Warisan vs kampus baru: Opportunity cost (biaya peluang) atau oportunisme?

0
565
Sebuah bangunan tua yang ditelantarkan. Rumah Cimanggis dibangun pada tahun 1775 dan merupakan rumah peristirahatan Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra dari Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Sekarang dalam keadaan rusak total dan akan dirobohkan untuk membangun Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). (Sumber foto: Logo Situmorang).

Biaya peluang [1] — kita semua mengalaminya setiap hari. Apakah Anda ingin pergi ke film yang sudah lama ingin Anda tonton, atau mempersiapkan ujian yang benar-benar harus Anda jalani (dan lulus, tentunya)? Berlibur atau membeli mobil baru? Biaya peluang saya adalah: menurunkan berat badan atau terus makan kue, cokelat, dan keripik. Beberapa biaya peluang — seperti kasus saya! — sebetulnya tidak perlu pikir panjang, sementara yang lain membutuhkan pertimbangan yang lebih hati-hati. Apakah protes terus-menerus seputar pembongkaran Rumah Cimanggis, sebuah bangunan bersejarah di Depok, Jakarta Barat, untuk membuka lahan bagi Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) juga merupakan kasus biaya peluang? Mari kita bahas. Rumah Cimanggis dibangun pada tahun 1775 dan merupakan rumah peristirahatan Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra dari Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Sekarang dalam keadaan rusak total dan akan dirobohkan untuk membangun UIII (lihat “Cultural Buildings neglected in Depok” [Bangunan Budaya yang Terbengkalai di Depok], The Jakarta Post, 28 Desember 2017) Meski rumah tersebut tercatat sebagai bangunan cagar budaya pada tahun 2011 dan 2013, tidak ada upaya yang dilakukan untuk melestarikannya karena Pemkot Depok tidak memiliki tim ahli cagar budaya. Dengan sendirinya, rumah tersebut semakin hancur saja.Sekarang setelah ada rencana nyata untuk merobohkannya, sejarawan seperti JJ Rizal, dan Ratu Farah Diba, ketua Depok Heritage Society dan lain-lain, memprotes dan menyusun petisi untuk menyelamatkan bangunan  tsb dari pembongkaran. Namun selain dari nilai sejarah Rumah Cimanggis, ada juga dampak lingkungan dari pembangunan kampus tersebut. Menurut Heri Syaefudin, koordinator Forum Masyarakat Hijau (FKH) Depok, keputusan membangun universitas itu melanggar aturan tata ruang kota. Areal yang rencananya akan dibangun UIII sebenarnya dimaksudkan sebagai ruang terbuka hijau, sehingga meletakkan kampus di atasnya jelas tidak boleh. Tetapi apakah perlu membangun universitas sama sekali? Sudah banyak lembaga pendidikan Islam di seluruh Indonesia, berjumlah total 378. Seperti yang dikatakan Rizal, mengapa tidak memaksimalkan yang sudah ada? Presiden Joko “Jokowi” Widodo selalu mendesak kita untuk berhemat, namun pemerintah pusat mengalokasikan Rp 400 miliar (US $ 29,76 juta) untuk UIII. Apalagi sejak 31 Desember 2014, sekolah-sekolah di Indonesia dilarang menggunakan label “internasional”, kok sekarang mau dipakai untuk UIII?

Sahat Farida Berlian, anggota dewan kota Depok, mengatakan pembangunan kampus sama sekali tidak memperhatikan kebutuhan Depok dan warganya. Menurutnya, yang dibutuhkan Depok adalah SD dan SMP. Penambahan universitas lain di atas 12 universitas yang ada di Depok hanya akan menambah beban sosial dan lingkungan kota. Pendukung UIII berasal dari kalangan atas di pemerintahan. Wakil Presiden Jusuf Kalla mencontohkan negara lain memuji Indonesia karena menganut Islam versi moderat. Untuk itu, Indonesia harus menjadi pusat kajian Islam “yang akan mendorong penyebaran Islam yang rahmatan lilalamin [berkah bagi seluruh dunia].” Betulkah? Lupakan seluruh dunia, hanya dari sudut pandang lingkungan saja, mari kita fokus pada Depok dan Jakarta. Jika banjir di Depok bisa dicegah, hal itu sudah akan membantu mencegah banjir di Jakarta yang seperti kita ketahui, merupakan masalah tahunan.

