Sukarno dan Majalah Playboy

0
3919
Merilyn Monroe—aktris molek yang bikin Sukarno tak bisa menyembunyikan antusiasmenya ketika pada 1956 akan bertemu dalam kunjungan ke Amerika—pun model sampul perdana Playboy yang terbit pada 1953

Tak salah lagi orang pertama dan mungkin yang terakhir menyebut berkali-kali nama majalah dewasa Playboy, seraya mempertontonkannya dalam acara resmi kenegaraan adalah Sukarno. “Saudara-saudara, ini loh saya bawa Playboy,” kata Sukarno ketika berpidato di depan 1500 Pemuda Marhaenis di Istana Negara Jakarta pada 20 Desember 1966.

Sebagai sosok yang sohor dikenal pemuja perempuan molek boleh jadi Sukarno senang majalah Playboy. Apalagi ada cerita Yvonne de Carlo bintang bahenol Amerika yang dikagumi kecantikannya pernah juga berfose untuk majalah itu. Saking kagumnya bahkan Sukarno bilang kepada anaknya, Guntur, bahwa jika ada lagi agen CIA yang tertangkap setelah Allan Pope, dia tidak akan rela kalau hanya ditukar dengan dibuatkan jalan By Pass, tetapi minta Amerika menukarnya dengan Yvonne.

Tambah lagi Merilyn Monroe—aktris molek yang bikin Sukarno tak bisa menyembunyikan antusiasmenya ketika pada 1956 akan bertemu dalam kunjungan ke Amerika—pun model sampul perdana Playboy yang terbit pada 1953. Boss Playboy Hugh Hefner dan Sukarno sama pengagum Merilyn. Sukarno seperti Hefner percaya selain bukan suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang mengagumi perempuan cantik, tetapi berada di sekeliling mereka pun membuat terus muda. Lantas apa lantaran itu Sukarno memerlukan diri memperlihatkan Playboy buatan Hefner ke panggung kenegaraan yang begitu mulia?

Baca Juga:

  1. Duka Tak Terkira Fatmawati di Hari Wafat Sukarno
  2. Sukarno Suka Banyak Anak Tak Suka KB
  3. Bung Hatta di Hari-Hari Terakhir Bung Karno

Tidak. Berani sumpah Sukarno membawa Playboy yang disebutnya “majalah orang kaya Amerika yang suka foya-foya wanita” ke panggung pidato kenegaraan bukan ingin kasih lihat seperti apa perempuan bahenol itu, tetapi karena mau menunjukkan kepada hadirin “mukanya E.H. Hunt”. Everette Howard Hunt Jr atau sohor sebagai E. Howard Hunt adalah agen legendaris CIA sepanjang 1949–1970. Spesialisasinya peperangan politik: trik kotor, sabotase dan propaganda. The New York Time menyebutnya sosok amoral tetapi paling banyak tahu rencana busuk Amerika seantero jagad. Hunt terlibat berbagai operasi keji pemberontakan dan penggulingan kekuasaan yang tak sejalan dengan Amerika, seperti di Guatemala, Iran, Kuba.

Hunt pernah menjadi asisten boss CIA, Allen W. Dulles. Allen adalah pemegang peran paling penting dan amat menentukan dalam menjalankan “containment policy” atau kebijakan agresif melawan komunisme Presiden Dwight D. Eisenhower. Lantaran kebijakan semacam itu menuntut kerahasiaan, Presiden Eisenhower dan Menteri Luar Negeri John F. Dulles yang adalah kakaknya banyak bergantung pada CIA. Di bawah kepeminpinan Allen Dulles itulah CIA menjadi institusi penting yang paling menentukan berbagai kebijakan Amerika terhadap Indonesia dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.

Riset sejarah Audrey dan George McT Kahin mengungkapkan, “laporan-laporan CIA tendensius  dan sebenarnya tidak bisa diandalkan sebab isinya lebih banyak cipoa”. Cilakanya laporan CIA itu lebih dipercaya Eisenhower ketimbang laporan Kedubes Amerika dan Atase Militer mereka di Jakarta. Alhasil terjadilah serentetan operasi kotor intelejen, seperti rencana pembunuhan Sukarno untuk mengagalkan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung 1955, main politik uang satu juta dolar ke partai Islam untuk mengalahkan partai Nasionalis Komunis dalam Pemilu 1955, mendukung pemberontakan PRRI di Sumatera dan Sulawesi pada 1958, juga DI/TII serta masih di tahun yang sama percobaan pembunuhan Sukarno di Cikini.

