Depok Cagar Alam Pertama Hindia Belanda

0
4493
Gubernur Jenderal AWF Idenburg yang meresmikan hutan Depok sebagai Natuur Monument pada 1913.

Setelah penanganan banjir kota Batavia yang sukar ditangani dan salah satunya karena perusakan alam lingkungan di sekitar puncak untuk perkebunan teh, maka Herman van Breen—tokoh sentral melawan banjir dari Technische Hoogeschool Bandung—membayangkan di masa depan pinggiran selatan Jakarta, terutama Depok sebagai kawasan biru atau pemertahanan air, sekaligus kawasan hijau alias pepohonan melulu.

Ide ini kemudian disebut dalam master plan pertama zaman Walikota Sudiro tahun 1957 yang dirancang dengan banyak sekali mengambil rencana tata ruang Batavia, yaitu menjadikan kawasan pinggiran selatan sebagai green belt atau sabuk hijau. Begitu juga dalam master plan Jakarta 1968-1985. Tetapi, master plan ini berubah manakala Soeharto memindahkan kampus UI dari Salemba ke Depok. Sejak itulah ide kota yang bertopang pada ruang biru dan hijau berantakan.

Sejarah Depok menunjukkan betapa gagasan Depok sebagai green belt dalam master plan Jakarta itu semua sebenarnya bukanlah asing.  Sebab tercatat dalam sejarah bahwa Depok adalah kota pertama di Hindia Belanda yang memiliki konsep kota hijau. Chastelein yang mencanangkannya. Bahkan ia membayangkan lebih dari sekadar Depok kota taman, yaitu kota taman dengan arboretum atau hutan kota.

Baca Juga:

  1. Kisah Pangeran Afrika di Bogor
  2. Delapan Jagal dari Tambun
  3. Sejarah Listrik dan Cerita Hantu di Depok

Ide kota dengan arboretum itu bukan hanya tinggal abab karena Chastelein mewujudkannya. Ia menentukan bahwa kawasan dari Ratu Jaya, Rawa Geni hingga Mampang yang di timurnya berbatasan dengan Parung Belimbing sebagai hutan Depok. Soal bagaimana ketatnya Chastelein menjaga hutan Depok itu dapat dibaca dalam wasiatnya, “anakku Anthony Chastelein budak-budak turun temurun tiada sekali-sekali boleh potong atau memberi izin akan potong kayu dari hutan.”

Aturan ketat itu wajar sebab Chastelein adalah orang yang menentang ketika hutan-hutan di ommelanden Batavia dibabat dan dijadikan kebun tebu untuk industri gula yang sedang menjadi primadona perdagangan VOC. Sebagai seorang pencinta ilmu alam Chastelein dapat melihat bahaya besar ketika keseimbangan vegetasi tropis dirusak. Kekuatiran itu benar karena pembabatan hutan itulah yang membawa bencana ekologi dengan wabah penyakit-penyakit aneh sehingga mematikan VOC dan kota Batavia sejak pertengahan abad ke-18. VOC bangkrut dan penduduk dipaksa pindah mencari tempat baru ke selatan di sekitar Gambir.

Sebab itu banyak decak kagum akan warisan hutan kota dari Chastelein. Sampai hampir dua abad setelah kematiannya hutan kota Chastelein di Depok masih memukau,  terutama karena memiliki jenis-jenis tanaman yang khas dan tidak ada lagi di Jawa, seperti Sloanea Javanica yang akarnya lebar dan Orania Macroladus sejenis palem.

Bahkan pada 31 Maret 1913, Gubernur Jenderal AWF Idenburg meresmikan hutan Depok sebagai Natuur monument (cagar alam) pertama di Hindia Belanda. Prestasi ini dimulai dari pikiran mulia Dr. S.H. Koordes sebagai Ketua Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda dan G. Jonathans sebagai Presiden Kota Depok yang menyepakati tanah seluas 6 Hektar dan kehidupan liar di dalamnya dikelola sebagai cagar alam. Inilah  momen penting bagi “tonggak sejarah konservasi modern di Indonesia”.

Kini memang masih ada hutan Depok itu dan karena turun kualitasnya sebagai konservasi maka diterbitkan Keputusan perubahan fungsi Cagar Alam Pancoran Mas Depok menjadi Taman Hutan Raya melalui SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 276/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999. Ini menyedihkan tetapi tetap masih membanggakan karena Depok menjadi salah satu dari 22 kota di Indonesia yang memiliki Tahura atau Taman Hutan Raya.

Ironisnya kebanggaan itu pun tidak diurus dengan baik selang hampir 20 tahun setelahnya, sehingga kini boleh dikatakan tahura itu senasib dengan situ-situ yang ada di Depok. Spesies hewan dan tumbuhan yang khas pun lenyap. Menyedihkan karena tak terawat dan menjadi tempat pembuangan sampah warga serta dikepung permukiman. Kekuatiran juga timbul Tahura Depok akan mengalami seperti yang dialami Cagar Alam Muara Angke di Jakarta yang sedikit demi sedikit dirambah dan beralih fungsi menjadi permukiman.

Memang ada rencana revitalisasi sejak 2016, tetapi sampai kini tinggal “omong doang”. Ada bagusnya juga tinggal “omong doang” karena rencananya jauh dari pemahaman bahwa Tahura Pancoran Mas Depok lahir dari semangat gerakan konservasi. Spirit ini justru tidak dihadirkan sebagai nilai untuk menginspirasi proses-proses pengelolaannya.

Akhirnya adalah benar kawasan Tahura ini pernah menjadi habitat spesies endemik Pulau Jawa dan saat ini nilai konservasinya telah hilang, tetapi tidaklah menghilangkan satu lagi fakta ihwal nilai sejarah pentingnya Depok sebagai kawasan konservasi pertama di Indonesia.


Lebih jauh baca:

Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.

Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.

Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.

Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.

Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505

Buku terkait dengan artikel.

LEAVE A REPLY