Permainan Tebak-Tebakan Betawi

0
6171
Rano Karno sebagai Si Doel yang dalam cerita buatan Aman Dato Madjoindo senang bermain tebak-tebakan.

Anak-anak Betawi tempo dulu pada malam terang bulan biasanya sering berkumpul di halaman rumah. Mereka duduk-duduk di tikar yang sengaja digelar di halaman rumah atau di bale-bale yang sengaja diseret ke halaman terang bulan.

Anak laki-laki biasanya berkumpul sesama anak laki-laki, sedangkan anak perempuan berkumpul sesama anak perempuan. Namun, kalau jumlah mereka tidak banyak, sering juga anak laki-laki dan anak perempuan bergabung menjadi satu dan terlibat dalam satu permainan.

Sebenarnya, pada malam terang bulan yang mereka lakukan bisa permainan apa saja? Anak-anak perempuan bermain papan congklak atau main bekel, sedangkan anak laki-laki bermain umpet-umpet (disebut tak umpet) atau bermain damdas. Namun, yang paling menggembirakan pada malam terang bulan adalah bermain bade-badean (tebak-tebakan). Mengapa?

Karena main tebak-tebakan ini bisa mengundang tawa kalau pelaku yang harus menjawab salah memberi jawaban, atau jawaban yang sengaja dibuat untuk mengundang tawa. Misalnya, ada pertanyaan “mengapa seorang kakek yang pakai peci haji disapa dengan Pak Haji atau Haji?” Kalau ada yang menjawab karena kakek itu sudah pergi haji, akan langsung diralat oleh yang bertanya, bahwa kakek itu disebut haji karena tidak memakai topi koboi, seumpama begitu maka akan disebut pak koboi atau koboi. Semua pun tertawa gembira.

Baca Juga:

  1. Pala Kaki Permainan Anak-Anak Betawi Condet
  2. Tari Silat Betawi Namanya Blenggo
  3. Mengusut Asal-Usul Lenong

Contoh lain, kalau ada pertanyaan, “binatang apa yang kakinya di kepala, perutnya di kepala dan dadanya di kepala?” meskipun jawabannya sudah diketahui, yaitu kutu kepala manusia, tapi mula-mula akan dijawab, “mana mungkin ada binatang yang kakinya di kepala, perutnya di kepala dan dadanya di kepala”. Kemudian, si penanya akan menjawab mungkin saja, yaitu kalau kutu bersarang di kepala manusia. Maka semuanya akan tertawa.

Contoh lain lagi, kalau ada pertanyaan, “kalau ada orang mau mancing yang mula-mula dicari apa?”. Biasanya dijawab bersama, “ya tentunya cacing untuk umpan”. Namun, jawaban yang dikehendaki oleh penanya adalah “pinggiran sungai, empang”. