanah dan dibuatkan rumah tidak jauh dari rumah orangtuanya. Dia sendiri memilih tetap tinggal dengan ayah dan ibunya setelah rumah itu dibangun kembali.

Sampailah pada suatu waktu penguasa setempat ingin mengadakan sensus untuk mengetahui jumlah penduduk, bangunan, dan luas tanah di daerah itu. Seorang petugas sensus datang ke rumah adik pertama. Setelah mencatat nama, umur, dan pekerjaan, dia mengajukan pertanyaan, “Ini rumah siapa dan tanah siapa?”

Si adik pertama menjawab, “Ini rumah abang dan tanahnya juga tanah abang.”

Lalu si petugas sensus datang ke rumah lain. Setelah mencatat nama, umur, dan pekerjaan, dia juga mengajukan pertanyaan yang sama. Jawaban yang diterima pun sama, yaitu rumah abang, dan tanahnya juga tanah abang. Jawaban yang sama juga diterima ketika datang ke rumah ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Bahwa rumahnya adalah rumah abang, dan tanahnya adalah tanah abang.

Begitulah ceritanya. Ketika si petugas sensus melapor di kantornya, dia ditanya dari mana. Maka dia pun menjawab, “Dari Tanah Abang.”


Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Abdul Chaer, Dongeng Betawi Tempoe Doeloe, hlm. 41-45. Bukunya tersedia di  TokopediaBukalapak, dan Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505

Artikel dikutip dari buku Abdul Chaer, Dongeng Betawi Tempoe Doeloe.

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY