Cerita-cerita pendek dalam Cerita dari Jakarta bertanda tahun 1948 sampai 1956. Inilah awal bangsa Indonesia mewarisi dan lalu mengelola metropolis, ibukotanya, sendiri. Soal-soal yang tadinya tidak nampak menjadi nampak: kampung yang jorok, ilusi modernitas, disilusi dengan migrasi dari desa ke kota, pelacuran, ketergusuran, pengangguran, mimpi, harapan dan kekecewaan pasca-kolonial. Pram menampakkannya melalui sejumlah tokoh dan karakter yang tidak biasa, yang melaluinya ia memaparkan lapisan-lapisan realitas dengan kekayaan konteks partikular dan sekaligus mempertajam soal-soal universal manusia.
Keragaman karakter yang dipilihnya sungguh membuat sesak: mulai dari pelacur jalanan, kuli, burjuasi, jongos dan babu, seniman, Arab, petualang perempuan dan laki-laki, penemu-pengusaha boneka yang sukses, preman (debt collector) sampai politikus pahlawan revolusi. Kepadatan karakter, kisah, persoalan, perspektif, pandangan dan pengalaman hidup dalam ruang kota yang ‘terbatas’ ini sendirilah yang membuat buku ini menjadi ‘metropolitan’, mengikuti definisi dari Arsitek Rem Koolhaas. Buku ini pada dirinya sendiri adalah ‘Jakarta’ di atas meja—portable!
Lima dari kumpulan tigabelas cerpen ini mengambil tempat dalam ruang yang relatif sangat sempit, yaitu hanya sebagian Jakarta Pusat sekarang: seputar Lapangan Monumen Nasional, Menteng, Gambir, dan Tanah Abang. Itu saja! Tokoh-tokohnya adalah Aminah pelacur di Frombergpark (bagian utara Lapangan Monas sekarang, di muka Gedung Departemen Dalam Negeri) dalam ‘Berita dari Kebayoran’; dua penganggur yang mengelilingi Lapangan Monas dalam ‘Ikan-ikan yang terdampar’; Pram sendiri dan ‘Sang Djibiril’ di kampung Kebun Djahé Kober dalam ‘My Kampung’ (ini diambil dari kumpulan terjemahannya yang terbit kemudian pada 2005, Tales From Djakarta); kuli pengangkut bernama Hasan di seputar Stasiun Gambir dalam ‘Gambir’; dan Dokter Hewan Suharko di Menteng dalam ‘Nyonya Dokter hewan Suharko’. Apakah ruang-ruang Jakarta telah memberikan inspirasi kepada Pram dan mempengaruhi karakter para tokohnya?
Ironi Urbanisasi
Dalam ‘Berita dari Kebayoran’, tergambarkan apa yang kini berulang: pembebasan lahan oleh pemerintah yang mengakibatkan Aminah tersingkirkan dari keluarga dan kampung Kebayoran ke Jakarta menjadi pelacur. Pada bulan Januari 1950 Kebayoran Baru memang sedang dibebaskan oleh pemerintah. Sebagian besar adalah kampung, kebun dan sawah, belum terhubungkan oleh jalan aspal ke Jakarta, apalagi oleh Jalan Thamrin-Sudirman! Yang ada baru hubungan melalui Tanah Abang/Slipi. Kebayoran Baru dirancang antara lain oleh M. Soesilo, perancang kota pertama Bangsa Indonesia, hanya berbekal foto udara, tanpa peta teresterial yang lengkap. Ironi urbanisasi digambarkan getir di akhir cerita. Ketika Aminah dalam keadaan sekarat dibawa pulang melewati deru buldoser, traktor dan truk pengangkut kayu, batu, pasir dan semen ke kampung yang selalu diinginkannya kembali sebagai ‘surga’, para kerabatnya justru sedang menuju Jakarta. “Kami pergi ke kota. Kamu ke Kebayoran, ‘kan?”
Penerangan jalan dan taman dengan listrik masih mewah, sehingga hanya bagian Decapark yang dekat Istana yang diberi lampu. Di seberangnya, pada tempat Gedung Makamah Agung sekarang, berdiri Restoran Yen Pin yang mewah dan terang benderang. Maka, menghindari terang, Aminah hanya perlu pindah sedikit ke Timur, ‘tidak lebih dari dua ratus limapuluh meter dari pagar istana’, ke Frombergpark, kira-kira mulai di depan Jalan Veteran 2 sampai persimpangan ke Medan Merdeka Timur dan Veteran 1 sekarang.
Baca Juga:
- Kisah Setangan Kain Tutup Kepala Khas Betawi
- Kenangan Gaul dengan Orang Indo
- Sekolah Campuran Orang Kaya dan Orang Kampung di Jakarta
Tempat Aminah mandi kemungkinan besar adalah kanal di sepanjang Jalan Pos, setelah ia melewati Jalan Veteran 1. Air di kanal ini meskipun disebut berwarna ‘kekuningan’, belumlah kotor berbahaya seperti sekarang, karena partikel lumpur dalam air bukanlah sesuatu yang mesti menimbulkan penyakit. Dalam foto-foto dari masa yang sama, kanal tersebut dan juga Molenvliet (di Jalan HayamWuruk/Gajah Mada) masih dipergunakan secara massal sebagai tempat cucian umum. Padahal, Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada sendiri sudah mulai macet dengan kendaraan bermotor.
‘My Kampung’ adalah Kampung Kebon Jahe Kober di seberang Kantor Walikotamadya Jakarta Pusat sekarang, di belakang Jalan Abdul Muis, bersebelahan dengan kompleks Paspampres. Masih ada, meskipun tinggal separoh. Hanya ‘limaratus meter dari istana’, lokasinya begitu dekat dengan tampak muka kota yang modern, namun tidak tersentuh bahkan oleh politik etik Belanda sebelumnya, atau telah kembali rusak oleh arus urbanisasi yang mendadak sontak setelah revolusi 1945. Kepadatannya sebenarnya tidak tinggi. Menurut perkiraan Pram ada 900 orang di dalam 4 Ha, jadi 225 jiwa per ha. Perumahan dan pepohonan yang sangat rapat mencegah tembusnya sinar matahari ke dalam rumah.
Sekarang tidak lagi ada pohon besar, tetapi pohon perdu masih rimbun. Jalan setapak pun telah dikeraskan dengan semen, mungkin oleh program perbaikan kampung di tahun 80an. Kondisi yang sama dapat juga dirasakan di kampung Kebon Sirih (sisa pembebasan lahan oleh grup Bimantara) atau Kali Pasir di Cikini, misalnya. Kematian karena penyakit menular merupakan gambaran yang akurat bukan hanya mengenai kampung-kampung Jakarta, tetapi juga kota-kota besar lainnya seperti Surabaya dan Bandung, dulu maupun sekarang. Penyair Wiji Thukul, misalnya, menggambarkan kampung di Solo (atau Surabaya?) di akhir 80an dalam kumpulan Aku Ingin Jadi Peluru (2000), teristimewa sajak ‘Suara dari Rumah-rumah Miring’ dan ‘Kampung’.
Flânerie seputar Taman Kota dan Jalur Khusus Sepeda
Dalam ‘Ikan-ikan yang terdampar’ tokoh-tokohnya menghabiskan seluruh cerita 29 halaman dengan berdialog sambil jalan-jalan tanpa tujuan mengelilingi Lapangan Monas sekarang. Suatu bentuk flânerie yang mengingatkan kita akan Walter Benjamin. Tetapi bukan sendirian, melainkan berduaan – suatu keakraban kelamin sejenis khas Indonesia!
Mula-mula salah satu dari mereka keluar dari sebuah paviliun, ialah sebuah bentuk hunian sewa berupa bangunan kecil yang menempel di samping rumah induk. Bentuk ini muncul di Gambir sejak awal abad ke-19 untuk memenuhi kebutuhan para pekerja atau pemilik perkebunan (planters) yang beberapa kali setahun harus mengunjungi Jakarta setiap kali selama beberapa minggu untuk mengurus ekspor-impor. Letak paviliun itu di Secretariat Street atau Secretarieweg, yaitu Jalan Veteran 3 sekarang. Darinya orang dapat melihat dinding istana, karena belum terhalang oleh gedung Dewan Pertimbangan Agung sekarang. Mereka kemudian menuju Decapark di seberangnya, di sebelah Barat Frombergpark, tempat Aminah dari Kebayoran berpraktik, menyusuri Jalan Medan Merdeka Barat, dan kemudian Medan Merdeka Selatan menuju Gambir Square.
Yang terakhir ini tidak jelas apakah tempat bekas Pasar Gambir di muka Jalan Sabang/Wisma Antara, belakang Stasiun Gambir, atau kawasan di sebelah Selatan Decapark yang pernah di sebut Gambirpark. Dari cerita ini kita mengetahui ramainya Lapangan Gambir maupun Decapark dan Frombergpark sebagai tempat pelacuran. Juga terdapatnya jalur khusus sepeda dengan bangku-bangku beton ditepinya sepanjang setidaknya Jalan Medan Merdeka Selatan; serta masih adanya rel trem! Adanya jalur khusus sepeda, yang dipakai baik oleh sepeda maupun becak, terpisah dari ‘jalan utama’ untuk kendaraan bermotor, juga disebut dalam ‘Gambir’.
Orang-orang biasa tiduran di bangku beton. Foto-foto masa yang sama juga menunjukkan orang cukur di bawah pohon mahoni yang besar. Sedang penjual makanan keliling, seperti tukang sate, merupakann hiasan siang maupun malam. Jalan-jalan di dalam dan sekitar Gambir digunakan untuk ujian SIM.
