
Pada 1957 dan 1958 terjadi pengambilalihan aset industri yang dimiliki perusahaan Belanda. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan nasionalisasi perusahaan asing.
Kejadian itu juga berkaitan dengan adanya konfrontasi antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat. Pada waktu itu, Soekarno menginstruksikan untuk mengambilalih wilayah Irian Barat yang masih diduduki Belanda. Dengan adanya pengambilalihan dan peraturan yang menyertainya menyebabkan banyak orang Belanda dan Indo memilih pergi ke Belanda.
Tetapi sebagian juga ada yang memilih tinggal di Indonesia. Yang sebagian itu memang sangat sedikit. Mereka dapat dilihat dari populasi mereka yang terdapat di kota-kota besar, seperti Jakarta. Di antara yang sedikit itu, adalah orang-orang yang saya kenal, sebagian teman saya, sejak di bangku taman kanak-kanak sampai SMA. Melalui merekalah dapat dilihat pola hidup keseharian yang menjadi subkultur masyarakat Indo, khususnya yang berada di perkotaan, seperti Jakarta.
Dietje (bukan nama sebenarnya) adalah teman perempuan saya di taman kanak-kanak. Ia seorang Indo-Batak. Ia tampak bule dan dipanggil si bule oleh teman saya yang lain. Dietje ini kemudian bertemu kembali dengan saya di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Bacaan hiburan keluarganya yang sering dibawa ke sekolah adalah majalah de Lach, Muziek Express, Pop Foto, Libelle dan Maghritte.
Baca Juga:
- Kisah Setangan Kain Tutup Kepala Khas Betawi
- Sumur Timba yang Punah
- Sekolah Campuran Orang Kaya dan Orang Kampung di Jakarta
Di rumah, ia sesekali masih bicara bahasa Belanda. Dan tak lupa setiap akan berpisah ia akan mengucapkan kata “Daag !”. Saya menjadi banyak tahu tentang perkembangan musik pop di Eropa pada era 1970-an berkat ia yang berlangganan majalah Pop Foto atau Muziek Express itu, yang juga berbahasa Belanda.
Arnold (bukan nama sebenarnya) adalah anak Indo-Belanda yang menjadi teman akrab saya di sekolah dasar. Saya sering main ke rumahnya yang besar, dimana setiap siang terdengar suara denting piano, tanda ibunya sedang memberi les piano. Di rumahnya tersedia komik Tin Tin berbahasa Belanda. Saya pertama kali tahu komik Tin Tin itu juga darinya. Di rumahnya di daerah Jalan Kesehatan, kami sering bermain mobil balap yang menggunakan jalan mainan yang diberi batere.
Saya menjadi akrab dengan pola hidup subkultur masyarakat Indo melalui sikap sehari-hari dalam kehidupannya di rumahnya, yakni disiplin waktu, rapih, resik, membaca, makan kentang, memelihara anjing, tidur siang, liburan (naar boven ke Puncak), natalan, tahun baruan dan ulang tahun.
Perayaan natal masih dipengaruhi oleh budaya Belanda, seperti menaruh rumput di dalam sepatu yang diletakan di bawah tempat tidur pada waktu malam Natal. Sewaktu hari Natal biasanya akan ditampilkan Sinyo Kolas, Sinterklaus berserta pembantunya yang bernama Piet Hitam yang selalu membawa buntelan berisi mainan di rumahnya. Ruangan pesta ulang tahun biasanya didekorasi supaya meriah dengan membuat gelang rante dari kertas berwarna yang diletakan di atas langit-langit dan dihiasi dengan beberapa balon.
Sewaktu SD saya juga kenal dengan teman akrab kakak saya yang Indo bernama si Epi (begitu panggilannya). Ia adalah anak dari Jenderal Ibrahim Adjie dari isteri keduanya yang keturunan Belanda. Saya sering diajak kakak saya ke rumahnya. Kami sering duduk-duduk di depan rumahnya di Jalan Musi, Tanah Abang. Kelihatannya ada kecenderungan beberapa perwira TNI dari generasi pertama mengawini perempuan bule, yang bisa jadi bekas interniran atau Indo, yang tidak pulang, karena mungkin tidak ada sanak famili lagi di Belanda.
