Java Bier adalah nama merek Bir Belanda yang pertama kali dibuat di Hindia Belanda, pabriknya terletak di Kota Surabaya yang mulai dibangun pada tahun 1929. Kandungan alkohol Java Bier sebanyak 7,8% dengan bahan dasar gandum yang diimpor langsung dari Belanda dan Jerman. Pangsa pasar utamanya selain orang Belanda dan Eropa juga Kaum Indo, ambtenaaren, militer dan bangsawan pribumi. Bir ini sangat digemari bukan saja oleh bangsa Eropa di Hindia Belanda, tetapi juga oleh kalangan elit pribumi sebagai simbol status dan pergaulan kalangan atas. Namun karena mayoritas pribumi beragama muslim yang terbentur dengan kandungan alkohol di dalam bir, maka di kalangan elit pribumi Jawa lahir minuman yang secara tampilan dan nama sebutan bir dengan cita rasa dan kandungan minuman yang berbeda.
Mengadaptasi bir sebagai bagian dari gaya hidup orang Belanda yang cukup prestise kala itu, maka priyayi Jawa di wilayah Vorstenlanden (wilayah raja-raja di Jawa Tengah) mengkreasikan minuman bir yang idenya berasal dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Dibuat dengan cita rasa yang disesuaikan dengan lidah pribumi, dengan bahan dasar rempah-rempah seperti jahe, sereh, cengkeh, kayu secang, lada, kayu manis, gula dan sebagainya. Di kalangan priyayi Jawa minuman ini disebut Bir Jawa. Bir Jawa nama alih dari bahasa dari Java Bier, merek bir pertama di Hindia Belanda yang sengaja diberikan sebagai bentuk sindiran sekaligus menekankan bahwa minuman orang Jawa yang mayoritas muslim sesungguhnya adalah yang bebas dari kandungan alkohol. Bir Jawa kemudian menjadi minuman kegemaran bukan saja di kalangan priyayi tetapi juga rakyat kebanyakan, mereka lebih sering menyebutnya sebagai Wedang Uwuh yang berarti minuman sampah. Istilah sampah diberikan karena banyaknya rempah-rempah yang digunakan dalam minuman hingga tampak seperti sampah.
Baca Juga:
Di kalangan priyayi Kraton Sumenep di Madurapun memiliki minuman tradisional dengan latar belakang penciptaan yang juga bermula dari mengadaptasi tradisi minum bir dari para pembesar kolonial, disebut Bir Palasa. Kata Palasa merupakan pelafalan lidah lokal untuk menyebut kata Plaza, sebutan untuk sebuah bangunan dimana orang Belanda sering mengadakan pesta minum bir di sekitar Keraton Sumenep. Ada tambahan unik pada tampilan Bir Palasa hingga agak berbeda dengan Bir Jawa, Bir Palasa menggunakan busa hasil kocokan putih telur bebek dan tanpa kayu secang, hingga secara tampilan lebih mendekati tampilan bir asli Belanda.
Di luar lingkungan tembok kraton juga terdapat minuman bir yang dikreasikan dari kalangan orang kebanyakan yang lagi-lagi awalnya juga ingin meniru tradisi minum bir orang Belanda, namun terbentur dengan kandungan alkohol di dalamnya. Terbuat dari racikan rempah-rempah yang hampir sama dengan Bir Jawa. Di Priangan Barat dikenal dengan nama Bir Kotjok dan di Betawi dengan sebutan Bir Pletok, keduanya memiliki tampilan dan rasa yang sama. Hal ini dimungkinkan karena latar belakang sejarah dari Bir Pletok sendiri yang bermula dari daerah Betawi pinggiran yang berbatasan dengan Bogor (Surbaiasch Handelsblad, woensdag, 1 Mei 1907) dan dahulu tidak dikenal di kalangan orang Betawi tengah.
Lain halnya dengan orang-orang Tionghoa di Batavia, mereka mengkreasikan minuman dengan ramuan serupa yang disebut Bodrek, bedanya terdapat tambahan Ciu (arak) pada racikannya dan biasanya selalu disajikan sebagai teman menyantap manisan Yanwo (sarang walet).
Berbeda dengan Indonesia, di Malaysia juga memproduksi minuman lokal yang disebut Bir Arab atau Babrican dan Bir Rimau (Bir Harimau) yang diproduksi oleh pabrik bir merek Tiger Beer. Bedanya meski dianggap halal oleh MF (MUI nya Malaysia) minuman tradisional ini mengandul alkohol secara alami dengan kadar 0,01%..