Semua itulah latar belakang ‘Ikan-ikan yang terdampar’, suatu karya dengan bentuk luar biasa, yang melalui dialog terus menerus dan intensif antara dua orang flaneur menjelajah begitu banyak masalah dari mereka yang hidup dalam suatu masa transisi yang membingungkan serta ilusif. Orang-orang yang berjuang tetap menjadi ‘subyek’ dalam arus modernisasi, di dalam ruang lapangan (waktu itu belum ada Monumen Nasional) yang begitu besar, melewati istana presiden, departemen pertahanan, radio republik Indonesia dan unsur-unsur ‘negara baru’ lainnya. Datangnya ‘International Style’
‘Nyonya Dokter hewan Suharko’ memberi kita kesempatan mengintip isi rumah seorang ‘bourgeois’, seorang dokter hewan yang kemudian menjadi politikus, mungkin seorang menteri (kepala departemen). Sebuah Morris adalah mobilnya. Perabotannya dari kayu bermutu bergaya ‘antik’, mungkin dengan pengaruh gaya ‘art and craft movement’, terdiri dari dresser (lemari terdiri dari deretan/susunan laci dengan cermin), sitje (set ruang duduk waktu itu: meja, sofa, dan tiga kursi, menurut keterangan penerbit), jam berdiri yang besar (grandfather clock), meja makan, radio besar dan pemutar plat musik merk Philips di ruang tamu, meja kerja, lemari, barang keramik dan porselin dari Itali dan Cekoslovakia, kain tirai dari Mesir, bangku berlapis kulit dari Maroko, tulisan hias gulungan (scroll) dari Jepang dan bordiran dari Cina.
Lebih dari itu, cerita Doctor Suharko juga adalah mengenai datangnya ‘International Style’ di paroh kedua tahun 1950an. Isteri keduanya, Kiki, adalah generasi ‘International Style’, yang mereduksi modernisme menjadi replikasi gaya garis dan bentuk. Ia menggantikan satu demi satu perabotan kolonial yang dipilih isteri pertamanya Cory, dengan barang-barang pseudo-modern, mengiktui ‘trend’ majalah wanita terbaru. Grandfahter clock diganti dengan jam meja rancangan mutakhir, hiasan-hiasan dari kawat, patung kecil (maquette) dari tanah liat, beludru dan jerami – semuanya ‘lebih praktis, modern dan murah lagi’, kata Kiki. Lemari kayu bergaris dan bentuk klasik diganti dengan lemari dengan pipa baja dan krom. Radio Philips diganti dengan stereo-set Grundig. Piano juga menghilang, diganti oleh sepeda motor 150 cc. Sedangkan kandang kalkun di halaman belakang telah dibongkar untuk membangun lapangan badminton. Dinding rendah di veranda depan, yang tadinya berhiaskan bunga-bunga plastik, kini diganti dengan akuarium berisi segala macam ikan hias.
Beberapa cerpen lain memberikan gambaran tidak langsung mengenai tata kota Jakarta. Pasar Baru masih merupakan pusat perbelanjaan terpenting. Dalam ‘House’ digambarkan persoalan sewa-menyewa rumah di Jakarta. Tokohnya tipikal: Arab, yang memang menguasai bisnis persewaan tanah dan rumah di Jakarta. Tidak disebutkan lokasi persisnya, tetapi dapat diduga Tanah Abang, Senin, Kramat, atau Jatinegara. Cilincing masih merupakan pantai hiburan pilihan (dalam ‘Jongos + Babu’). Gedung Societeit Concordia (sudah tidak ada, dulu di Lapangan Banteng) adalah panti perwira yang pernah dipergunakana Jepang, yang memiliki ruang bawah tanah yang dipergunakan sebagai kamar-kamar pribadi untuk ‘kencan’. Ada jendela sedikit di atas tanah, yang menampilkan cahaya dan suara genit ataupun terpaksa dari kamar-kamar itu. Akhirnya, disilusi atas migrasi dari desa ke Jakarta dalam cerita ‘Ketjapi’. “Djakarta! Djakarta! Djakarta, tempatnya semua orang pelarian”, lamun Lelaki Kecapi, dimana orang ‘dicangkokkan ke wilayah baru’…dari Negeri Lembah dan Gunung, tulis Pram.
Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Marco Kusumawijaya,
Jakarta: Metropolis Tunggang Langgang, Gagas Media, Jakarta, 2004.
Lebih jauh baca:
Pramoedya A.Toer: Dari Budaya ke Politik 1950-1965 karya Savitri Scherer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Pram dan Cina karya Goenawan Mohamad, Hong Liu, Sumit Kumar Mandal yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta 1950-1970 karya Firman Lubisyang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Profil Etnik Jakarta karya Lance Castles yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee atau ke www.komunitasbambu.id serta telpon ke 081385430505