Depok Heritage dan Politik Memori Kota

0
977
Peringatan Hari Chastelein 28 Juni di Depan Gemeente Depok yang diikuti okeh masyarakat Depok Lama Dan sekitarnya.

Sembari berdiri di depan makam Adolf van der Capellen, seorang kerabat Gubernur Jenderal Godert A.G.P Baron van der Capellen yang menjabat selama 1816–1826, Duta Besar Belanda untuk Indonesia Lambert Grijns berkata: “Saya baru pertama kali datang ke Depok Lama, di sini ada ‘Belanda Depok’ dan masih ada generasi ke-10 anak ruhani Cornelis Chastelein. Ini sangat istimewa sekali.”

Daun kalender menunjuk hari Kamis, 11 November 2021. Lambert di sebuah pemakaman tua ‘Belanda Depok’ di Jalan Kamboja sebelah timur pusat kota Depok Lama yang menjadi jantung Chastelein mengelola tanahnya di Depok yang telah dimulai sejak 1696. Di pemakaman yang berdiri pada 1851 itu, di depan makam seorang elite Belanda yang meninggal 6 April 1888, Lambert tampak bersemangat untuk melibatkan Pemerintah Belanda dengan upaya pembangunan kembali Depok Lama sebagai kawasan bersejarah.

“Ini merupakan tempat istirahat orang-orang yang membawa warisan zaman dahulu dan menunjukkan hubungan yang kuat antara Indonesia dan Belanda,” ucap Lambert. Dari sini arti penting kunjungannya ke Depok pun terangkum. Terutama dalam kata “warisan zaman dulu” dan “hubungan kuat Indonesia dan Belanda” itu. Sebab inilah kunci memahami mengapa gagasan menyelamatkan Depok Lama sebagai kawasan bersejarah di Depok—terutama dari Stasiun Depok Lama ke Jalan Pemuda, Jalan Kamboja sampai Jembatan Panus—berjalan lambat (jika tidak dapat dikatakan sukar diwujudkan).

Baca Juga:

  1. Depok Cagar Alam Pertama Hindia Belanda
  2. Sejarah Listrik dan Cerita Hantu di Depok
  3. Kisah Pangeran Afrika di Bogor

Kata “menyelamatkan kawasan bersejarah” belum sampai satu dasawarsa populer di Depok. Bahkan sampai tulisan ini dibuat kawasan bersejarah yang dikunjungi Lambert itu belum ditetapkan secara resmi sebagai Cagar Budaya. Statusnya masih Objek Diduga Cagar Budaya (OCDB). Alasan yang sering diungkapkan adalah karena Pemerintah Kota Depok baru pada Mei 2019 memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya sebagaimana diamanahkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UUCB).

Cobalah percaya bahwa akar persoalan sesungguhnya bukan di sana. Melainkan pada Pemerintah Kota Depok yang bukan saja abai terhadap situs-situs sejarah di kawasannya, tetapi juga menjalankan politik memori di ruang kota ke satu identitas tertentu. Identitas ini telah disimpulkan Tri Wahyuning M. Irsyam dalam bukunya Sejarah Depok 1950–1990-an: “Depok dengan identitas simboliknya adalah kolonial Belanda dan Kristen, bergeser menjadi identik dengan Islam.”

Sebab itu selama lebih 15 tahun terakhir masyarakat menjadi saksi bagaimana mengenaskan nasib bangunan-bangunan bersejarah warisan kolonial Belanda di Depok. Situs-situs sejarah dari abad 17 sampai 19 dibiarkan hancur. Depok gencar membangun, tetapi diarahkan oleh pemerintahnya sebagai kota tanpa ingatan, tanpa masa lalu. Situs resmi Pemerintah Kota Depok www.depok.go.id membatasi (jika tidak dapat disebut memutus) sejarahnya dengan menyatakan, “berawal dari sebuah kecamatan yang berada di lingkungan Kewedanan wilayah Parung Kabupaten Bogor”. Artinya sejarah sebelum tahun 1949, ketika Kewedanan Parung dimulai, bukanlah merupakan bagian penting sejarah Depok.