“Jangan bermain api di Indonesia,” begitu Sukarno memperingatkan Eisenhower pada 2 Mei 1958 karena pesawat pembom lengkap pilotnya yang bantu pemberontak terciduk di Ambon. Tetapi, Sukarno kemudian meninggalkan jalan konfrontatif kepada Eisenhower. Ia ingin mengoreksi keliru pandang Eisenhower dengan jalan lain. Pada 1960, ia ke Wasingthon untuk menemui Eisenhower. Niatnya agar presiden itu lebih kenal seraya insyaf bahwa dia dan Indonesia tak seperti yang dilaporkan CIA. Indonesia dan Amerika dapat bersahabat asalkan—seperti pesan Dubes Amerika Merle Cochran—“tanpa terlalu memaksa Indonesia agar masuk kubu blok barat”. Tetapi, Eisenhower malah melukai hati Sukarno. Sudah tidak menjemput di bandara ditambah lagi membiarkan Sukarno menunggu sejam tanpa kejelasan di gedung putih. Eisenhower pun tidak meminta maaf atas sambutan yang kurang semestinya itu.

Apa Sukarno kapok? Tidak. Ketika mendengar kabar Eisenhower akan berkunjung ke Manila, Filipina, ia mengundangnya ke Jakarta. Tetapi, Eisenhower menolak. “Boleh dikata dia sudah berada di tepi pagar rumahku, dia menolak berkunjung,” kata Sukarno kepada Cindy Adam yang menulis biografinya. Sukarno menuturkan selama ia di Amerika pembicaraan dengan Eisenhower soal politik dan hubungan bilateral Indonesia-Amerika tidak produktif. Sebab itu Sukarno pindah membicarakan artis-artis cantik dan film. Dalam hal ini Eisenhower pun bukan lawan bicara yang menyenangkan.

Haluan politik berubah. Eisenhower diganti John F. Kennedy. Seorang dandy dan pengagum perempuan cantik. Sama terpikat pula pada si bahenol Merilyn. Terlebih dari itu semua itu Sukarno melihat ada keterbukaan Kennedy untuk memahami sikap politiknya. Tentu tidak gampang sebab Sukarno juga tahu di dalam Gedung Putih berperang dua kubu antara yang ingin bersahabat dan bermusuhan dengannya. Belum lagi kepentingan sekutunya, sebut saja Inggris. Kennedy menggelontorkan bantuan ekonomi, mendukung pengembalian Irian, tetapi sebaliknya dalam konfrontasi dengan Malaysia.

Yang terakhir itu mengecewakan Sukarno. Suasana jadi genting. Tetapi, dalam kecewa yang bikin hubungan tegang itu Duta Besar Amerika Howard Jones dan kawan-kawannya di Kementerian Luar Negeri Amerika Roger Hilsman, W. Averell Harriman, dan Michael Forrestal mendorong Kennedy menerima undangan Sukarno agar datang ke Indonesia. Ini akan meredakan kegentingan dan menyelamatkan Sukarno berpaling ke blok Komunis. Kennedy menyambut positif usul tersebut dengan syarat Sukarno mau menyelesaikan secara damai perselisihan dengan Malaysia dan menarik kekuatan militernya dari perbatasan Kalimantan. Ia akan ke Jakarta sekitar April atau Mei 1964.

Tetapi, semua itu tinggal rencana. Pada 22 November 1963, Kennedy dibunuh di Dallas. Padahal pada saat yang sama Jones sedang bersiap-siap kembali ke Jakarta untuk menyampaikan rencana kunjungan Kennedy kepada Sukarno. “Peluru si pembunuh telah mengakhiri rencana kami,” tulis Jones dalam sebuah kenangannya pada Kennedy. Siapakah yang membunuh Kennedy sesungguhnya?

