Merk mobil di Jakarta pada 1950 terbanyak adalah buatan Amerika seperti Ford, Dodge, Chrysler, Studebaker, Oldsmobile, dan Buick. Saya masih hafal betul merek-merek ini, karena waktu remaja salah satu permainan yang sering kami lakukan ketika bermain di jalan ialah menebak mobil merek apa yang akan lewat.
Sejak zaman kolonial Belanda sudah ada pabrik perakit mobil General Motors yang merakit mobil-mobil buatan Amerika yang terletak di samping Pelabuhan Tanjung Priok. Selain mobil buatan Amerika, ada juga mobil buatan Inggris seperti merek Austin (terutama untuk kendaraan umum yang dikenal sebagai opelet sehingga sering juga disebut orang sebagai ostin, mengambil dari mereknya), Morris, dan Land Rover.
Selain itu juga ada buatan Italia merek Fiat (terkenal Fiat kodok) dan buatan Jerman seperti Volkswagen (terkenal VW kodok atau beetle, agen atau distributornya waktu itu ialah NV Piola di Kramat Raya, milik Keppler Panggabean, kakek Tika Panggabean (satusatunya personel perempuan Project Pop) dan Opel. Merek Mercedes dan BMW relatif masih jarang waktu itu.
Baca Juga:
- Kisah Setangan Kain Tutup Kepala Khas Betawi
- Ujungan Ngadu Rotan Orang Bekasi
- Jago dan Jagoan Betawi Suatu Tinjauan Historis
Sedangkan mobil buatan Jepang, seingat saya belum ada sama sekali pada 1950-an. Mobil buatan Jepang mulai ada sekitar sebelum Asian Games 1961, dimulai dengan mobil merek Mazda yang bentuknya seperti kotak sabun dan Bemo roda tiga. Mobil buatan Jepang mulai merajalela setelah zaman orde baru akhir 1960-an— dan berbagai produk barang Made in Japan lainnya.
Sebelum 1960-an, produk-produk Jepang masih dianggap mempunyai kualitas yang rendah. Misalnya, ketika mobil Mazda kotak sabun baru saja datang di Jakarta, ada lelucon yang dibuat orang mengenai mobil itu. Katanya, waktu mobil Mazda ini terserempet sehingga catnya mengelupas, maka terlihatlah tulisan Palm Boom, yaitu merek mentega. Seolah-olah badan Mazda ini dibuat dari bekas-bekas kaleng mentega.
Toko-toko atau distributor mobil yang banyak dijumpai di Jakarta sesudah 1970-an masih jarang. Hanya ada di beberapa jalan utama tertentu saja seperti di Kramat Raya dan Menteng Raya. Toko-toko onderdil mobil juga sedikit sekali. Bengkel-bengkel mobil pun belum banyak terlihat, apalagi model bengkel ketok magic belum ada sama sekali di masa itu.
Mobil-mobil waktu itu tidak ada yang mempunyai AC. Teknologi AC mobil belum dikenal pada 1950-an. Umumnya kalau mobil meluncur, maka semua jendela kacanya dibuka seluruhnya atau separuh agar angin masuk sehingga tidak panas. Waktu itu orang belum takut naik mobil dengan kaca jendela terbuka. Masih aman, hampir tidak pernah ada penjambretan atau penodongan di jalan. Jendela kaca ini dibuka dan ditutup secara manual, diputar pada gagang putarannya.
Laminasi kaca mobil sehingga gelap untuk mengurangi sengatan matahari yang populer sekali sesudah 1970-an juga belum dikenal orang. Mobil juga belum mempunyai lampu sein kedap-kedip untuk tanda membelok. Kalau mobil mau membelok, tanda diberikan dengan mengeluarkan tangan melalui jendela mobil, atau menggunakan sein khusus yang ditaruh di kanan kiri samping mobil yang akan keluar mengacung bila dinyalakan dari dalam mobil.