Uraian sejarah yang dipilih itu tampak ingin menekankan bahwa proses modernitas di Depok yang dikaitkan dengan pembangunan hunian, institusi pendidikan, perdagangan dan jasa dimulai sejak akhir 1970-an sampai 1990-an. Padahal jika menengok sejarah Chastelein sejak 1696 telah memulai proses pembangunan hunian dan karena ia punya minat besar pada ilmu pengetahuan serta penguatan komunitas dalam arti luas, maka memberi basis bagi tumbuhnya pemerintahan kota otonom yang disahkan melalui Reglement van het Land Depok pada 1862 sampai terbentuknya Gemeente Bestuur Depok pada 1871.

Soal pendidikan sejak 1831 telah berdiri Depoksche Lagere School. Kemudian pada 1886 didirikan Eurepeesche School yang pengajarnya sudah orang Depok sendiri. Bersamaan didirikan kepanduan putri De Blauwe Driehoek yang sebelum dibubarkan Jepang meminkan peran besar penguatan perempuan Depok. Tentu saja akhirnya harus disebut Depok menjadi kawasan pertama yang merancang tata ruang dengan memberi porsi besar untuk sebuah hutan kota. Bahkan pada 31 Maret 1913 hutan ini diresmikan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg sebagai Natuur Monument atau cagar alam pertama di Hindia Belanda.

Perubahan Depok tidak hanya berpusat di Depok Lama, tetapi juga di Cimanggis. Selang 75 tahun setelah Chastelein sebagai pejabat tinggi VOC membuka Depok, datang pejabat lainnya, yaitu Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra. Ia mendirikan landhuis atau pesanggrahan di Cimanggis antara 1775 sampai 1778. Adolf Heuken kronikus sejarah Jakarta terkemuka dalam bukunya Historical Sites of Jakarta mengungkapkan bahwa landhuis itu sebuah warisan sejarah yang luar biasa penting dari segi arsitektur Indis dan usaha membuka hutan antara Batavia dengan Bogor pada abad ke-18. Dari gambar yang dibuat Johannes Rach tergambar keberadaan landhuis memicu munculnya sentra aktivitas baru dengan pendukungnya berupa pasar dengan jalan raya yang distandarisasi luasnya beserta sarana area perhentian yang kelak di masa Daendels menjadi Jalan Raya Pos.

Tetapi, tampaknya warisan sejarah itu semua bukan hal penting atau membanggakan bagi Pemerintah Kota Depok. Dalam periode yang panjang keberadaan landhuis Cimanggis diabaikan dan dilupakan. Keberadaan dan arti penting sejarahnya hanya beredar di kelompok kecil para pecinta sejarah dalam Komunitas Sejarah Depok (KSD). Mereka ini pula yang berjuang pada awal 2018 hingga berpolemik dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memimpin proyek strategis nasional Presiden Jokowi membangun Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di lokasi situs sejarah landhuis Cimanggis. Kampanye penyelamatan landhuis Cimanggis oleh KSD ini pula yang berubah menjadi gerakan masyarakat Depok menuntut pemerintah kotanya memperhatikan situs sejarah dan membentuk segera TACB agar dapat segera memberi payung hukum perlindungan cagar budaya bagi landhuis Cimanggis dan situs sejarah lainnya.

TACB Depok terbentuk dan landhuis Cimanggis pun ditetapkan sebagai cagar budaya pada akhir 2018. Selang dua tahun kemudian pada akhir 2020 rumah itu dipugar, tetapi bukan oleh Pemerintah Depok melainkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Ditjen Cipta Karya. Meskipun semangatnya untuk turut serta berkontribusi pada pelestarian cagar budaya, tetapi hasil pemugaran menunjukkan kerja pemugaran yang kurang menunjukkan memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan teknis pemugaran cagar budaya yang baik dan benar.

Pemanfaatan pasca pemugaran landhuis Cimanggis pun tidak terdengar dibicarakan. Alih-alih membahas tuntutan masyarakat agar dijadikan Museum Sejarah Depok karena kota ini belum punya, malahan yang mencuat pembicaraan tentang rencana membangun Museum Nabi Muhammad SAW di kawasan UIII. Sampai di sini pertarungan politik memori simbolik Islam tengah berjalan. Kawasan Cimanggis sedang dipersiapkan menjadi poros baru Islam yang mewakili aspirasi kelompok moderasi Islam pemerintah Jokowi di kawasan Depok untuk menyaingi kelompok Islam Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan identik dengan pemurnian Islam yang hampir seperempat abad berkuasa serta menandai ruang kota dengan “syariah”.

