Pasar Gambir adalah kegiatan yang berawal dari pameran etnografi dan kerajinan tangan yang diadakan pada 1853 di Batavia. Kemudian diteruskan di lapangan Koningsplein yang dikenal sebagai lapangan Gambir. Setelah itu, Pasar Gambir yang bermula sejak 1906 diadakan dalam menyambut ulang tahun Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus sampai pertengahan September. Sebelumnya lapangan di depan rumah pelukis Raden Saleh di Cikini pernah digunakan untuk kegiatan pasar malam.
Selain ada barang yang hanya dipamerkan, ada pula dan memang kebanyakan ditampilkan untuk dijual. Penjualan produk ini diprakarsai oleh Departement van Onderwijs Eeredients en Nijverheid atau Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Pemerintah Hindia Belanda. Tetapi sejak 1918 diambilalih oleh suatu komite atau panitia khusus pameran Pasar Gambir, yang kemudian ditambah dengan diisi acara hiburan. Program acara hiburannya bermacam-macam, mulai untuk anak-anak sampai orang dewasa. Selain penjualan dan hiburan, di arena Pasar Gambir dilengkapi juga dengan stand makanan dan minuman.
Bertempat di sudut barat daya Lapangan Monas sekarang. Pintu gerbang atau gapuranya dirancang oleh arsitek J.H. Antonisse. Setiap tahun gapuranya berganti meniru bentuk rumah adat di Nusantara yang dihiasi dengan lampu listerik. Pasar Gambir berlangsung selama dua sampai tiga Minggu, dari pertengahan Agustus sampai awal September. Sejak awal untuk acara pembukaan dan penutupan selalu diadakan pesta kembang api.
Selain pameran, juga diisi dengan berbagai hiburan, seperti bioskop terbuka dan tertutup, berbagai permainan ketangkasan, kongkurs keroncong (live Java) dan konser musik. Pasar Gambir mengalami perubahan sejak 1921 dengan penampilannnya yang berkesan modern. Kegiatan pasar tersebut berakhir pada 1939. Tidak sedikit tokoh penghibur muncul dan ternama berkat pasar tersebut. Contohnya adalah Miss Riboet, Annie Landouw, Bram Titaley atau Bram Aceh dan Abdullah sebagai penyanyi keroncong. Beberapa petinju, seperti Kid Bellel, Kid Darlin, Kid Yusuf, Young Sattar dan Boby Nyo. Mereka menjadi lebih dikenal karena sering adu jotos di ring boksen yang disediakan setiap malam Minggu.
Baca Juga:
- Komik Humor dan Komik Roman Remaja Jakarta 1970-an
- Menyaksikan Acara Televisi 1970-an
- Bacaan Porno 1950 sampai 1970
Sebelum Jepang masuk bentuk kecil dari Pasar Gambir ditiru di berbagai kota besar, seperti Jaarbur di Bandung dan Jaarmark di Surabaya, serta diadakan juga di Semarang dan Medan. Di Batavia sendiri, selain di Pasar Gambir, hiburan malam diselenggarakan juga di Prinsen Park.
Pasar Gambir mengalami jeda panjang, sebab baru 1950-an kembali diadakan di lokasi yang sama. Pada waktu itu sudah menjadi kekhasan setiap yang ke Pasar Gambir membawa pulang kerak telor dan martabak telor seusai keliling. Pada masa itu hiburan musik berkurang sebab diganti dengan lotre. Hiburan lainnya yang juga menjadi daya tarik adalah akrobat dan tong setan yang meneruskan tradisi crossboy Indo bermain motor. Selain itu, muncul hiburan orang kate (orang pendek) yang menjajakan jamu kuat dari suatu pabrik jamu.
Masa tahun 1950-an berarti zaman prihatin. Efeknya kegiatan pasar malam diubah menjadi Pekan Industri dan Kebudayaan. Lokasinya dipindahkan ke Lapangan Blok M (sekarang menjadi terminal bus). Lapangan Gambir berubah nama menjadi Lapangan Monas (karena didirikan tugu atau Monumen Nasional) dan menjadi sepi. Tapi di beberapa lapangan bola yang ada di sekitar Jakarta, seperti Lapangan Bola VIJ-Petojo dan Lapangan Bola Mangga Besar tetap rutin meneruskan kegiatan pasar malam tradisional.
Baru pada 1968, kegiatan pasar malam di Monas diadakan kembali. Diprakarsai oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang menggabungkan ide Pasar Gambir dengan Pekan Industri, maka jadilah Djakarta Fair. Alhasil pasar malam tradisional yang terkenal dengan komidi puternya menjadi terdesak dan lama-kelamaan menghilang dari Jakarta. Jika Pasar Gambir dibuka untuk menyambut ulang tahun Ratu Wilhelmina, maka Djakarta Fair dibuka untuk memeriahkan ulang tahun Kota Jakarta.