Baca Juga:

  1. Depok Cagar Alam Pertama Hindia Belanda
  2. Sejarah Listrik dan Cerita Hantu di Depok
  3. Kisah Pangeran Afrika di Bogor

Adapun untuk menyebarkan Islam yang rahmatan lilalamin,  mengapa mantan Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dikirim ke penjara karena penodaan agama ketika ulama Islam yang dihormati dengan jelas menyatakan dia tidak melakukan hal itu? Memang, dia diadili, tapi itu adalah kangaroo court (pengadilan abal-abal yang dakwaannya sudah ditentukan sebelumnya). Anies Baswedan kemungkinan besar tidak akan memenangkan pemilihan gubernur jika bukan karena dukungan Muslim konservatif. Anies yang memproklamirkan diri sebagai moderat, dalam praktiknya mendapatkan dukungan dari Front Pembela Islam (FPI), yang lebih merupakan kelompok vigilante (main hakim sendiri) daripada kelompok Islam. Dimanakah rahmatan lilalamin dalam semua ini? Islam moderat Indonesia yang banyak dipuji dunia, menyerah kepada Islam yang lebih konservatif, kaku, harafiah dan berbau Arab, dan pemerintah tidak berbuat cukup untuk mencegah hal ini. Sangat ironis bahwa orang-orang Arab di Arab Saudi sendiri sedang melakukan modernisasi, tetapi Indonesia justru sebaliknya. Ini memberikan konteks bagi ekstremisme dan radikalisasi, termasuk di kampus-kampus. Sangat menggelikan untuk berpikir bahwa keberadaan UIII bisa melakukan sesuatu untuk mengekang penyebaran ini.

Realistis saja, proyek UIII ini kalau di zaman Soekarno disebut proyek mercusuar. Kesempatan melakukan pencitraan dan cari proyek yang secara finansial menguntungkan, tentu saja. Pertarungan antara Rumah Cimanggis dan UIII bukan hanya tentang melestarikan salah satu dari banyak situs warisan nasional Indonesia yang terabaikan versus pembangunan kampus universitas Islam. Ada dua kubu yang terlibat dalam pertempuran: di satu sisi sejarawan, pendukung warisan budaya, dan pencinta lingkungan yang mewakili sebagian besar cita-cita nasional kita, sementara kubu lainnya, terdiri dari pejabat bodoh, birokrat oportunistik, dan developer perampok, yang sebenarnya membantu mendukung penyebaran Islam konservatif, radikal, dan akhirnya ekstremis. Jadi, apakah ini kasus biaya peluang? Ya dan tidak. Tidak, karena universitas masih bisa dibangun di lokasi lain, katakanlah di Sentul atau Hambalang di Jawa Barat, yang juga akan meningkatkan status ekonomi daerah-daerah tersebut. Ya, karena itu adalah pilihan antara membangun sesuatu yang tidak perlu dengan mengorbankan warisan budaya kita dan lingkungan. Tapi lebih dari itu, ini adalah pilihan antara kepentingan rakyat dan segelintir elite. Bahkan mungkin tidak terlalu mengada-ada untuk mengatakan bahwa ini adalah kasus oligarki versus demokrasi.

Julia Suryakusuma adalah penulis Jihad Julia. Kolom ini diterjemahkan oleh penulisnya sendiri dan dimuat atas izinnya.

[1] Dalam Bahasa Inggris, “opportunity cost” adalah sesuatu yang harus dikorbankan untuk mendapat sesuatu yang lain. Misalnya, jika uang dibelikan mobil, tidak bisa diinvestasikan. Di dalam tulisan ini “opportunity cost”nya adalah warisan sejarah dikorbarkan demi pembangunan UIII.

Sumber tulisan: Opportunity cost or opportunism?


Lebih jauh baca:

Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.

Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505

LEAVE A REPLY