Sejarah Ide Pencerahan dan Perpustakaan di Jakarta

0
2846
Perpustakaan Museum Pusat sebelum dipindah dan menjadi Perpustakaan Nasional RI.

Prof. Dr. Sjarif Tahjeb pada 4 Maret 1978 membuka secara resmi sebuah perpustakaan umum di Jl. Tanah Abang I. Perpustakaan ini dibangun berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Pemerintah DKI Jakarta dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 38522/Sekj.DPK/1977 yang dikeluarkan tanggal 15 Juni 1977 tentang Pilot Projek Pembangunan dan Pengembangan Perpustakan Umum di DKI Jakarta.

Kelak 4 Maret itu ditetapkan sebagai hari jadi Perpustakaan Umum Kotamadya Jakarta Pusat. Juga disebut-sebut sebagai tonggak awal sejarah perpustakaan umum di Jakarta. Tetapi, apakah ini tepat dan tahan terhadap ujian sejarah jika lembar sejarah masa lalu Jakarta kembali dibuka?

Sebab sesungguhnya Jakarta telah mempunyai perpustakan umum jauh sebelum 4 Maret 1978 itu. Perpustakaan umum sudah ada di Jakarta sejak kotanya masih bernama Batavia. Saat itu, ketika Kompeni masih sekuasa-kuasanya, J.C.M. Raderacher, seorang anggota Raad van Indie, pada 24 April 1774 mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah institusi seni dan ilmu pengethauan yang diharapkan akan membawa semangat aufklarung atau pencerahan Eropa ke tanah Hindia Timur.

Baca Juga:

  1. Abu Ridho Ahli Keramik Museum Nasional
  2. Ghozali si Ahli Uang Kuno Museum Nasional
  3. Sejarah Pabrik Gas di Jakarta

Radermacher mengawali institusi pengetahuannya itu dengan memberikan sumbangan berupa benda-benda kuno dan terutama adalah buku-buku sebanyak enam lemari. Koleksi benda-benda kuno berupa patung-patung batu, perunggu, barang-barang etnografi—kemudian setelah institusi itu dibubarkan pada 1950 bersama nasionalisme yang menguat dan upaya nasionalisasi—berkembang menjadi koleksi Museum Pusat atau yang kini disebut Museum Nasional. Sedangkan buku-bukunya yang terdiri dari buku-buku ilmu alam, ilmu hayat, hukum, bangsa-bangsa, kebudayaan, dan sejarah kemudian berkembang menjadi Perpustakaan Museum Pusat.

Perpustakaan inilah yang diambil alih dan koleksinya menjadi basis utama—selain Perpustakaan Sejarah, Politik dan Sosial (SPS), Perpustakaan Umum Daerah DKI Jakarta, serta Bidang Bibliografi dan Deposit Pusat Pembinaan Perpustakaan—ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, ingin mewujukan Perpustakaan Nasional RI pada 17 Mei 1980.

Lantas tanggal itulah yang kemudian dirujuk sebagai hari jadi Perpustakaan Nasional RI. Tanggal 24 April dikubur baik oleh Perpustakaan Umum DKI Jakarta maupun oleh Perpustakaan Nasional RI. Hanya tinggal Museum Nasional yang masih mengacu hari kelahirannya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778.

Padahal—sekali lagi perlu ditegaskan—koleksi terbesar pertama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen adalah buku-buku. Bahkan buku-buku itulah koleksi dominannya sejak masih bertempat di sebuah rumah yang dihibahkan Radermacher di Kali Baru. Begitu pula ketika pindah ke dekat klub elite Harmoni karena rumah itu tak mampu lagi menampung koleksi yang bertambah. Tak juga berubah manakala pada 1868, pindah lagi ke gedung yang kemudian dikenal sebagai gedung Museum Nasional di Jl. Merdeka Barat No.12.

Sebab itulah Wahyono Martowikrido seorang arkeolog dan pekerja di Museum Nasional pada 1974 menulis sebuah artikel panjang di majalah ilmiah populer Intisari dengan titel “Perpustakaan Museum Pusat yang Tertua di Asia Tenggara”. Ia bukan hanya menceritakan sejarah perpustakaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen itu menjadi yang tertua di Asia Tenggara—baru beberapa tahun setelahnya di Manila didirikan sebuah perpustakaan kepunyaan misi Katolik—tetapi, juga bagaimana para pekerja di Museum Pusat itu sebagai “orang kaya raya” karena berada di antara tumpukan buku-buku pengetahuan yang sangat berharga dan saban hari orang meminta pertolongan diberi “amal ilmu pengetahuan”.

