Rapat IKADA, Rapat Raksasa Orang Kampung Jakarta

0
3658
Bung Karno memberikan salam nasional kepada massa rakyat. Tampak di sebelahnya Moh. Moeffreni Moe’min (Ketua BKR Jakarta Raya) dan diikuti dari belakang Bung Hatta, Tan Malaka bertopi tuan kebun dan anggota kabinet, seperti Ali Sastroamidjoyo. Terlihat juga Adam Malik berkacamata hitam di sebelah kiri depan. Sumber : Arsip Foto IPPHOS 1945-1950 Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia

Sejak pagi hari pada 19 September 1945, rakyat dari berbagai kampung di sekitar Jakarta—Bekasi, Bogor, Banten, Depok, Karawang, Ciamis, Tasikmalaya, Cibarusah, Tanggerang, bahkan Bandung, dan Sukabumi—bergerak menuju lapangan Ikatan Atletik Djakarta atau Ikada di sudut tenggara Koningplein, tempat yang di zaman Jepang biasa diselenggarakan rapat-rapat massal.

Puluhan ribu bergerak menuju yang sekarang menjadi lapangan Monas. Mereka berjalan kaki bermobil, berkereta api, dan semua sarana pengangkutan serta perhubungan yang telah berhasil diambil alih dari kuasa militeristik Jepang. Perintah dari Sekutu agar Jepang menyerahkan Jakarta dalam keadaan status quo telah diubah dengan pelan tetapi pasti sejak awal September 1945. Kota Jakarta lambat laun menjadi penuh tempelan pamflet-pamflet dan corat-coret semboyan yang menyatakan dukungan terhadap Republik yang baru merdeka. Demikian Jakarta menjadi “Kota Juang”.

Peristiwa Ikada itu adalah salah satu perjuangan yang paling historis setelah proklamasi. Sebab itu Mohammad Hatta berkali-kali menyatakan bahwa tidak mungkin memperingati Proklamasi 17 Agustus 1945 tanpa memperingati Rapat Ikada 19 September 1945. Memperingati Proklamasi  harus satu kesatuan rentetan dengan memperingati Rapat Ikada.

Kenangkanlah bagaimana orang kampung berduyun-duyun merapat ke lapangan Ikada. Mereka tumplek sekitar 250.000 dalam rapat raksasa. Ini rapat orang kampung. Rapat massa terbesar dalam sejarah abad ke-20 di Indonesia.

Baca Juga:

  1. Sejarah Silat Betawi
  2. Masjid Tua Al-Makmur Tanah Abang
  3. Sabeni Jago Tanah Abang dan Etik Silat Betawi

Dari kampung-kampung mereka keluar. Jago-jago silat Betawi pun ikut. Mereka membuat dapur umum, warung-warung yang menyediakan makan minum murah (kalau tidak dapat dikatakan gratis), membuka pos-pos palang merah, membuat ribuan bendera-bendera dan ratusan spanduk. Jika lewat iring-iringan yang berteriak “Sekali Merdeka Tetap Merdeka.” Lantas orang-orang kampung yang menyaksikan sepanjang jalan itu membalas dengan teriakan “Sekali merdeka tetap mereka”. Lantas bersama mereka teriak: “Hidup Bung Karno”, “Hidup Indonesia”. Suasana ini menunjukkan di masa awal setelah proklamasi orang-orang kampung itulah kekuatan yang paling nyata. Republik Indonesia yang masih orok itu sesungguhnya ditegakkan berdirinya dan ditiupkan ruhnya nafasnya oleh orang-orang kampung dan para pesilat. Republik Indonesia berhutang besar kepada mereka. Wajar jika sejarawan Harry Poeze orang-orang kampung itulah wajah muka Republik yang kasat mata, sementara pemerintah yang sudah dibentuk pada 18 Agutus masih tak kasat mata karena banyak menimbang-nimbang.

Rapat Ikada menjelaskan jika orang kampung menjadi wajah muka Republik dan benteng massa terbesar dalam sejarah abad ke-20 di Indonesia. Mereka tidak takut menghadapi resiko meski dari sejumlah foto sezaman yang dibuat IPPHOS terlihat jelas di tempat acara dilaksanakan sedadu Jepang mengepung dengan mitralyur, bedil bersangkur telanjang dan tank-tank serta mobil lapis baja. Mereka membajiri lapangan sehingga serdadu Jepang tak berdaya. Bahkan takut jika bertindak menimbulkan kekacauan. Memang empat hari sebelum rapat itu, pada 15 September 1945, Sekutu telah mendaratkan pasukan kecilnya untuk menyiapkan kedatangan armada kapal perang dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris (5th Cruiser Squadron) HMS Cumberland di Pelabuhan Tanjung Priok yang dipimpin Laksda W.R. Patterson. Ikut di antaranya  Ch. O. van der Plas yang di mata kaum Republik sebagai lawan yang licik. Keesokan harinya, 16 September, bergabung kapal penjelajah ringan HM Tromp dari Angkatan Laut Belanda. Dari kapal perang Belanda itu didaratkan sejumlah petugas NICA dan satu desatemen marinirnya di Jakarta.

