
Sebulan setelah Chairil Anwar meninggal pada 28 April 1949, di dalam majalah Siasat menulislah Kismet alias Sujati S.A. dengan nada sendu. Karangannya bertitel “Cerita Buat Chairil Anwar” yang menyatakan bahwa selama sajak Chairil masih dihargai orang, selama itu suasana yang ada dalam kota Jakarta, suasana jalan besar dan gang-gangnya akan hidup. Ia banyak mendedahkan Jakarta.
Tak berapa lama kemudian dalam majalah yang sama, Asrul Sani menulis esei berkepala “Surat terbuka Bagi Walikota Baru”. Ia menulis penuh kecewa kepada “Paduka Tuan Walikota” Jakarta karena ketika “rombongan yang mengantar jenazah penyair Indonesia yang terpenting ini lewat depan rumah walikota itu, tapi rupanya beliau tidak mengetahui bahwa penyair yang banyak meninggalkan nyanyian perihal kotanya telah mati dan diantarkan ke tempat istirahatnya yang terakhir”.
Kelak orang ingat Chairil saban mengenangkan Jakarta. Misalnya ketika Jakarta berulang tahun ke-445 pada 1972, Ajip Rosidi sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta melalui lembaganya itu menerbitkan kumpulan puisi Jakarta Dalam Puisi Indonesia. Ajip di buku itu menghimpun puisi beberapa penyair tentang Jakarta dan dicomotnya empat sajak Chairil, “Aku Berkisar Antara Mereka”, “Tuti Artic”, “Kawanku dan Aku”, dan “Yang Terampas dan yang Luput”. Jumlah yang menggambarkan betapa sebagai wakil Angkatan 45 dialah yang paling banyak mereguk ilham dan mendokumentasikan Jakarta.
Lantas, 28 tahun kemudian ketika Jakarta berulang tahun ke- 473, diterbitkan lagi kumpulan puisi berbagai penyair: Jakarta dalam Puisi Mutakhir (2000). Korrie Layun Rampan, Ahmadun Y. Herfanda, dan Slamet Rahardjo Rais sebagai editor menuliskan bahwa sajak-sajak Chairil tentang Pasar Ikan di kawasan utara Jakarta hingga kini menjadi monumen dalam sastra Indonesia. Puisi yang diberi judul “Senja di Pelabuhan Kecilku” merupakan salah satu puisi impresionis yang paling berhasil dalam sastra Indonesia modern.
Baca Juga:
- Pram dan Asal-Usul Neofeodalisme di Jakarta
- Onghokham Sejarawan Hedonis Jakarta
- Sitor Situmorang di Pasar Senen
Nur Zen Hae lebih di kemudian hari lagi dalam diskusi “Anak Betawi dan Metropolitan Jakarta” pada Februari 2016 memaparkan bahwa lewat puisi “Aku Berkisar Antara Mereka” (1949) karya Chairil Anwar kita mendapatkan suasana Jakarta yang tanpa harapan. Sekelompok orang yang “timpang dan pincang, negatip dalam janji juga” menunggu trem dari kota, di tengah ancaman sisa Perang Dunia Kedua serta penyakit sifilis dan kusta. Meskipun begitu, “aku” dan orang-orang yang senasib dengannya merasa sebagai bagian dari bangsa yang berdaulat, yang merdeka di tengah ancaman segala.
Puisi itu menjadi salah satu cara kaum seniman bersaksi tentang kota dan manusianya. Dengan caranya sendiri, puisi itu mencoba menangkap dan mengawetkan sepotong suasana yang kita tahu menjadi ciri penting Jakarta di masa akhir dasawarsa 1940-an. Indonesia memang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, tetapi tidak serta-merta lepas dari perbagai masalah. Kaum politik dan kaum pergerakan mengambil peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan, tetapi di luar itu orang kebanyakan adalah mereka yang masih menghadapai pelbagai kesulitan hidup.
Namun sajak-sajak Chairil tak hanya merekam lanskap Jakarta dan kehidupan orang kecilnya yang sulit. Chairil banyak memakai bahasa Betawi dalam sajak-sajaknya. Sepertinya pada bahasa Betawi ia temukan daya dobrak yang pas dengan ruh pemberontakan sastera yang diusungnya. Chairil telah menjadi pionir dari kemungkinan-kemungkinan bahasa Betawi sebagai kekuatan bahkan medium pengungkapan sastera, sebelum nantinya datang SM Ardan, Firman Muntaco, Pramudya A Toer.
Dipinggirkannya kata tiap seraya majukan kata saban. Tapi Chairil mengawali sajaknya “Hukum”: Saban sore ia lalu depan rumahku. Orang lebih memakai jari atau jemari, tapi Chairil memilih jeriji yang sangat khas Betawi dalam sajak “Kenangan”. Katanya, Di antara jeriji itu itu saja. Orang Betawi emoh menyebut gedung melainkan gedong, Chairil pun ikut dalam sajaknya “Rumahku”. Ditulisnya Kulari dari gedong lebar halaman.
Cara gaya Betawi dalam bertanya diikuti Chairil, bukan dengan bagaimana tapi gimana. Periksalah sajak “Sorga”, gamitan dari tiap pelabuhan gimana? Kata mampus itu kasar, Chairil tanpa sungkan memakainya dalam sajak “Sia-sia”. Katanya, Mampus kau dikoyak-koyak sepi. Begitu juga kata bini yang dianggap tak sopan malah dipakai sebagai judul sajaknya “Kupu-kupu malam dan biniku” dan bagian dari sajaknya “Rumahku”, Di sini aku berbini dan beranak. Masih bisa lagi disebut pemakaian kata nyesak (menyesak), kuyup (basah semua), gundu (kelereng), dan ketawa (tertawa).