Mobil-mobil umumnya juga belum mempunyai radio, apalagi radio kaset. Jadi kalau mau sedikit hiburan, ya menyanyi saja sendiri atau bersama penumpang yang lain, atau bersiul-siul.
Di jalan-jalan utama tertentu seperti Jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk, Gunung Sahari, Pasar Senen, Kramat, Matraman, Jatinegara, dan Sudirman banyak dilalui opelet yang waktu itu merupakan sarana transportasi umum utama di Jakarta. Misalnya, ada rute opelet yang berjalan dari Jatinegara hingga ke Glodok, atau dari Harmoni ke Blok M Kebayoran Baru.
Opelet ini mirip seperti angkot sesudah 1970-an, dapat memuat kira-kira 10 penumpang. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Opelet umumnya dari mobil sedan buatan Inggris merek Austin yang di bagian belakang kursi sopir dimodifikasi—biasanya dari kayu—sehingga dapat memuat penumpang yang duduk berjejer menyamping berhadaphadapan. Umumnya opelet ini sudah tua.
Taksi mulai muncul setelah akhir 1960-an ketika mobil buatan Jepang banyak masuk. Yang ada seperti ”taksi” ialah mobil-mobil biasa milik perorangan yang dapat disewa dengan tawar-menawar. Tetapi jumlahnya sedikit sekali. Bus-bus kota masih beroperasi di permulaan 1950-an, kebanyakan sisa peninggalan zaman Belanda. Kalau tidak salah masih dikelola oleh Bataviasche Vervoer Maatschappij (BVM). Barulah pertengahan 1950-an dikelola oleh Perusahaan Pengangkutan Daerah (PPD). Jumlahnya relatif masih sedikit dan kurang nyaman. Pengoperasian bus zaman itu juga menggunakan lin-lin atau jalur-jalur, seperti lin 1, lin 2 dan seterusnya.
Sepeda motor di Jakarta pada 1950-an juga jarang sekali. Merek yang ada umumnya bikinan Amerika dan Eropa, seperti Harley Davidson— sudah populer dan ada klubnya sejak zaman Belanda, BSA, BMW, Jawa— buatan Cekoslowakia, Ducati atau Mobilette dan Solex, lebih mirip sepeda yang diberi motor. Sepeda motor buatan Jepang seperti Honda, Yamaha, dan Suzuki yang sejak 1960-an menyerbu masuk dan merajai jalanan Jakarta belum ada di era 1950-an. Apalagi sepeda motor buatan Cina yang baru masuk Jakarta akhir 1990-an.
Mengendarai sepeda motor waktu itu umumnya tidak menggunakan helm. Keharusan menggunakan helm belum berlaku waktu itu. Saya kira baru menjadi keharusan pada 1970-an, diprakarsai oleh Hugeng Iman Santoso sebagai Kapolri di tahun 1970-an. Bengkel-bengkel motor, tukang bensin eceran yang menjamur sesudah 1970-an hampir tidak kelihatan.
Di Jakarta pada 1950-an, jarang sekali terjadi kemacetan atau tabrakan. Sebab utamanya karena jumlah kendaraan bermotor yang sedikit. Padahal, di perempatan-perempatan jalan belum dipasang lampu pengatur lalu lintas. Paling-paling hanya ada polisi lalu lintas yang berdiri di tengah perempatan jalan sebagai pengaturnya, biasanya hanya dengan isyarat tangan dan menyemprit saja. Ini pun hanya di perempatan jalan yang dianggap ramai atau penting saja.
Lampu lalu lintas baru ada satu atau dua saja di seantero Jakarta pada 1950-an. Yang saya tahu pasti yaitu di perempatan Jalan Sabang dan Kebon Sirih. Lampu lalu lintas mulai banyak dipasang pada permulaan 1970-an ketika Ali Sadikin menjadi gubernur Jakarta.
Dikutip dengan seizin penerbit dari buku Jakarta 1950-1970an karya Firman Lubis, halaman 71-73. Bukunya bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Lebih jauh lihat buku:
Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
