Vaksin Maut Kamp Romusha di Klender

Vaksin Maut Kamp Romusha di Klender

0
4722
Rōmusha, pengalaman paling mengerikan di zaman Jepang, foto karya Minami.

Kamp romusha di Klender terletak di antara Jakarta dan kota Bekasi yang berjarak beberapa kilometer ke arah timur. Sebuah stasiun kereta api di sana menghubungkan jalur kereta api dari Jawa ke Pelabuhan Tanjung Priok. Pada 1944, Klender tidak lebih dari sekadar hamparan sawah dan rumah-rumah sederhana milik petani. Sekarang, tempat ini menjadi bagian dari metropolitan Jakarta. Penduduk Jakarta pada tahun itu hanya sekitar 200.000 orang, dan pada 2014 penduduk metropolitan DKI Jakarta mencapai 10 juta orang.

Kami tidak tahu persis seperti apa kamp romusha di Klender atau di mana lokasi tepatnya, selain informasi bahwa lokasinya dekat stasiun kereta api. Belum ditemukan foto dari kamp ini. Meskipun demikian, dari keterangan saksi mata kita dapat menduga bahwa itu adalah kompleks berpagar dengan gerbang yang dijaga tentara Jepang. Mengingat lokasinya yang relatif pedesaan, kompleks itu kemungkinan adalah fasilitas baru yang dibangun khusus. Kamp Klender adalah stasiun transit yang digunakan oleh rombongan romusha yang datang secara bergelombang.

Para romusha kemungkinan dilatih dalam formasi militer dan baris-berbaris. Para pegawai negeri sipil Indonesia yang baru diterima di berbagai kementerian masih melakukannya secara rutin hingga saat ini. Tujuan pelatihan semacam ini bukan militerisme, tetapi menyatukan orang-orang yang akan terlibat dalam kerja bersama. Itu adalah bagian dari semangat gotong-royong.

Baca Juga:

  1. H. Abdul Hadi Pemimpin Protes Petani di Desa Pasarean 1935
  2. Delapan Jagal dari Tambun
  3. Di Bekasi Pramoedya A Toer Terpesona Revolusi

Status kamp di Klender sebagai percontohan—karena kedekatannya dengan hampir semua tokoh nasionalis Indonesia—memperlihatkan lingkungan yang sehat dengan penjaga dan perwira kamp Jepang yang relatif ramah. Di sana perawatan medis diberikan secara rutin, baik untuk pencegahan maupun pengobatan penyakit akut. Bahkan dengan perlakuan manusiawi ini—meski palsu—hanya sedikit romusha yang mau menjadi sukarelawan. Abu Hanifah dalam bukunya Tales of a Revolution ingat pernah memeriksa kondisi kesehatan para pemuda berpendidikan dalam kelompok romusha, yang memang bagian dari tugasnya. Karena penasaran, ia bertanya mengapa mereka menjadi sukarelawan. Mereka menjelaskan bahwa mereka sama sekali tidak mengajukan diri sebagai sukarelawan. Mereka dipanggil oleh para kepala desa kemudian dibawa pergi oleh prajurit Jepang. Menurut sumber-sumber yang diteliti oleh Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War, hanya sekitar 20% romusha yang benar-benar sukarelawan.

Terlepas bagaimana awal mula mereka direkrut, para romusha di Klender mendapati diri mereka disatukan sebagai satu kelompok. Ada rombongan-rombongan dari desa yang sama, dan banyak yang sudah saling mengenal sejak lahir. Sebagaimana kelompok-kelompok yang terbentuk di usia muda, mereka makan makanan yang sama, tidur di bangunan yang sama, menuju ke tempat yang sama-sama tidak mereka ketahui, dan membentuk persahabatan baru dengan cepat. Usia romusha termuda adalah 15 tahun, sedangkan yang tertua adalah 40 tahun. Di antara sedikit yang benar-benar sukarelawan, harta mereka tidak akan bertambah, selain sawah di kampung yang sudah mereka miliki. Sebagian besar romusha mungkin belum pernah berperjalanan lebih dari 50 kilometer dari tempat mereka dilahirkan. Mereka menduga-duga dengan cemas perjalanan ke tujuan yang tidak diketahui di wilayah lain pendudukan Jepang. Sebagian besar tidak menyadari kekejaman dan kesengsaraan yang sudah menanti.

Di antara persiapan untuk bertugas demi kekaisaran dan bangsa adalah pemeriksaan medis dan vaksinasi. Mereka diperintahkan untuk berkumpul dalam barisan oleh para penjaga kamp orang Indonesia, dan kemudian akan diatur oleh pengawas militer Jepang yang relatif ramah. Absensi dalam barisan yang rapi dilakukan untuk memastikan semua orang hadir atau diketahui keberadaannya. Mereka akan berbaris dalam kelompok dan berjalan dalam barisan secara bergiliran ke tempat para dokter menunggu. Mereka diperintahkan mematuhi dokter yang akan memberi suntikan untuk membuat mereka tetap sehat guna menjalankan tugas baru yang penting.

Sebagian besar dari para pemuda ini tidak terbiasa dengan dokter dan suntikan. Mereka gelisah dan saling mengejek ringan untuk memecah ketegangan ketika menyaksikan jarum suntik besar menusuk lengan. Mereka tertawa gugup saat melihat teman yang sedang disuntik langsung meringis. Lalu mereka akan bercanda, saling membandingkan bilur dan rasa sakit dari suntikan yang mereka dapatkan. Itu merupakan bagian dari petualangan yang membuat mereka merasa terikat bersama.

Dokter yang mengawasi dan melakukan sebagian besar penyuntikan untuk romusha adalah dua orang lulusan STOVIA, Dr. Marah Achmad Arief dan Dr. Soeleiman Siregar. Mereka berasal dari Dinas Kesehatan Kota Jakarta. Atasan mereka, Dr. Marzoeki, menerima perintah dari militer Jepang untuk menyediakan dokter. Menurut catatan Dr. Marzoeki dalam memoar putrinya, Latifah, mereka berangkat ke kamp hanya membawa tas dokter biasa, karena diberi tahu bahwa semua akan disediakan, termasuk vaksin. Tidak ada informasi lain dari memoar Latifah. Kedua dokter ini kemudian menuju Klender, menerima bahan vaksinasi dari pemimpin kamp Jepang, dan melakukan tugas berat, yaitu memvaksinasi ratusan romusha. Baik Arief maupun Soeleiman tidak selamat setelah ditangkap oleh Kenpeitai beberapa bulan kemudian. Tidak ada dokumen tercatat tentang nasib keduanya, kecuali catatan Kenpeitai tentang kesaksian mereka di bawah penyiksaan, tersimpan di tumpukan arsip berdebu pemerintah Jepang.

Buku Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Rōmusha 1944-1945.

Kesaksian tercatat yang tersedia melompat ke awal Agustus 1944. Kesaksian itu berasal dari Dr. Bahder Djohan yang terekam dalam memoar Drama Kedokteran Terbesar episode Klender oleh Dr. Ali Hanafiah. Catatan ini juga didapatkan oleh Theodore Friend dalam Blue-Eyed Enemy, sebuah wawancara pada 1968 dengan Bahder Djohan. Karier Bahder Djohan selanjutnya sangat cemerlang, termasuk dua kali masa jabatan sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan, serta sebagai Presiden Universitas Indonesia. Narasi yang sama muncul dalam biografi Bahder Djohan Bahder Djohan: Pengabdi Kemanusiaan yang dikumpulkan oleh tim penulis Indonesia dan dipublikasikan pada 1980.

Kesaksian Bahder Djohan memberi tahu kita tentang telepon yang berdering di rumah sakit Ika Dai Gaku (sebelumnya Rumah Sakit Pusat, kini RSCM) di Salemba, Jakarta, pukul 9 pagi di hari Minggu. Itu adalah panggilan telepon panik dari Klender yang melaporkan bahwa banyak romusha yang sakit parah dan memohon agar dokter segera datang ke kamp. Para romusha mengalami kejang-kejang dan meliukkan badan dengan posisi yang ganjil.

Direktur rumah sakit, Profesor Tamija, segera menelepon Dr. Bahder Djohan. Ia memerintahkan segera membentuk tim medis guna menyelidiki apa yang awalnya diduga sebagai wabah meningitis di kamp romusha. Bahder Djohan sering bekerja dengan Lembaga Eijkman dalam penelitian kedokteran dan mempublikasikan makalah bersama Mochtar. Ia segera menelepon Lembaga Eijkman yang lokasinya bersebelahan untuk meminta bantuan dua teknisi terlatih dalam pungsi lumbal untuk diagnosis meningitis. Bahder Djohan menceritakan bahwa ketika dirinya keluar dari kompleks rumah sakit, ia bertemu dengan Dr. Aulia (terlihat dalam foto STOVIA di Gambar 6 bersama Dr. Marzoeki pada 1918) di gerbang, ditemani seorang dokter muda kapten Angkatan Darat Jepang. Karena minat medis, mereka berdua meminta bergabung. Ketiganya bergegas mengemudi sekitar delapan kilometer ke kamp. “Sesampainya di kamp Klender, kami agak tercengang menemui berpuluh-puluh penderita yang merintih kesakitan, ada yang di dalam rumah ada yang ditengah padang, ada yang di bawah pohon, semua berada dalam pelbagai letak tubuh yang aneh-aneh.”

Kesan klinis langsung ini tidak dapat dicocokkan dengan meningitis biasa. Ketiga dokter setuju dengan pengamatan ini, termasuk dokter kapten Jepang. Walaupun demikian, mereka tetap melakukan pungsi lumbar pada belasan korban. Cairan tulang belakang pada semua korban tampak bening, bukan keruh. Ini membuat para dokter semakin menjauh dari diagnosis meningitis.

Setelah melakukan pungsi lumbar, ketiga dokter berkumpul dan berbagi pendapat. Mereka memikirkan kesan klinis yang hampir sama pada semua pasien. Gejalanya konsisten dengan tetanus akut. Mereka menanyai penjaga kamp apakah ada penyuntikan seminggu yang lalu. Penjaga kamp membenarkan dan mengatakan bahwa pada pekan sebelumnya semua korban telah disuntik vaksin. Penjaga tersebut menunjukkan ampul kosong yang telah dibuang berlabel Vaksin Tifus, Kolera, Disentri (TCD) yang diproduksi di Lembaga Pasteur, Bandung—namanya ketika itu diubah menjadi Boeki Kenkyujo.

Meskipun terdapat banyak sekali korban pada hari pertama itu, para dokter merasa bahwa mereka hanya dapat memberikan bantuan medis kepada sebagian kecil romusha yang telah divaksin tetapi belum menunjukkan gejala tetanus. Di tempat itu juga segera dibuat pengaturan untuk mengevakuasi sekitar 90 korban ke rumah sakit pendidikan Ika Dai Gaku di Salemba untuk terapi antitetanus. Angkutan segera disiapkan dan para romusha langsung dibawa ke rumah sakit untuk dirawat. Dalam waktu pendek, mereka juga menunjukkan gejala-gejala klasik tetanus, memperkuat dugaan ketiga dokter.

Pada mulanya, para romusha ini tampak mudah tersinggung dengan staf rumah sakit, tetapi itu tentu karena melihat teman-teman mereka menunjukkan tanda-tanda tetanus yang mengerikan. Mereka menyaksikan teman-teman mereka gelisah tanpa alasan jelas. Kemudian, banyak dari mereka juga menunjukkan ekspresi wajah aneh yang terlihat seperti senyuman, tetapi tidak ada sesuatu yang membuat mereka tersenyum. Dalam dunia kedokteran, ekspresi seperti itu disebut sardonicus, tanda tetanus akut. Hanya beberapa jam kemudian, mereka tersungkur ke lantai dan seluruh tubuhnya melengkung aneh, jari-jari tangan dan kaki mereka mencengkeram erat. Sebuah lukisan Inggris tahun 1806 menggambarkan seorang prajurit yang sekarat karena tetanus dan menunjukkan tanda-tanda khas tersebut. Melihat penderitaan 90 romusha yang baru dirawat ini, semua yang hadir di rumah sakit menyadari bahwa sesuatu yang sangat salah telah terjadi di Klender.