Pada awalnya di Djakarta Fair terdapat arena hiburan, tetapi karena semakin banyaknya stand, arena hiburan dipindah ke lokasi di sebelahnya, yakni Taman Ria. Keduanya berlokasi di Lapangan Monas. Isi Djakarta Fair tidak berbeda dengan Pasar Malam Gambir, hanya tampak lebih modern. Di sana dipamerkan berbagai barang industri, teknologi dan hiburan yang tidak putus setiap malam, selama dua bulan. Djakarta Fair diingat orang, salahsatunya mungkin karena adanya Judi Kim dengan nyanyian pop Minangnya yang terkenal.
Pada masa-masa awal, setiap sore jalan tengah di Djakarta Fair dijadikan arena permainan Go-cart. Saya sendiri sering pergi sore-sore bersama orangtua untuk menjajal naik Go-cart. Sebab kalau sudah malam jalanan utamanya akan dipadati banyak orang. Sekolah saya terletak di depan Stasiun Gambir (SMP 35), seusai sekolah, pada siang hari saya sering melintas di Jakarta Fair. Karena siang hari jadi tidak bayar dan masih boleh masuk dengan bebas. Kondisi siang hari berbeda dengan malam hari. Siang hari terlihat stand-stand yang ada biasa saja, tetapi kalau malam hari stand tersebut menjadi menarik karena dihiasi oleh berbagai lampu berwarna.
Dulu di Djakarta Fair juga terdapat beberapa panggung hiburan. Setiap malam ada pentas dari hiburan keroncong, dangdut sampai penyanyi pop. Aneka panggung pertunjukan ini kemudian menjadi inspirasi buat Bang Ali untuk mengadakan acara Malam Muda Mudi yang dilangsung di sepanjang Jalan Thamrin. Acara itu berkaitan dengan ulang tahun Kota Jakarta. Jalan Thamrin, dari mulai Bunderan Air Mancur sampai HI dikosongkan dan di setiap sisinya disiapkan berbagai panggung hiburan. Pada malam itu berdatangan anak muda dari berbagai seantero Kota Jakarta. Mereka umumnya mengenakan pakaian yang nyentrik-nyentrik. Kalau tidak salah, setelah Malari, acara keramaian muda mudi ini tidak diperkenankan lagi.
Stand yang sering dikunjungim oleh banyak orang adalah stand Jamu Air Mancur. Hal ini disebabkan di stand itu ada orang cebol yang nandak dan joget-joget di panggung sehingga membuat suasana menjadi meriah. Stand lain adalah produk berbagai merek televisi yang pada akhir 1970-an saling bersaing untuk memamerkan kehebatannya masing-masing dengan suara yang hingar bingar.
Selain itu, stand yang sering dikunjungi orang adalah stand kue donat. Sebelum adanya perusahaan kue donat besar dari AS, di Djakarta Fair lebih dulu ada stand yang menjual kue donat yang katanya resepnya juga dari Amerika. Setiap malam orang harus antri membeli makanan yang baru dikenal itu. Padahal sebenarnya mirip dengan kue cincin yang tradisional.
Djakarta Fair akhirnya harus dipindah ke lokasi baru di Kemayoran (bekas kompleks lapangan terbang, tahun 1992) dan berganti nama menjadi Pekan Raya Jakarta. Taman Ria sendiri jadi merana dan akhirnya mati pelan-pelan. Di lokasi yang baru, Pekan Raya Jakarta pernah berjaya dan bergengsi karena belum ada saingan. Tapi kini dengan banyaknya kompetitor, seperti mall, plaza dan berbagai tempat pameran rutin, maka Pekan Raya Jakarta pun akhirnya mengalami dekadensi.
Apalagi lokasinya yang jauh dari pusat kota. Ditambah lagi dengan kesemrawutan dan ketidakamanan tempat parkir kendaraan membuat sebagian orang segan berkunjung ke sana, kalau tidak terpaksa. Namun sebagai barometer keberhasilan, setiap tahun panitia penyelenggara melaporkan adanya penambahan jumlah pengunjung. Entah benar atau tidak datanya, kita tidak pernah tahu.
Anehnya juga yang tidak dipikirkan sebelumnya, suatu tempat keriaan, seperti pasar malam, setelah pindah ke Kemayoran bisa diubah menjadi ruang pengadilan. Setelah Reformasi 1998, salahsatu Hall di Pekan Raya Jakarta Kemayoran pernah menjadi ajang pengadilan buat Tommy Soeharto (salahsatu putra mantan Presiden Soeharto) yang disebut “Pangeran Cendana” dan pernah dihukum dibuang ke Nusa Kambangan.
Dikutip atas seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Pasar Gambir, Komik Cina dan Es Shanghai karya Zeffry Alkatiri, halaman 123-126.
Lebih jauh baca buku:
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta karya Robert Cribb yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta 1950-1970an karya Firman Lubis yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505