Kepala Pemerintah Militer Jepang, Jenderal Nagano, merespon situasi itu dengan memberikan keterangan resmi larangan berkumpul lebih dari 15 orang serta kepemilikan senjata. Tetapi, arus keberanian tidak bisa lagi dihalangi. Propaganda untuk demonstrasi besar oleh Komite van Aksi semakin gencar. Komite van Aksi sebagai gabungan organisasi pemuda pelajar ini dibentuk bersama BKR (Badan Keamanan Rakyat) menyusul ledakan semangat pembebasan dan mulainya sesuatu yang baru begitu proklamasi dibacakan. Mereka bahu membahu memanfaatkan api semangat bersiap membela kemerdekaan yang berkobar di kampung-kampung melalui jaringan yang luas dan sudah dibentuk pada masa Jepang. Sebab iu meskipun mobil-mobil dengan mikropon keluar masuk jalan-jalan raya Jakarta menyerukan larangan terhadap rapat Ikada, tetapi di dalam kampung diisi oleh penerangan, pertemuan terbtasa berisi agitasi, penyebaran pamplet-pamplet.

Kampung-kampung tampak paling siap menyambut kedatangan Sekutu. Sikap mereka tegas bahwa tidak mau pasif. Sesuatu harus dilakukan. Apa yang harus dilakukan? Meminjam istilah Tan Malaka “krachproef” alias unjuk kekuatan. Mereka mengincar 17 September, saat peringatan sebulan proklamasi. Di sini Sukarno-Hatta bisa mengucapkan pidatonya sebulan proklamasi yang menegaskan Indonesia berdaulat dan keinginan semua rakyat. Tetapi, karena persiapan-persiapan yang penuh tantangan, utusan-utusan Jepang datang kepada Sukarno menyetop rencana itu—maka rapat raksasa yang diangankan ini diundurkan dua hari.

Di tengah ancaman tentara Jepang dan Sekutu serta Belanda, di bawah terik matahari 19 September yang membakar orang-orang kampung berkumpul mengadakan massa actie. Pada hari inilah dijungkirbalikan tuduhan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 hanya keinginan segelintir elite, bukan kehendak rakyat banyak. Bahwa proklamasi bukan buatan Jepang, tetapi cita-cita luhur dan buah perbuatan masyarakat luas. Rapat Ikada adalah hari pembuktian kepada dunia internasional bahwa Indonesia sudah tegak berdiri dan siap dibela sampai tetes darah penghabisan. Dunia harus membuka mata bahwa rakyat dan pemimpin Indonesia punya satu tekad satu hasrat: Proklamasi adalah suatu point of no return.

Sukarno dan Hatta diiringi sejumlah menteri dan para penasihat diantar pemuda pelajar ke lapangan Ikada dengan tiga mobil. Ketika sampai memarkir mobil di batas Jalan Merdeka Timur hari sudah senja. Jam menunjuk angka 16.15. Moefreni Moe’min sebagai Komandan BKR Jakarta yang menjadi penangungjawab keamanan kota dan mengetuai acara Ikada menyambut serta mengawal mereka menembus massa yang mengelu-elukan: “Hidup Bung Karno, hidup Bung Hatta, Merdeka”. Setelah dicegat tentara Jepang di pintu masuk yang dapat diberi pengertian oleh Sukarno, mereka menuju mimbar yang dibuat dari kayu dan bambu. Tidak sampai lima menit Sukarno berpidato. Tetapi, itulah pidatonya yang paling menggetarkan di dalam sejarah perjuangannya. Nadanya lunak, hanya menyuruh orang pulang dan percaya pemerintah, tetapi betapa kuat wibawanya. Sukarno menunjukkan kepada lawan dan kawannya kemampuan besarnya menguasai massa rakyat ratusan ribu. Saat itu seperti dikatakan Chairil Anwar adalah momentum Sukarno dan rakyat “sudah satu zat, satu darah, satu urat”. Sama dalam semangat: fortiter in re, berprinsip kuat untuk suatu perubahan total dan memulai pembaruan tanpa kompromi terhadap sisa-sisa kolonial lahir serta batin.

Melalui wajah ratusan ribu orang-orang Kampung Jakarta dan sekitarnya Republik menentang pemerintah Jepang yang merasa masih menjadi tuannya dan tentara Sekutu penguasanya serta tentara Belanda yang ingin menjajah kembali bahwa Indonesia ada juga punya kekuatan kekuasaannya sendiri. Sekali lagi mengutip Mohammad Hatta bahwa tidak mungkin memperingati Proklamasi 17 Agustus 1945 tanpa memperingati Rapat Ikada 19 September 1945. Memperingati Proklamasi  harus satu kesatuan rentetan dengan memperingati Rapat Ikada. Sebab jika tidak maka tak ada artinya dan akan gagal mereguk hikmahnya, yaitu menemukan kembali sejarah munculnya semangat baru dan semangat bersama memulai Indonesia merdeka untuk membela nasibnya rakyat kecil di kampung-kampung dan desa-desa yang terus dimanipulasi hak-haknya.

LEAVE A REPLY