Wahyono melaporkan ketika Belanda pergi mereka meninggalkan 100.000 judul buku lebih, majalah sebanyak 11.000 judul, surat kabar 1300 judul dan penerbitan PBB sejumlah 2500 judul. Selain itu masih terdapat ratusan peta-peta topografi, peta-peta Jakarta tempo doeloe yang tertua dari abad ke-16 dan sebuah peta pelayaran orang Makassar yang digambar di atas kulit kerbau. Sedangkan buku koleksi tertua adalah tiga jilid Navigationi et Viaggi terbitan tahun 1613, 1556, dan 1500 tentang navigasi Columbus, Fernando Cortez, Fransisco Pissaro, dll ketika menemukan dunia baru. Juga terdapat lembaran dag register kota Batavia, Lembaran Negara dan penerbitan Kantor Berita Antara sejak pertama pada 1946.

Salah satu “amal ilmu pengetahuan” itu yang tercatat adalah lantaran kekayaan buku-buku ilmu pengetahuan hukum, budaya, bahasa dan humaniora—awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat—kemudian dilihat memungkinkan pula digunakan untuk mendirikan lembaga pedidikan. Pada 1924 berdirilah Rechts Hogeschool yang bahkan peresmiannya oleh Gubernur Jenderal Dick Fock dilakukan di Balai Sidang Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen Fakultas. Lantas pada 1940 di tempat yang sama berdiri pula  Fakulteit der Letteren en Wijsbegeerte. Keduanya kelak menjadi Fakultas Hukum dan Fakultas Sastera Universitas Indonesia—institusi yang juga idenya berawal dari tempat yang sama untuk mendirikan Universiteit van Nederlands-Indie.

Tetapi, cobalah percaya bahwa melimpahnya koleksi buku pengetahuan hukum, budaya, bahasa dan humaniora  itu awalnya karena mayoritas buku-buku ilmu pengetahuan alam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 1850 disumbangkan kepada Natuur Wetenschappelijk Vereniging, yaitu institusi untuk ilmu pengetahuan alam. Institusi inilah memanfaatkan kebun raya (botanical garden) di Bogor menjadi pusat riset ilmu alam tropis serta tersohor ke antero jagad sebagai ‘s Lands Plantentuin atau kebun tanaman negara. Termasuk di dalamnya terdapat Algemene Proefstation voor de Landbouw (Lembaga penelitian peranian) serta Veeartsenijkundige Instituut (Lembaga Penelitan Kedokteran Hewan) yang melalui jalan panjang berliku kemudian menjadi cikal bakal Institut Pertanian Bogor (IPB).

Menelusuri kembali sejarah panjang perpustakaan umum di Jakarta adalah perjalanan menemukan kembali Jakarta yang pernah digagas sebagai kota berbudaya ilmu pengetahuan. Kota yang memiliki perangai ilmiah. Semangat berkota dengan perangai ilmiah ini menariknya bukanlah dibangun oleh mereka yang gelarnya berlapis-lapis, bahkan tanpa punya pencapaian ilmiah dan pengalaman sebagai ilmuwan professional. Mereka adalah anggota masyarakat dengan beragam latar belakang yang berpikir betapa penting untuk membentuk kembali diri mereka sebagai kaum terpelajar.

Itulah yang mendorong mereka sering berkumpul dan bertukar mimpi sekaligus ambisi membentuk Batavia sebagai kota dengan budaya keilmuan yang kuat. Sebab hanya dengan budaya demikian akan terbentuk masyarakat sipil tercerahkan di koloni, tempat anak-anak mereka akan tinggal permanen dan bersama-sama masyarakat koloni pribumi membangun dunia baru. Mereka bertindak secara mandiri dan dari jurnal mereka terbaca jelas hal itu: Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (Jurnal untuk warga Hindia Belanda) yang terbit pada 1838. Tujuan mereka jelas yaitu menciptakan  road map (perencanaan) untuk lahirnya masyarakat madani.

Tetapi, harapan tersebut segera diambil alih oleh Negara Hindia Belanda. Mereka disingkirkan dan digantikan oleh sejumlah ilmuwan yang ditempatkan oleh negara di lembaga-lembaga strategis yang sudah mereka rintis. Sebah era baru bagaimana membuat ilmu pengetahuan sebagai alat pemenuhan kebutuhan pencarian sumber keuntungan baru dan memungkinkan industri ekstraktif kolonial tumbuh subur. Suatu masa para ilmuwan bekerja sebagai—pinjam istilah Andrew Goss—floracrat (ilmuwan abdi negara).