Dalam sajak-sajak terjemahannya lebih banyak lagi bertebaran bahasa Betawi. Misalnya malahan (bahkan), meloncer (melonggar), kerbo (kerbau), utan (hutan), enek (rasa mual), nangis (menangis), colong (curi). Dalam sajak “Mirliton” karya E. Du Perron si sastrawan Indo kelahiran Jatinegara, ia juga mendokumentasikan ungkapan Tionghoa-Melayu Betawi di dunia pelacuran kelas bawah Jakarta zaman sebelum perang, yakni pehong atau raja singa alias sipilis.
Chairil bukan sekadar “si binatang jalang” yang doyan kluyuran mereguk ilham memasuki lingkungan “dari kumpulannya yang terbuang” alias kelas bawah Jakarta di kampung-kampung. Tetapi telah menjadi medium omong Betawi yang merupakan bahasa kelas bawah Jakarta menemui kekuatannya. Terbukti memang dalam sajak-sajaknya ia berhasil mengorek sampai ke akar kata-kata Betawi itu dengan cara-cara yang kadang-kadang luar biasa, sering mengagetkan, dan mengagumkan sehingga pendobrakan tabu-tabu bahasa untuk mendapatkan vitalitas sajak dapat diraihnya.
Secara genalogis Chairil bukan Betawi. Ia lahir 26 Juli 1922 di Medan. Tapi sebagai urban di Jakarta dia telah menjadi orang Betawi melalui pengalaman yang disebut Umar Kayam; “lepas hubungan dengan akar kebudayaan daerahnya dan mungkin sekali menemukan pada tradisi Betawi itu satu akar baru yang lebih comprehensible”.
Sebab itu dalam karya Chairil orang dapat temukan jaringan dari referensi-referensi secara puitis, budaya dan sosial-antropologi yang nyata dan punya pengaruh yang menentukan sebagai simbol semua cintanya kepada Betawi-Jakarta. Karyanya bukan hanya diwarnai kosa kata Betawi, malahan dalam keseluruhannya membawa sifat khas budaya Betawi, yaitu spontanitas.
Tak ayal sajak-sajaknya menjadi sang lain dari kecenderungan umum puisi dan gaya bicara Melayu kelompok Pujangga Baru yang mendayu-dayu saat itu, Chairil tampil dengan gaya yang langsung serta melabrak. Karyanya pun merupakan liputan warna pelangi kekayaan dan kedinamisan sejarah Jakarta yang hidup di kampung-kampung, tetapi anehnya sebagai kota justru tumbuh nafsu yang begitu rupa ingin menghapus citranya sebagai kampung besar.
Padahal sejak awal Jakarta oleh Kompeni tidak pernah dirancang untuk menjadi kota dan warganya paham hidup berkota. Kota Batavia adalah markas dagang. Sebab itu rasis. Ruang adalah kelas dan uang. Orang-orang kulit putih hidup terpisah sebagaimana juga yang lain warna kulitnya dibuat sedemikian rupa terpisah dalam kampung-kampung yang direkayasa sebagai kantong etnis: Kampung Bugis, Kampung Jawa, Kampung Bali, Kampung Makasar, Kampung Arab, Kampung Cina, dll.
Tetapi, justru strategi politik segregasi perusahaan multinasional VOC itu dikikis oleh kampung-kampung tersebut. Kampung-kampung tumbuh menjadi induk lahirnya sifat-sifat kosmopolitan yang manusiawi, inklusif, dan interkultural.
Sajak-sajak Chairil adalah rekaman liputan warna-warni pelangi wajah kampung itu. Sajaknya menandaskan ia adalah orang kampung dengan sikap kosmopolit yang oleh dunia kolonial disembunyikan dan hanya dilihat sebagai sarang dekadensi.

Berlatarbelakang itulah jika Lance Castles dalam studi klasiknya Etnik Profil Jakarta menyatakan “Di Jakarta Tuhan menciptakan orang Indonesia”, tetapi sebelum menjadi orang Indonesia itu seperti dikatakan Khayam “mengorbit dulu dalam kebudayaan Betawi”, maka tak salah lagi salah satu contoh suksesnya proses ini adalah Chairil.
Kini, Jakarta—setelah lebih 50 tahun penyair besarnya itu wafat—harusnya belajar dari Chairil untuk membangun diri dari kampung, bukan sibuk mengamuk dan tidak percaya diri akan wajah mukanya sebagai kampung besar.
Tentu saja betul jika kini Jakarta berkaca dan memandang wajah mukanya yang terasakan memang apa yang digambarkan Chairil: “Aku berkaca / Ini muka penuh luka / Siapa punya? …” Tetapi, cobalah percaya sesungguhnya ratapan itu sudah saatnya dikasih ucapan dan lambaian tangan sebagaimana sajak itu diberi judul oleh Chairil: “Selamat tinggal”.
Mari berangkat dan mengambil manfaat dari yang ada. Berangkat dan mengambil manfaat dari kampung sebagai akar Jakarta. Sebab bukan tak mungkin dari sini Jakarta dapat vitalitas, sehingga “bisa hidup seribu tahun lagi”.
Dikutip dengan se-izin penerbit Masup Jakarta dari buku Susan Blackburn, Sejarah 400 Tahun Jakarta. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee atau kontak langsung ke 081385430505