Berlatar belakang itu semua wajar jika situs-situs sejarah di Depok tetap menyedihkan nasibnya. Sebut saja nasib Rumah Pondok Cina, situs sejarah dari masa ekonomi lada “Jalur Rempah”. Situs penanda koneksi global pertama Depok dengan dunia dalam perdagangan dan jasa ini menjadi korban vandalisme sebuah pusat perbelanjaan. Hari demi hari seiring pengembangan pusat perbelanjaan tersebut warga Depok dapat melihat bagaimana aksi vandalisme itu semakin menenggelamkan keberadaan situs sejarah yang disebut-sebut berasal dari masa 1648.

Tidak cukup bangunannya yang dibiarkan menjadi korban vandalisme, tetapi juga nama jalannya pun diganti—mengikuti banyak jalan besar di Jakarta yang dimiliterisasi—menjadi Jalan Margonda, mengacu kepada tokoh militer zaman revolusi. Padahal situs ini selain menjadi penanda Depok sebagai perlintasan perdagangan tua, juga lama telah hidup dalam sikap inklusif dengan bisa menerima kaum Tionghoa dan bahkan mendedikasikan ruangnya dengan nama Pondok Cina. Seharusnya kawasan Pondok Cina dengan situs sejarahnya itu menjadi kebangaan bagi Pemerintah Depok sebagai kota dengan wajah muka multikultural, tetapi yang terjadi sebaliknya malah ingin dibenamkan identitas historisnya.

Namun, dari semua warisan masa lalu di Depok bagaimana pun harus diakui yang paling menyedihkan adalah yang menimpa situs-situs sejarah di kawasan Depok Lama. Sebab dalam bingkai politik memori kota itu adalah situs yang bertalian erat dengan Belanda dan anak-anak ruhani Chastelein yang identik dengan pemeluk teguh agama Kristen serta berorientasi Belandis bukan nasionalis. Ini tercermin dalam pelarangan pembangunan kembali Tugu Chastelein pada 2014 oleh warga Depok Lama. Secara terbuka pemerintah melalui Kepala Dinas Pemuda Olahraga Seni dan Budaya Kota Depok menyatakan pembangunan tugu itu bisa mengundang konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan dari kacamata sejarah Cornelis Chastelein penjajah. Sekali lagi tekanan masyarakat untuk menghargai sejarah Depok Lama membuat pembangunan tugu tersebut setelah tertunda dapat berjalan kembali.

Tetapi, tidak berarti kemudian menyetop cara pandang Pemerintah Depok terkait Depok Lama dan masyarakatnya. Sebab melalui penataan kawasan kemudian kawasan bersejarah ini secara simbolik diorientasikan untuk lebih identik dengan Betawi ketimbang Belanda dan Kristen. Pembangunan gerbang masuk jantung kawasan Depok Lama di Jalan Pemuda yang dulu Kerk Straat pada 2018 dalam langgam Betawi lengkap dengan ornamen khas gigi balang mengapit lambang Pemerintah Depok adalah contohnya. Politik memori Pemerintah Depok yang diungkapkan Triwahyuning “menjadikan Belanda Depok sebagai Betawi yang identik Islam” semula berada di luar Depok Lama kini telah tiba di gerbang kawasan inti sejarahnya.

Dalam konteks inilah dapat dipahami mengapa Pemerintah Depok kini mengkampanyekan gerakan membangkitkan kawasan Depok Lama sebagai heritage. Termasuk mengapa seperti menyisihkan kehadiran pewaris sejarah Belanda Depok sebagaimana diungkapkan Ferdy Jonathan, tokoh masyarakat dan aktivis penyelamatan sejarah Depok Lama.

Padahal gerakan ini luar biasa dan langsung Wakil Walikota Iman Budi Hartono yang memimpin serta mengajak kerjasama secara serius banyak pihak. Mulai dari Fakultas Teknik UI untuk merancang pengembangannya sampai dengan Pemerintah Belanda yang ditandai dengan datangnya Lambert Grijn Duta Besar Belanda ke Depok Lama. Tetapi, pernyataan Lambert menjadi penting bahwa kerjasama diarahkan terkait penelitian. Semoga dengan penelitian yang serius kesadaran sejarah Depok yang kaya warna dan berlapis-lapis dapat diinyafi dan dirayakan.


Lebih jauh baca:

Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.

Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505

LEAVE A REPLY