Yongky adalah pemuda Indo-Cina yang mengontrak di daerah belakang rumah saya. Tidak diketahui siapa orangtuanya. Berpenampilan seperti Elvis Presley dengan jambul, kerah lebar dan baju ketat. Ia berprofesi sebagai seorang pemain band di sebuah klub malam. Setiap sore, ketika berangkat kerja, ia selalu melewati depan rumah saya. Walaupun berprofesi seperti itu, ia sangat sopan dan selalu menegur Bapak saya jika lewat di depan rumah. Yongki akhirnya menikah dengan Reres, gadis Cina tetangganya yang juga baik dan dekat dengan keluarga saya.
Raymond adalah Indo-Menado yang tinggal di Tanah Abang. Ia termasuk anak bandel yang saya kenal di sekolah menengah pertama (SMP). Berbeda dengan Arnold yang kalem dan terpelajar, kesukaan si Raymond adalah berkelahi dan mencari perkara dengan orang lain. Ia berani begitu karena orangtuanya menjabat sebagai perwira militer AD. Lewat dialah saya beberapa kali nonton film gratis di Press Club, yang dulu sempat menjadi tempat khusus bagi para Indo-Jakarta.
Sewaktu saya di SMA, saya juga kenal dengan Jacob, Indo-Sunda bekas juara berenang yang malas ke sekolah. Ia pernah tidak naik kelas dan dijuluki veteran di sekolah saya. Ia tinggal di Menteng. Tiap awal bulan ia berangkat ke Subang bersama Bapaknya untuk melihat tanah dan kebunnya, sekaligus berburu babi hutan, katanya.
Dulu berburu merupakan kegiatan yang disukai oleh kalangan Belanda dan Indo. Bahkan di setiap kota besar mereka mempunyai klubnya sendiri. Mereka melakukannya di wilayah hutan dan perkebunan, yang biasaya ditemani oleh para portirnya, orang pribumi. Kebiasaan itu terus dilakukan oleh sebagian dari mereka, yang dianggap sebagai bagian dari kegiatan avonturir yang menyenangkan.
Ketika berada di SMA, saya kenal dengan si Alex. Ia dapat dikatakan sebagai sisa-sisa anak Indo-Kemayoran. Dari jauh suaranya sudah terdengar dengan baritonnya yang berat. Ia menjadi olahragawan di sekolah. Seringkali ia mencuri waktu istirahat untuk minum-minuman keras di kantin sekolah. Kalau sudah demikian, suaranya menjadi bertambah berat.
Kami sekeluarga juga akrab dengan keluarga Indo lain yang merupakan teman dekat Ayah. Di antaranya adalah, Oom Pits (Peters) yang beristerikan perempuan Cina-Betawi (Tante Oie) yang selalu mampir dan datang menjenguk ke rumah. Oom Pits bersama Tante Oie ini selalu datang bersama rombongan keluarganya yang banyak pada hari Lebaran. Begitu juga keluarga kami akan datang ke rumah mereka, sewaktu mereka merayakan tahun baruan.
Selain mereka, ada juga Oom Vendrat, teman Ayah yang juga beristerikan perempuan Cina-Indo. Ia sering datang ke rumah orangtua saya dengan menggunakan motor besar dan selalu ngobrol dengan Ayah saya sampai larut malam. Dari Oom Vendrat ini saya mengenal, suara Anneke Gronloh, Bianca Pattirane, dan Blue Diamond. Piringan hitam itu mudah didapatnya sebab ia bekerja di KLM yang sering mendapat kiriman dari saudaranya di Belanda.
Pengaruh Belanda atau Indo yang masih kental di masyarakat Indonesia adalah berupa panggilan, seperti Opa, Oma, Oom, Tante, Zus, Mami, Papi, dan Broer. Atau pada kata ganti diri, seperti Ik (e) dan Jij.