Ketika para pendiri bangsa merumuskan cita-cita Indonesia ide para apostel pencerahan awal Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang dipadamkan oleh negara kolonial bersama para floracrats itu disambungkan kembali. Di Jakarta tempat pernah lahirnya ide pencerahan itu dibahasakan kembali dan tak kepalangtanggung ditaruh di tempat paling mulia: Pembukaan UUD 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Sebuah basis berpikir yang berangkat dari kesadaran jika kolonialisme Belanda adalah suatu proses sistemik pembodohan, maka nasionalisme Indonesia sebagai antitesisnya adalah sebuah proses sistemik pencerdasan. Sebuah upaya bagaimana imajinasi masyarakat Indonesia modern yang disebut Tan Malaka di dalam Madilog membenturkan kebudayaan dan agama yang sudah kuat di dalam tubuhnya dengan budaya berdasar logika—dimana budaya ilmu pengetahuan dan produksi serta distribusinya menjadi dasar dari bagaimana peradaban dibangun—sehingga terbentuk sebuah “perangai ilmiah”.

Mungkin sebab itu tak selang lama setelah Sukarno kembali ke Jakarta dari kepindahan ibukota di Yogyakarta, maka hal pertama yang termasuk diputuskan adalah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 1953 tentang pemerintah desa/kelurahan yang mempunyai tugas pokok membangun perpustakaan umum sebagai pusat informasi, pendidikan dan akhirnya menjadi semacam “universitas rakyat”. Sebab hanya dengan begini upaya mengobarkan pencerahan populer dapat berhasil.

Tetapi, PP ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Sampai 2002 menurut data Perpustakaan Nasional RI dari 71.254 desa/kelurahan di seluruh Indonesia baru terdapat 173 perpustakaan kelurahan. Meskipun mayoritas ada di Jakarta, tetapi Jakarta yang disebut Sukarno sebagai “wajah muka Indonesia” seharusnya menjadi pelopor pelaksanaan PP itu dari 267 kelurahan baru membangun 129 unit perpustakaan kelurahan. Dari jumlah tersebut pun yang benar-benar berfungsi dengan baik masih jauh lebih sedikit. Bahkan keluarnya perangkat hukum yang mendukung pun tidak mengubah keadaan, seperti SK Gubernur No. 235 Tahun 1995, Perda No. 3 Tahun 2001, dan SK Gubernur No. 109 Tahun 2001.

Jakarta juga tidak punya perpustakaan kecamatan yang pada dasarnya merupakan bagian dari jenjang dan perangkat layanan perpustakaan umum. Perpustakaan dari kelurahan langsung melompat ke perpustakaan umum kotamadya dan perpustakaan umum pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pada 15 Februari 2013, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mencopot Walikota Jakarta Selatan, Anas Effendi, yang dinilai buruk kinerjanya dipindahtugaskan menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah. Ini menandaskan kembali bahwa museum dan perpustakaan adalah tempat pembuangan, tempat hukuman, tempat pengisolasian pegawai-pegawai yang buruk, bermasalah, dan menjelang masa pensiun. Suatu tindakan ahistoris yang jauh sebelum masa Joko Widodo menjadi gubernur sudah membudaya istilah buruk dan rendah “dimuseumkan” dan “diperpustakaankan”.

Padahal dalam sejarah panjang dari museum dan perpustakaan—rumah di mana akal dan gagasan berdiam dan menjelaskan dirinya—itulah pikiran mulia mencerdaskan kehidupan bangsa ditemukan. Tanpa perhatian serius dan perayaan perpustakaan oleh pemerintah serta masyarakat sebagai  ruang kapasitas pembelajaran, Jakarta sebagai “wajah muka Indonesia” akan bergerak menjauh dari menjadi masyarakat madani, melainkan tinggal seperti segerombolan zombie. Masyarakat dengan pertumbuhan dan penampilan fisiknya tak diikuti perkembangan rohaninya. Mungkin begitu nasib kota yang mendurhakai sejarahnya.

Buku Belenggu Ilmuwan dan Ilmu Pengetahuan di Hindia Belanda dan buku Cerita dari Gedung Arca

Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dan Masup Jakarta dari buku Belenggu Ilmuwan dan Ilmu Pengetahuan di Hindia Belanda karya Andrew Goss, dan buku Cerita dari Gedung Arca karya Wahyono Martowikrido. Bukunya tersedia di TokopediaBukaLapakShopee  atau kontak langsung ke WA 081385430505

LEAVE A REPLY