
Pada 1836–1838, seorang seniman Arab-Jawa muda, Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811–1880), yang akan menyelesaikan pendidikan magang di bidang seni selama sembilan tahun (1830–1839) di Belanda, diberi tugas oleh pemerintah di Den Haag untuk melukis potret tiga gubernur jenderal yang gambarnya belum dipasang secara resmi di Landsverzameling Schilderijen, galeri gubernur jenderal di Batavia (Kraus dan Vogelsang 2012: 300–305).
Salah satu gubernur jenderal itu adalah Daendels. Lukisan berjudul “Gubernur Jenderal Daendels dan Jalan Raya Pos” selesai pada 1838. Lukisan itu menggambarkan Daendels, yang mengenakan seragam marsekalnya, sedang menunjuk ke peta bagian Megamendung dari jalan raya pos antara Bogor dan Cianjur di pegunungan Jawa Barat pada 1810. Sebagai pintu gerbang menuju dataran tinggi Jawa Barat atau Preanger (Priangan), Megamendung adalah puncak tertinggi (1.408 meter) di sepanjang jalan raya pos. Lokasi ini menantang karena memerlukan teknik besar, bahkan dikatakan memakan korban jiwa 500 buruh Jawa (Engelhard, 1816: 147; Nas dan Pratiwo, 2002: 710).
Bahkan setelah diselesaikan, enam ekor kerbau masih dibutuhkan untuk menarik kereta kuda mendaki celah ini. Situasi ini digambarkan dalam lukisan terpisah, baik oleh Raden Saleh maupun mentornya, Antoine Auguste Joseph Payen (1792–1853). (Carey, 2008: 198; Kraus dan Vogelsang, 2012: 326–327).
Tidak seperti potret dan miniatur lain dari Raden Saleh, karya tentang Daendels ini tidak dibuat secara langsung ketika sumbernya masih hidup. Karya ini didasari miniatur yang dibuat pada 1815 oleh seniman Prancis, S.J. Rochard, dan diselesaikan 20 tahun setelah kematian Sang Marsekal pada 1818 (Kraus dan Vogelsang, 2012: 300).
Baik miniatur karya Rochard maupun potret karya Raden Saleh menggambarkan karakter Daendels yang teguh dan bertekad bulat. Namun, Raden Saleh menangkap “keinginan absolut” sang marsekal—menggunakan kata-kata Mayor Errembault de Dudzeele—secara jauh lebih baik. Wajah Daendels dibuat dengan alis mata hitam menjorok ke luar, rahang menonjol, dan mata tanpa emosi yang menatap ke depan. Wajah ini menggambarkan kekuasaan dan kewenangan, selain perenungan yang begitu luas.
Baca Juga:
- Raffles dalam Cerita Rakyat Betawi
- Onghokham Sejarawan Hedonins Jakarta
- Sitor Situmorang di Pasar Senen
Jari telunjuk tangan kiri Sang Marsekal yang berbalut sarung tangan kulit dan kelihatannya tidak hidup (tangan bukanlah keahlian Raden Saleh) hampir menusuk ke peta di latar depan yang menyatakan tempat, tanggal, dan pencapaian: “Megamendung—atap dunia Jawa Barat” ditaklukkan oleh kekuatan Eropa pasca-revolusi.
Penampilan dan postur Daendels bukanlah satu-satunya yang paling menarik dari potret ini. Hal yang tidak kalah menarik adalah seragam yang dikenakan sang marsekal dan tanda-tanda kehormatan yang ia miliki. Di lehernya tergantung pita sutra merah dan salib enamel putih Legiun Kehormatan (legion d’honneur) dan di dadanya berkilau bintang berujung delapan dan selempang sutra biru Orde Kerajaan Belanda dari Louis Napoleon (pasca-1807 Orde Uni, pasca-1810 Orde Reuni).
Kita tahu bahwa Raden Saleh berusaha keras mendapatkan semua detailnya. Ia bahkan meminta sebuah seragam marsekal Prancis dari masa Napoleon dikirim ke Den Haag dari Paris. Seragam itu ditempatkan di studionya sampai ia menyelesaikan potret itu (Kraus and Vogelsang, 2012: 300). Maka kita dapat menyimpulkan, selain sosok yang memakainya, potret ini adalah potret seragam.
Di tangan kiri Daendels terdapat sebuah teleskop. Sebagaimana ditunjukkan oleh seorang penulis Indonesia, Katherina Achmad (2012: 196, 205), kita mungkin mengira Daendels bakal diperlihatkan sedang memegang tongkat komando seorang marsekal. Namun teleskop adalah instrumen presisi, kemahatahuan, dan jarak. Melalui instrumen seperti itulah, prestasi teknik seambisius jalan raya pos dapat dicapai.
Selain itu, teleskop juga melambangkan jarak yang jauh. Raden Saleh telah menggarisbawahi hal ini dengan adegan di sudut kiri lukisannya, yakni selusin sosok sangat kecil sedang bekerja keras seperti semut di bagian jalan yang terjal saat jalan tersebut berbelok menuju celah Megamendung. Bentuk badan mereka yang membungkuk hampir tidak terlihat, tipis seperti lidi yang anonim, benar-benar dikerdilkan oleh kemegahan pemandangan di sekelilingnya. Ini adalah para buruh pribumi yang akan mati—jumlahnya bahkan ribuan—saat membuat jalan dari tanah dan batu.
