Di Desa Pasarean, Cibungbulang, Bogor, meletus protes petani yang dipimpin oleh Abdul Hadi (kadang disebut Ki Dulhadi atau Haji Dulhadi) pada 1935, namun tanggal dan bulan peristiwa itu tidak teringat lagi oleh sesepuh di desa tersebut. Awalnya Abdul Hadi menolak menyerahkan sebagian padi miliknya untuk membayar cuke (pajak) kepada tuan tanah partikelir yang menguasai daerah Cibungbulang dan Leuwiliang, J.C.A. Kievits. Ia mengusir petugas pajak dari sawahnya, ketika hendak diroris (dihitung jumlah padi yang harus disetor) untuk dibawa ke gudang tuan tanah di Cimayang.
Pajak yang dibebankan kepada petani memang tidak sedikit, mencakup: (1) membayar pajak 4 gulden tiap orang yang telah menikah; (2) pajak padi sawah setiap panen 20%, tapi praktiknya sampai 50% dan mesti disetor dalam keadaan kering giling lalu diantar ke gudang tuan tanah di Cimayang dengan ongkos sendiri; (3) pajak kirai; (4) pajak pohon kelapa; (5) membayar contingent tiap menebang kayu di kampung; (6) membayar bea tiap memotong sapi atau kerbau dan daging lemusirnya diambil sebelah untuk disetor ke tuan tanah.
Baca Juga:
- Kisah Pangeran Afrika di Bogor
- Alim Ulama Pemimpin Perjuangan di Bogor Barat
- Bogor di Awal Masa Kemerdekaan
Ki Dulhadi mengusir petugas cuke lalu menancapkan bendera merah di Gunung Menyan, pertanda menantang tuan tanah dan mengilhami warga desa untuk menolak membayar pajak. Kievits kemudian meminta bantuan serdadu dari Departemen van Oorlog (Departemen Peperangan) untuk menangkapi para pemrotes di Desa Pasarean. Puluhan warga desa, termasuk ibu-ibu ditangkap dan ditahan sekitar dua minggu, lalu dibebaskan; namun Abdul Hadi dapat meloloskan diri dari penangkapan tersebut dan selalu lolos dari pengejaran.
“Waktu rumahnya dikepung, ia tidak ada di dalam. Tentara hanya menemukan kucing di situ,” terang H. Ujang Damanhuri, yang melihat rombongan tentara melalui rumahnya di Warung Saptu menuju Pasarean di hari penangkapan itu. Ujang mengisahkan bahwa Ki Dul Hadi dikenal sebagai orang sakti. Ia beberapa kali mendengar kesaksian dari Mbah Eli, yang sering bekerja membantu Ki Dul Hadi bahwa kalau hujan Ki Dul Hadi tidak basah kena air. Suatu kali Mbah Eli dan Dul Hadi berjalan sama-sama di waktu malam gelap, Dul Hadi kemudian mengemut jari telunjuknya, kemudian jari telunjuk itu menyala seperti senter kecil.
“Ki Dulhadi bisa menghilang, tidak diketahui oleh musuh,” demikian kata Hj. Jumraeni.
Oleh sesepuh desa, Abdul Hadi diminta pergi demi keselamatan warga yang lain. Ia diantar sampai ke Tanjung Priok, Jakarta; meninggalkan anak dan istrinya. Setelah itu tidak pernah muncul lagi sampai hari ini: tidak diketahui ia tinggal di mana dan wafat di mana.
Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Bogor Masa Revolusi (1945-1950), Sholeh Iskandar dan Batalyon O Siliwangi (2015) karya Edi Sudarjat hlm. 97 Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee dan www.komunitasbambu.id atau kontak langsung ke WA 081385430505
Lebih jauh baca:
Bogor Zaman Jepang 1942-1945 karya Susanto Zuhdi di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta karya Robert Cribb yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.
Nasionalisme dan Revolusi karya George McTurnan Kahin di Tokopedia, dan Shopee.
Bandung Masa Revolusi karya Jhon RW Smaildi Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Sukarno, Orang Kiri, Revolusi dan G30S 1965 karya Onghokham yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.