Di rumah sakit pendidikan, para romusha yang dirawat ditempatkan di bangsal yang sama. Beberapa prajurit Jepang berdiri di situ, tidak benar-benar berjaga, tetapi sekadar mengawasi kedatangan dan kepergian staf. Sedikit sekali anggota keluarga yang diberi tahu, dan hampir tidak ada yang rumahnya dekat dari rumah sakit. Para dokter telah memberikan serum antitoksin tetanus dan membesarkan hati para pasien. Dalam waktu kurang dari 24 jam, semua romusha yang dirawat meninggal karena gagal pernapasan yang menyakitkan saat tetanus mencekik. Setidaknya, para pasien ini benar-benar telah mendapatkan perawatan dan penghiburan dari staf di rumah sakit. Ratusan orang yang meninggal secara tersiksa di Klender jauh lebih tidak beruntung. Tidak lama setelah 90 orang di rumah sakit menunjukkan gejala khas tetanus, para dokter menelepon kamp Klender dan meminta mereka segera mengirim semua romusha penerima vaksin yang masih hidup, bersama dengan semua sisa ampul kosong vaksin. Jawaban dari Klender membuat para dokter di rumah sakit terpaku. Tentara Jepang telah menyegel kamp. Tidak ada siapa pun atau apa pun yang bisa masuk atau keluar.

Tidak ada catatan tentang kejadian di kamp di Klender setelah para dokter meninggalkan kamp membawa 90 pasien. Ratusan orang tertinggal di kamp dan mungkin dianggap telah tewas. Tidak ada catatan bahwa romusha yang telah disuntik ada yang selamat. Perkiraan Jepang saat ini, angka kematian berkisar 300—dari kesaksian Kenpeitai sampai kesaksian Jatman, yang ditahan Kenpeitai—hingga “puluhan ribu” sebagaimana disebutkan Sukarno kepada penulis biografinya, Cindy Adams. Jumlah yang mungkin adalah 900. Angka ini diajukan Bahder Djohan berdasarkan jumlah orang sakit yang terlihat di kamp dan jumlah yang diketahui telah disuntik.

Bahder Djohan menceritakan kunjungan dua profesor Jepang ke rumah sakit tidak lama setelah kematian para romusha. Mereka membujuknya agar meminjamkan riwayat-sakit para pasien romusha dari Klender. Mereka dengan sopan menganjurkan bahwa peristiwa ini hendaknya dipublikasikan dalam jurnal kedokteran Jepang, dan mereka ingin mempelajari berkasnya. Bahder Djohan tidak pernah melihat kedua profesor itu lagi maupun catatan tersebut. Pembersihan kejadian sedang berlangsung.

Sulit membayangkan kengerian yang terjadi di Klender selama beberapa hari di awal Agustus 1944. Sebanyak 900 pemuda meliuk-liuk kesakitan, seperti prajurit dalam lukisan Inggris itu. Sukar sekali memperkirakan besarnya kejadian itu pada masa kini tanpa petunjuk lebih lanjut dan terbatas hanya pada kesaksian. Jepang menghadapi pekerjaan sangat besar untuk membereskan pembantaian Klender sembari harus tetap menjaga martabat, kewenangan, dan ilusi niat baiknya setelah kejadian tersebut.


Dikutip atas izin penerbit Komunitas Bambu dari buku J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki, Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Rōmusha 1944-1945, hlm 149-155. Bukunya bisa didapatkan dan www.komunitasbambu.id atau hubungi 081385430505