Belanda Depok: Masa Lalu, Bisakah dimanipulasi?

0
785
Gereja di Depok pada 1920.

Pernahkah Anda bertengkar dengan pasangan, saudara, atau teman tentang suatu kejadian – misalnya urutan peristiwa, siapa yang mengatakan atau melakukan apa – di masa lalu atau bahkan yang baru saja terjadi? Saya akan sangat heran jika Anda tidak mengalaminya. Tidak hanya setiap orang memiliki persepsi dan ingatan yang berbeda, tetapi kadang-kadang, peristiwa dan fakta dapat dengan sengaja dinegasikan, direvisi, atau diubah untuk keuntungan pribadi, materi, atau politik.

Jadi jawaban pertanyaan judul kolom saya adalah, pasti bisa! Bahkan, semua sejarah adalah tentang “penafsiran” masa lalu untuk menguntungkan mereka yang menjadi pemenang, penakluk, penjajah dan untuk mempertahankan kekuasaan yang berkuasa. Negasionisme historis, kadang-kadang disebut penolakan atau revisionisme, pada dasarnya adalah berbohong tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Contoh berlimpah: di Amerika Serikat (misalnya Revisionisme Konfederasi, genosida California), kejahatan perang (misalnya akibat imperialisme Jepang, kejahatan perang Kroasia selama Perang Dunia II, kejahatan perang Serbia baik selama Perang Dunia II dan perang Yugoslavia, Turki dan Armenia genosida), Iran terhadap minoritas agama, dan banyak lainnya.

Sebagai seseorang yang hidup selama 32 tahun Orde Baru (1966-1998) di bawah presiden Soeharto saat itu, saya dan sebagian besar rakyat harus hidup di bawah versi sejarah penguasa otoriter kita: kudeta komunis (yang sebenarnya merupakan pertarungan internal militer), tentang “kebrutalan” kaum komunis (kelompok militer sepertinya melakukan proyeksi. Sebenarnya justru mereka dan bahkan kelompok sipil dan agama yang sangat brutal terhadap kelompok komunis), dan stigmatisasi fatal terhadap orang-orang yang diberi label PKI yang tidak hanya berdampak pada mereka, tetapi juga keluarga mereka selama turun temurun. Singkatnya, manipulasi sejarah memciptakan trauma, menghancurkan kehidupan dan juga membunuh. Perkiraan awal pembunuhan massal pada 1965-1966 adalah antara 500.000 dan 1 juta, tetapi yang lebih baru mencapai 2 hingga 3 juta.

Baru-baru ini saya menemukan contoh lain manipulasi sejarah di halaman belakang saya sendiri, Depok, menyusul kematian mendadak Ferdy Jonathan, 66, seorang tetua Belanda Depok, pada 22 November.

Baca Juga:

  1. Depok Cagar Alam Pertama Hindia Belanda
  2. Sejarah Listrik dan Cerita Hantu di Depok
  3. Warisan vs kampus baru: Opportunity cost (biaya peluang) atau oportunisme?

Istilah Belanda Depok menyiratkan bahwa mereka adalah orang Belanda yang tinggal di Depok, tetapi itu sama sekali keliru. Mereka sebenarnya adalah kelompok multi-etnis Indonesia – dari Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku dan daerah lainnya – yang merupakan keturunan sekitar 150-200 budak milik Cornelis Chastelein, seorang pejabat tinggi Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang memiliki perkebunan di pedalaman Batavia.

Chastelein bermimpi menciptakan komunitas Kristen yang mandiri di daerah itu, yang sebagian besar merupakan benteng Muslim. Ketika ia meninggal pada tahun 1714, “dia membebaskan sebagian besar budaknya, dan mewariskan kepada mereka yang memeluk agama Kristen, tanah miliknya di Depok seluas 1.244 hektar dalam ‘kepemilikan kolektif’”. Saya membaca ini dalam sebuah buku yang diterbitkan pada bulan Agustus berjudul The Christian Slaves of Depok: A Colonial Tale Unravels (Budak Kristen Depok: Menguraikan Kisah Kolonial) oleh Nonja Peters tentang sejarah Belanda Depok yang tidak banyak diketahui.

