Sekolah Campuran Orang Kaya dan Orang Kampung di Jakarta

0
4131
Murid-murid Sekolah Rakjat Tjikini

Hal yang cukup berkesan bagi saya ketika bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Tjikini adalah kondisi sosial murid-muridnya yang merupakan campuran antara anak-anak gedongan Menteng dan anak-anak kampung Kali Pasir dan sekitar Gang Ampiun, yang tidak jauh dari sekolah ini.

Campuran antara anak-anak the haves dan anak-anak the have-nots. Sehingga ada anak yang ke sekolah diantar dengan mobil (jumlahnya sangat sedikit), tetapi ada pula yang ke sekolah “ceker ayam” alias telanjang kaki tidak bersepatu. Namun, perbedaan kedua kelompok sosial ekonomi ini waktu itu tidaklah begitu besar dan mencolok. Perbedaan terlihat pada “kelas sosial” ketimbang kekayaan.

Kami masih biasa bercampur baur dan bermain bersama tanpa merasa ada perbedaan. Uang bayaran sekolah pun relatif sangat murah dan disesuaikan dengan kemampuan orang tua murid. Selain membayar dengan uang, juga dengan sumbangan beras. Saya kira beberapa anak kampung tidak usah membayar uang sekolah.

Baca Juga:

  1. Kongko Betawi
  2. Kawin Campur di Batavia
  3. Pasang Petasan

Sungguh suatu suasana persaudaraan dan solidaritas sosial yang masih kuat pada zaman awal berdirinya republik ini. Walaupun ada perbedaan sosial ekonomi, hal itu tidak terlalu kontras kelihatan dan tidak terlalu terasa. Sebagai gambaran sebagai sekolah campuran, beberapa teman sekelas saya yang tergolong anak ”gedongan” dari Menteng dan sekitarnya di SR Tjikini antara lain ialah Erlangga Suryadarma, Mukiono Reksoprodjo, Bambang (Titut) Kartohadiprodjo, Herawati Reksodiputro, Djoharnas Sutedja (dua terakhir kemudian menjadi suami-istri), Hastjarjo Sumardjan, Yuki Sumadipradja, Sutomo (Tommy) Slamet Iman Santoso, Judistira Subardjo, Kemal Djuanda, Budiono Suwarno, Widowati, Irwan Rasjid, Irawan, Lalita Oetama (dan kedua kakaknya Ihsan dan Sori Oetama), Mansyur Yahya (dan abangnya Rubin Yahya), Ratna Djuwita dan banyak lagi lainnya yang tidak saya ingat lagi namanya satu persatu karena tidak pernah bertemu lagi. Beberapa teman saya yang tinggal di sekitar Jalan Guntur yang bersekolah di sini waktu itu ialah Enud J. Suryana, Gulardi Wiknyosastro, dan Ati Suparmo.

Sedangkan dari anak-anak kampung Kali Pasir yang masih saya ingat namanya ialah Ramdani dan Royani (keduanya adik abang), Usman, Mansyur, Dorojatun, Uwen, dan lain-lain. Suatu peristiwa ”lucu” yang sampai sekarang saya ingat adalah waktu saya di kelas 4 (umur saya 8 tahun) kami sekelas diberi tahu bahwa salah seorang teman sekelas kami anak perempuan Kali Pasir dikawinkan. Entah berapa umurnya waktu itu, mungkin sekitar 12-13 tahun. Saya tidak tahu, apa kawin gantung atau kawin betulan.

Sesudah itu ia tidak pernah bersekolah lagi. Beberapa nama guru SR Tjikini yang masih saya ingat waktu bersekolah di sini ialah Pak Soemadji (kepala sekolah), Ibu Mien Soemadji (istri Pak Soemadji, guru olahraga), Ibu Irma, Ibu Niniek, Ibu Helwiyah Dharma Setiawan, Pak Mahrah, Ibu Hindun, Pak Yasin, dan Pak Burhan. Banyak guru lain yang saya tidak ingat lagi. Selain campuran antara kelas sosial-ekonomi, murid-murid SR Tjikini juga merupakan campuran dari berbagai suku, agama, bahkan ras. Ada anak Jawa, Sunda, Betawi, Aceh, Batak, Minangkabau, Palembang, Lampung, Bali, keturunan Arab, dan India.

Kami bermain bercampur baur biasa saja waktu itu tanpa merasa adanya ”perbedaan”. Pada waktu istirahat, kami sering bermain dan bercengkerama bersama, seperti main petak lari, petak umpet, atau main loncat tali, dan sebagainya. Fasilitas SR Tjikini waktu saya bersekolah di sini pada awal 1950-an boleh dikatakan masih sederhana. Setelah Guntur, anak pertama Bung Karno, masuk ke sekolah ini mulai terjadi perbaikan.

Ketika saya kelas 5, sekitar 1953, SR Tjikini membangun bangsal untuk kegiatan olahraga di bagian belakang sekolah. Selain untuk olahraga senam atau gimnastik, bangsal itu juga untuk bermain bola basket. Jadi ketika di sekolah dasar, saya sudah dapat bermain bola basket. Waktu di kelas 6, kami diminta membentuk tim-tim bola basket di antara kami dan melakukan pertandingan di antara tim-tim ini. Kami diminta pula untuk memberi nama masing-masing tim.

Tentu saja kami memilih nama-nama yang menarik dan beken. Saya masih ingat, tim saya memilih nama Grasshopper. Sebelum bangsal olahraga ini didirikan, kami terkadang bermain bola kasti di pekarangan belakang sekolah. Tetapi ketika bangsal didirikan, kami tidak pernah bermain bola kasti lagi. Kalau berolahraga, anak perempuan mengenakan celana olahraga yang namanya pofbroek, celana pendek yang lubang kedua kaki bawahnya menggunakan karet sehingga melekat di paha.


Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Jakarta 1950-1970 karya Firman Lubis, halaman 114-115. Bukunya bisa didapatkan di di  TokopediaBukaLapak, dan Shopee serta komunitasbambu.id atau telpon ke 081385430505.

Lebih jauh baca:

400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapakdan Shopee.

Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505

Buku terkait dengan artikel.

LEAVE A REPLY