Masyarakat Indo di Jakarta, dapat diterka penghasilannya dari tempat tinggalnya. Indo kaya yang masih tersisa tinggal di Menteng Buurt, Tamarinde Laan, Laan Trivelli (daerah Tanah Abang II dan III), Kebon Sirih, Kebayoran Baru, dan Kerkstraat atau Polonia. Sedangkan kelas menengah ke bawah tinggal di sekitar Petojo, Kemayoran, Sawah Besar, Kramat dan Manggarai. Sementara mereka yang paling bawah menempati daerah perkampungan.
Lelaki Indo kelas menengah ke bawah suka mengenakan kalung dan rantai gelang emas. Kebiasaan itu kemudian sering ditiru oleh para pemuda Ambon dan Menado. Sebagai warga minoritas, para Indo saling kenal lewat acara kekerabatan, seperti arisan yang di dalamnya pasti dihidangkan makanan khas, yakni Bradenbun Soup, Erten Soup, Soup Makaroni, Perkedel/Kroket, Susis Brot, dan Olie Bollen.
Pernah dikatakan oleh Tjalie Robinson, pengarang Indo dan pendiri sekaligus redaktur majalah Tong-Tong (sekarang menjadi Majalah Moesson), bahwa masyarakat Indo sebagai warga minoritas dan marginal tidak dapat membentuk karakter budayanya, seperti kebudayaan Mestizo di Amerika Latin. Tetapi anggapan demikian tidak sepenuhnya benar sebab secara diam-diam subkultur mereka tetap bertahan. Bahkan sampai sekarang menjadi acuan gaya hidup bagi kaum kelas menengah perkotaan yang meneruskan dan meniru kebiasaan mereka.
Kebalikan dari pendapat Tjalie Robinson, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Jean Gelman Taylor dalam bukunya Kehidupan Sosial di Batavia (2009), bahwa khususnya di Batavia sejak kota itu dikembangkan oleh para imigran Belanda, telah terbentuk suatu kebudayaan Mestizo yang merupakan hasil campuran dengan kebudayaan masyarakat setempat yang juga beragam. Kebudayaan ini menguat pada periode pemerintahan VOC dan menurun drastis pada periode pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Salahsatu penyebabnya, adalah dibatasinya ruang gerak sosial dari masyarakat Mestizo ini pada periode abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Ditambahkan olehnya bahwa kebudayaan itu berakhir dan menghilang sejak kemerdekaan Indonesia.
Tetapi, pendapat itu lagi-lagi tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya budaya Mestizo itu tetap ada pada sebagian bawah sadar masyarakat Indonesia, khususnya generasi angkatan awal abad ke-20 atau generasi yang pernah mendapat pendidikan Belanda. Bahkan budaya Mestizo secara tidak langsung telah membentuk dan menjadi bagian dari budaya Indo (nesia) itu sendiri sampai sekarang.
Sisa Indo generasi tahun 1950-an mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit. Tetapi keturunan generasi Indo tahun 1970-1980-an sampai sekarang masih dapat dilihat dari penampilan mereka yang tidak jauh-jauh dari arena hiburan, khususnya yang banyak tampil di kaca televisi, sebagai artis sinetron.
Dulu istilah Indo atau blasteran ditujukan kepada orang hasil dari kawin campur yang entah ibu atau bapaknya berasal dari Belanda atau paling tidak berkulit putih. Akan tetapi sekarang sudah banyak orang Indonesia kawin campur dengan berbagai bangsa, yang bukan saja berkulit putih.
Khusus di Jakarta tahun 1990-an akhir tampak marak kedatangan imigran dari Benua Afrika. Sebagian mereka berprofesi sebagai pedagang dan sebagian lagi berprofesi sebagai pemain bola profesional. Di antara mereka sudah banyak yang kawin campur dengan perempuan Indonesia. Bisa jadi istilah Indo atau Kreol juga dapat ditujukan nantinya kepada anak-anak mereka.
Dikutip atas izin penerbit Masup Jakarta dari Pasar Gambir, Es Shanghai, dan Komik Cina karya Zeffry Alkatiri, hlm. 145-149.
Lebih jauh baca:
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Tanah Abang Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Batavia Kehiduapan Masyarakat Abad XVII karya Hendrik E. Niemeijer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505