Organisasi Kristen Chastelein, De Eerste Protestante Organisatie van Christenen (Organisasi Kristen Protestan Pertama), dikenal sebagai Depoc, di mana ia secara aktif berusaha menyebarkan agama Kristen. Depoc? Apakah mungkin nama Depok terinspirasi organisasi Chastelein?

Saat ini, terdapat lebih dari 7.000 keturunan Belanda Depok di Indonesia dan luar negeri. Yayasan Cornelis Chastelein didirikan untuk melindungi aset dan kepentingan komunitas mereka. Saat ini sulit untuk menentukan di mana mereka dulu tinggal karena mereka telah tenggelam oleh urbanisasi Depok yang pesat dan populasi yang hampir mencapai 2,5 juta.

Belanda Depok berperan besar dalam membangun Depok, bahkan menurut Vence Turalakey, kepala sekolah SMA Pemuda, sekolah yang dikelola yayasan Chestelain, merekalah yang pertama kali membangun Depok. Pada tahun 1871, mereka diberikan otonomi oleh Belanda untuk memerintah Depok secara mandiri. Untuk itu, Yano Jonathans, generasi keenam Belanda Depok dan istrinya Yulia, yang aktif mengkampanyekan agar Belanda Depok diakui dalam sejarah Indonesia, ingin mengubah hari jadi Depok dari 22 April 1999 menjadi tanggal ketika 12 marga asli Belanda Depok diberikan kepemilikan tanah oleh Chastelein pada 28 Juni 1713.

Gagasan menyelamatkan situs sejarah di Depok mulai muncul sekitar 10 tahun lalu. Namun, situs-situs tersebut hanya ditetapkan sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (OCDB), karena Pemkot Depok baru memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) pada Mei 2019, kata mereka.

Betulkah? Faktanya, Pemkot Depok tidak hanya mengabaikan situs-situs bersejarah di kotanya, tetapi juga terlibat dalam “politik ingatan” dimana “identitas simbolik Depok sebagai kolonial Belanda dan Kristen, telah bergeser menjadi identik dengan Islam.” Tri Wahyuning M. Irsyam menjelaskan hal ini dalam bukunya Sejarah Depok 1950-1990 (Obor, 2017). Tidak mengherankan sebenarnya, mengingat Depok merupakan kubu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kita semua tahu adalah partai Islam.

Dalam situs Sejarah Jakarta, pada 24 November, JJ Rizal, seorang sejarawan terkenal yang tinggal di Depok, menulis esai panjang dan rinci, berjudul “Depok Heritage dan Politik Memori Kota”. Dalam 15 tahun terakhir, ketika Depok melakukan pembangunan kota, situs-situs bersejarah dari abad ke-17 hingga abad ke-19 dibiarkan rusak menjadi puing-puing, dan mengubah Depok menjadi kota tanpa kenangan, tanpa masa lalu, katanya. Singkatnya, Rizal ingin menunjukkan bahwa proses manipulasi sejarah sangat menjadi basis pembangunan di Depok, di mana mereka ingin menggambarkan Depok sebagai Betawi-Muslim dan bukan Belanda-Kristen.

Kematian Ferdy adalah pukulan bagi upaya mengungkap sejarah Depok yang sebenarnya. Banyak penelitian yang harus dilakukan untuk memberikan landasan yang kokoh bagi perkembangan Depok di masa depan, bukan hanya demi sejarah. Belanda Depok meletakkan dasar bagi pluralisme, pendidikan dan lingkungan, yang merupakan isu kritis di seluruh dunia.

Apakah Belanda Depok akan dibiarkan merana dan lenyap ke dalam ketidakjelasan sejarah dan bahkan difitnah sebagai pengkhianat, seperti jutaan orang yang diduga “komunis”? Atau akankah mereka diberikan tempat yang benar dan layak dalam sejarah Indonesia?

Ini bukan hanya tentang Depok, ini tentang bagaimana Indonesia ingin membangun dirinya sebagai sebuah bangsa. Untuk menjadi bangsa yang kuat, kita harus membangun diri berdasarkan kebenaran, bukan manipulasi sejarah dan oportunisme politik.

Sumber: diterjemahkan dari Julia Suryakusuma: Belanda Depok: Can the past be manipulated? – TheJakartaPost


Lebih jauh baca:

Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.

Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505

LEAVE A REPLY