Bagi penduduk Betawi, petasan dan lebaran seumpama gigi dengan gusi. Dekat sekali. Apa sebab?
Lebaran alias idul fitri ialah hari raya kembalinya manusia kepada fithrah atau ‘kesucian asal’. Puasa Ramadhan adalah suatu proses latihan pembersihan diri. Tak ayal di dalam menjalankan puasa dan perayaan hari Lebaran sebagai puncaknya upaya-upaya pengusiran segala macam kekuatan jahat atau gelap (zhulm) yang membuat kebangkrutan spiritual menjadi sangat penting. Nah, dalam konteks mengusir kekuatan jahat itulah petasan dianggap sejalan.
Petasan jelas bukan tradisi Islam, tetapi berasal dari budaya kuno orang Cina yang berkembang menjadi bagian dari unsur budaya Betawi jauh sebelum mereka mengenal ajaran Nabi Muhammad. Ketika Islam datang bersama kekuatan Fatahillah di Sunda Kalapa dan kota bandar itu diberi nama baru Jayakarta, orang-orang Cina punya perkampungan yang terletak dekat alun-alun dan mesjid. Merujuk pada satu-satunya gambar kota Batavia yang dibuat oleh C. Matelief de Jonge (1648), maka letak kampung Cina itu di sebelah timur Ciliwung.
Baca Juga:
P. de Roo de la Faille, seorang kronikus Batavia tempo deoloe, meriwayatkan bagaimana kota Batavia menjadi kota Cina pada perayaan tahun baru Imlek. Terutama petasan disundut besar-besaran dan jedar-jeder sampai di pelosok-pelosoknya. Seperti hujan yang turun lebat saat Imlek dianggap semakin baik, maka begitu juga jedar-jeder petasan yang semakin banyak dianggap semakin bagus karena dengan demikan segala kekuatan jahat dan sumber malapetaka akan hilang tidak bersisa. Saking banyaknya petasan disundut yang bisa bikin kebakaran, maka pada 1668 mulai ada upaya pelarangan pasang petasan di Batavia.
Lantas sejak kapan petasan dicomot orang Islam di Batavia yang sohor disebut abdi Kompeni sebagai orang Slam? Ini dapat ditelusuri sesaat setelah peristiwa Chineesche troebelen pada 8–10 Oktober 1740 yang oleh warga Cina dikenal sebagai peristiwa pembantaian ‘orang-orang Cina’ di Batavia. Saat itu banyak warga Cina yang masuk Islam dan dengan demikian diidentifikasi sebagai orang peranakan pribumi. Pada abad ke-18, saking banyak orang Cina yang masuk Islam, maka Kompeni mengangkat Kommandant der Parnakkans Chineezen. Mereka memotong kuncir yang disebut orang Belanda geschoren Chineesche sebagai simbol pelepasan dengan adat budaya lamanya, tetapi dalam prakteknya tentu bukan mudah. Pasang petasan adalah salahsatu tradisi yang sukar mereka lepaskan.
Tetapi, bisa jadi tradisi pasang petasan saat bulan puasa dan Lebaran umat Islam di Betawi itu sudah lebih lama dari masa ketika orang-orang Cina potong kuncir mereka dan menjadi orang Slam. Sebab sejak masa Kapitan Cina pertama, Souw Beng Kong, yang menjadi partner Jan Pieterzoon Coen membangun Batavia pada 1619 sudah ada tokoh-tokoh penting Cina yang Islam. Intchie Mooeda, salah seorang menantu Souw Beng Kong, adalah muslim. Gouw Tjay, sekretaris Souw Bengkong, juga muslim dan di tanahnya yang luas di Angke dia mendirikan mesjid.
Sebenarnya bukan hanya orang Betawi yang ketularan Orang Cina dalam perayaan memasang petasan. Orang Belanda dan terutama pejabat-pejabatnya juga ikut pasang petasan saat perayaan Natal dan Tahun Baru Masehi. Tetapi, jenis yang dipasang terutama adalah petasan kembang api. Salahsatu yang tersohor dalam sejarah Batavia tempo doeloe adalah petasan kembang api zaman Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra (1761–1775).
Dalam perjalanan sejarah Orang Betawi mengadopsi pula petasan kembang api. Petasan jedar jeder dan kembang api menghiasi hampir semua perayaan penting di dalam kebudayaan Betawi. Tetapi, terutama perayaan yang mereka identifikasi sebagai Lebaran. Orang Betawi memiliki kepercayaan bahwa Lebaran itu bukan hanya Idul Fitri dan Idul Adha yang disebut Lebaran Islam, tetapi juga Lebaran Cina (Imlek) dan Lebaran Belanda (Natal, Tahun Baru Masehi). Petasan dalam konteks semua Lebaran itu menjadi identitas dan simbol harapan-harapan terdalam orang Betawi atas suatu perayaan yang sesunguhnya juga harapan siapa saja yang hidup, yaitu agar terbebaskan dan bersih dari segala kejahatan. Petasan memang memekakkan telinga, tetapi adakah yang lebih indah dari suara lantang harapan bersama ini?
Lebih jauh baca buku:
Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.
Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta karya Robert Cribb yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Jakarta 1950-1970an karya Firman Lubis yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505