Sejarah Pabrik Gas di Jakarta

0
2580
Sepotong bangunan yang tersisa dari Pabrik Gas yang menjadi Kantor Gas Negara

Pabrik Gas di Batavia dibangun pada 4 Desember 1862 di Gang Ketapang (sekarang jalan KH Zainul Arifin). Pengelolanya diberikan kepada Perusahaan L.J. Enthoven & Co yang dapat konsesi selama 20 tahun.

Pabriknya menempati lahan cukup luas, berbatasan dengan wilayah Tanah Sereal dan kali kecil yang mengalir di sampingnya. Gang Ketapang merupakan jalan pintas dari wilayah Kampung Duri, Roxi, Petojo, dan Jembatan Lima untuk menuju ke wilayah tengah kota (Kebon Jeruk/Sawah Besar, Kota, Pasar Baru, Asem Reges, Pecenongan, dan Harmoni). Hampir separuh sisi kanan Gang Ketapang itulah terletak Pabrik Gas.

Namun pada tahun 1864, entah mengapa, Perusahaan Gas yang berasal dari Den Haag itu diambil alih oleh Netherlands Indies Gas Company, yakni Perusahaan Gas Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1905, Perusahaan ini diambil alih lagi oleh Bataviaasche Electrische Maatschappij (Perusahaan Listrik Batavia), yang memasok kebutuhan gas untuk sebagian wilayah Batavia tengahan saja, setelah itu dikembangkan juga sampai ke Mester Cornelis.

Pada tahun 1950 sampai tahun 1958 perusahaan ini dikelola oleh NV Overzeese Gas en Electriciteit Maatschappij (NV OGEM) The Netherlands Indies Gas Company. Setelah Kemerdekaan, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan dan mengubah namanya menjadi Perusahaan Gas Negara (PN Gas), yang kemudian diubah lagi pada tahun 1965 menjadi Perusahaan Umum ( Perum) Gas Negara. Pabrik ini dibangun untuk memenuhi penerangan di beberapa ruas jalan penting dan untuk konsumsi perumahan bagi orang yang mampu.

Baca Juga:

  1. Tempat-Tempat Terkenal di Jakarta Barat Dulu
  2. Tempat-Tempat Populer di Jakarta Utara Dulu
  3. Bacaan Porno 1950 sampai 1970-an

Bahan gasnya berasal dari olahan batu arang (steenkol) yang dibakar di beberapa tangki besar. Dulu masih kelihatan sisa jalur kereta api yang berada di belakang pabrik, yang menandakan batu bara dibawa melalui jalur kereta api dari Tanjung Priok atau dari Pos Duri ke pabrik itu. Bagi anak kecil yang melewati pabrik itu sangat menyeramkan, karena tangki besarnya itu selalu mengeluarkan asap dan beberapa pipa salurannya mengeluarkan air hitam dari dinding pabrik ke kali kecil di sebelahnya.

Selain itu, dua puluh empat jam pabrik itu tidak berhenti mengeluarkan suara bergema yang menderu dari mesin pembakarannya yang terletak di pinggir kali, sepanjang jalan Gang Ketapang. Bentuk tungku yang besar, berwarna hitam, dan yang selalu mengepul itu selalu menjadi mimpi buruk bagi anak kecil. Kebanyakan orang tua pada waktu itu selalu mengancam anak mereka yang tidak mau menurut untuk dimasukan ke dalam tungku itu.

Tungku besar itu persis seperti gambaran tungku neraka atau paling tidak seperti tungku dari para tukang sihir. Saya sendiri termasuk orang yang ngeri melihat pabrik gas yang tidak bersahabat itu. Kalau sedang melewati jalan Ketapang dan mendekati Pabrik Gas itu, maunya cepat-cepat berlalu sambil memalingkan muka ke arah berlawanan.

Untuk memudahkan penyaluran ke wilayah elite di daerah Menteng, Pabrik Gas Ketapang membangun tungku penimbun di sekitar Manggarai (jl. Anyer). Pada waktu itu, belum banyak bangunan tinggi, sehingga tungku penimbun, baik di Gang Ketapang maupun di jalan Anyer dapat terlihat dari jauh.

Sampai tahun 2002, aliran gas ke beberapa rumah di wilayah Menteng masih berjalan, walaupun tungku penimbun di jalan Anyer itu sudah dibongkar. Menurut pemakainya, gas yang dikeluarkan oleh pabrik gas, lebih baik, lebih aman, dan lebih murah. Penggunaan gas rumah ini mirip dengan penggunaan air ledeng yakni sama-sama menggunakan meteran yang dipasang di depan rumah.

Artikel dikutip dari buku Zeffry Alkatiri, Jakarta Punya Cara, hlm. 62-23.

Setelah ditemukan dan dikembangkannya Liquid Petrolium Gas yang disingkat Elpiji untuk konsumsi rumah tangga, Pabrik Gas Ketapang kehilangan pamor. Lama-kelamaan pemakaian gas dari batu bara menjadi berkurang, Pabrik Gas Ketapang ditutup. Padahal sebelumnya, Pabrik itu telah melayani kebutuhan sebagian masyarakat kota Batavia dan Jakarta selama beberapa dekade.

Menurut salah seorang mantan pekerjanya, Pabrik Gas itu, sudah mulai bobrok setelah dipegang pemerintah militer Jepang, apalagi setelah kemerdekaan. Pabrik itu menjadi tidak terurus dan dianggap tidak dapat dikembangkan.

Padahal sewaktu zamannya Suharto kebutuhan akan gas yang berasal dari batu bara sempat kembali dikampanyekan. Tetapi sudah terlambat, sebab sudah banyak orang yang menyenangi menggunakan gas dari tabung elpiji yang lebih praktis, padahal lebih mahal dan sering dinaikan harganya tanpa kompromi oleh perusahaan BUMN yang tanpa saingan. Apa boleh buat, Pabrik Gas kembali menjadi tinggal kenangan saja dari perkembangan kota Jakarta.


Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Zeffry Alkatiri, Jakarta Punya Cara, hlm. 62-23. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee  atau kontak langsung ke WA 081385430505

LEAVE A REPLY