Investigasi pemerintah menyebut Lee Harvey Oswald, tetapi mayoritas publik tidak mempercayai. Kemungkinan terdapat konspirasi di dalamnya. Salah satu yang paling ramai dibicarakan adalah Hunt yang disebut Sukarno sambil memperlihatkan majalah Playboy itu yang dianggap paling tahu konspirasi pembunuhan Kennedy. Ia pada 2005 memberikan kesaksian bagaimana CIA membuat plot membunuh Kennedy melalui kode operasi “The Big Event”.

Hunt menggambar bagan di mana Lyndon B. Johnson ada di puncak operasi CIA itu. Johnson adalah yang paling beruntung atas kematian Kennedy. Keuntungan ini juga mengalir ke Indonesia terutama Angkatan Darat karena Johnson—seperti diungkap Baskara T Wardaya dalam disertasinya tentang konflik perang dingin—lebih memilih menyokong Angkatan Darat daripada Sukarno. Ia senang sekali kala mendengar pada akhir November 1963, Jenderal A.H. Nasution yang diutus mewakili Sukarno ke pemakaman Kennedy. Nasution dengan antusias diterima Johnson di tengah kesibukan hari-hari pertamanya sebagai presiden. Ia menyatakan ingin menyokong Angkatan Darat agar semakin kuat melawan PKI serta Sukarno ketika persaingan semakin meruncing.

Sukarno menyebut Hunt tidak sebagai agen CIA, melainkan “seorang Amerika multimiliuner yang ngaku terang-terangan ikut membantu usaha pendongkelan Presiden Sukarno”. Masih dengan majalah Playboy di tangannya, Sukarno sambil menunjuk-nunjuk  foto wajahnya Hunt di majalah itu membacakan ke hadirin: “ini loh, saya baca pengakuan Hunt sendiri; I have made contribution to person, I thought they were running against something pretty bad. I donate to individual rather than to groups.”

Naiknya Playboy ke atas panggung pidato kenegaraan Sukarno itu sesungguhnya terkait dengan merebaknya tuduhan politis bahwa ia terlibat G30S. Sukarno dengan Playboy itu ingin menyatakan bahwa yang disebutnya “subversi neokolonialisme dan imperialisme (nekolim)” dalam pidato Nawaksara sebagai salah satu sebab G30S di hadapan Sidang Umum MPRS yang diketuai Jenderal Nasution bukan isapan jempol. “Nah, ini saudara-saudara, saya katakan supaya kita lebih waspada, jangan kita gampang berkata, there is nothing about Hunt, tidak ada apa-apa,” kata Sukarno.

Selang sebulan setelah menunjukkan Playboy di pidatonya, pada 10 Januari 1967, Sukarno kembali berpidato dan mengingatkan tentang G30S itu “pertemuannya Nekolim dengan oknum-oknum yang tidak benar”. Itulah pidato Pelangkap Nawaksara yang direspon oleh MPRS dengan memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Soeharto sebagai penggantinya pada 12 Maret 1967.

Kini, selang 50 tahun lebih setelah Sukarno mempertontonkan Playboy pertanyaannya masih juga mengiang,”siapa yang terima uang dari Hunt?” Sejarawan Asvi Warman Adam pernah menyebut ketika arsip politik luar negeri Amerika 1964–1968 dibuka untuk umum (de-classified) diketahuilah ada kucuran dana sebanyak Rp 50 juta (?) kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu melalui perantara Adam Malik.

Tetapi, apakah hanya satu nama saja? Hefner si boss Playboy pada September 2017 lalu meninggal. Selang sebulan setelahnya ada lagi arsip CIA yang dibuka untuk umum. Arsip si Hunt selama di CIA pula yang dibuka. Entah apa koneksi kedua peristiwa ini, kebetulan belaka saja? Entahlah. Tetapi, mungkin peringatan bahwa jika arsip Hunt setelah dibuka tak juga menjawab pertanyaan Sukarno sambil jembreng Playboy itu, maka betapa celaka karena ternyata benar pernyataan Hefner: “kami ingin semua telanjang, termasuk politik, tetapi apa daya sering membuat politik telanjang itu jauh lebih sulit dari menelanjangi perempuan paling cantik sekalipun.”