Achmad mengatakan kontras antara jalinan benang emas yang mewah di seragam Daendels dengan medali dan tanda kehormatan serta adegan pekerjaan sangat berat di latar belakang bukanlah kebetulan (2012: 198): “[…] kemegahan [seragam] Daendels memproyeksikan citra kekuatan dan kekayaan pemerintah kolonial, citra yang sangat bertolak belakang dengan penderitaan inlander [penduduk pribumi] yang dieksploitasi tanpa ampun demi kesejahteraan dan kemakmuran para penjajah. Dalam cara yang halus, Raden Saleh memberikan kepada kita sebuah ironi, menumpahkan cemooh kepada pemerintah kolonial yang hidup bersenang-senang di atas air mata, keringat, dan darah orang-orang yang dijajah.”
Masih menurut Achmad: “Selain itu, sebuah kontras yang lebih tajam terlihat jelas […] siluet minimalis para pekerja menunjukkan bahwa pakaian mereka kotor dan compang-camping. Kemegahan seragam Daendels sangat bertolak belakang dengan penampilan kumal para inlander [pribumi] yang melakukan kerja paksa untuk membangun postweg [jalan raya pos] dari Anyer ke Panarukan. Tanpa harus menggambarkan para korban kerja paksa ini terbaring [mati] di pinggir jalan […] atau para pengawas membawa cambuk, kekumalan ini dengan jelas menceritakan penderitaan dan ketidakberdayaan inlander [pribumi].”
Achmad (2012: 196–197) juga mencatat signifikansi penggunaan warna yang dilakukan oleh Raden Saleh: “Dominasi warna biru pirus yang kuat dalam potret–elegan, segar dan sejuk–menunjukkan keangkuhan, kemewahan, kekuasaan, dan ketenangan. Raden Saleh juga menggunakan warna ini, dalam berbagai nuansa berbeda, untuk langit, pegunungan, dan selempang yang dikenakan oleh Daendels maupun untuk pinggiran hutan lebat yang ada di ujung jalan yang baru terbangun sebagian. Warna biru kehijauan ini adalah motif utama dari keseluruhan komposisi dan memberikan rasa kesatuan yang kuat.”
Tidak seperti anatomi manusia, penggambaran bentang alam dan penggunaan warna adalah kekuatan Raden Saleh. Sepanjang hidupnya Raden Saleh berulang kali kembali ke gambar Jalan Raya Pos. Ia terutama memperhatikan Megamendung secara khusus (Kraus dan Vogelsang, 2012: 326–335). Sebagai buktinya, ia bahkan mengetahui warna seragam merah dan putih yang dikenakan oleh kusir di bagian ini. Raden Saleh juga dapat melukis bagian jalan ini hanya didasarkan ingatan dalam potret yang dibuat untuk temannya, Herzog (Adipati) Ernst II dari Saxe-Coburg dan Gotha (1818–1893, bertakhta, 1844–1893) pada 1876 selama kunjungan terakhirnya yang tidak membahagiakan ke Eropa (1875–1878) (Kraus and Vogelsang 2012: 332–333).
Raden Saleh melukis banyak suasana di Jalan Raya Pos, biasanya digambarkan saat hari mulai senja ketika berkas sinar matahari yang mulai tenggelam menerangi pemandangan hutan Jawa yang luar biasa bagus. Enam orang penumpang kereta pos Hindia Timur Belanda yang ditarik enam lembu jantan berjuang sekuat tenaga menaiki bentangan terakhir celah itu (1862) (Kraus dan Vogelsang, 2012: 326–327), warung kopi merangkap tempat pelacuran milik Ma Mina yang terkenal di dekat stasiun pos (1871) (Croockewit, 1866: 326–327; Kraus dan Vogelsang, 2012: 330–331), lewatnya kereta surat Jawa di stasiun pos di kaki celah tersebut (1876), dan kedatangan kereta kuda gubernur jenderal di stasiun pos yang sama sementara para penunggang kuda anggota pengawal pribadi Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge (1830–1903, menjabat, 1875–1881), memacu kudanya membersihkan jalan yang semakin gelap (1879) (Kraus dan Vogelsang, 2012: 334–335).
Tiga tema utama potret Raden Saleh pada 1838, yakni hubungan politik antara pemerintah dan yang diperintah, seragam, dan Jalan Raya Pos akan membentuk motif utama kajian tentang titik balik dalam sejarah Indonesia modern. Seluruhnya pada gilirannya akan dianggap sebagai cara memahami warisan Daendels bagi Jawa.
Kepustakaan
Achmad, Katherina. 2012. Kiprah, Karya, dan Misteri Kehidupan Raden Saleh: Perlawanan Simbolik Seorang Inlander. Jakarta: Narasi.
Carey, Peter. 2008. The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV Press.
Croockewit, A.E. 1866. “Zes weken in de Preangerschappen”, De Gids, Jaargang 30: 290–328.
Engelhard, N. 1816. Overzigt van den Staat der Nederlandsche Oost-Indische Bezittingen onder het Bestuur van den Gouverneur-Generaal Herman Willem Daendels enz. enz. ’s-Gravenhage, Amsterdam: Van Cleef.
Kraus, Werner dan Irina Vogelsang. 2012. Raden Saleh. The Beginning of Modern Indonesian Painting. Jakarta: Goethe Institut.
Nas, Peter J.M. dan Pratiwo. 2002. “Java and de groote postweg, la grande route, the great mail road, Jalan Raya Pos”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 158:707–725
Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) Sampai Era Reformasi, karya Peter Carey, Suhardiyoto Haryadi dan Sri Margana, cetakan kedua (2017), halaman 5-11. Buku bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak dan Shopee serta komunitasbambu.id atau kontak Hp 081385430505.
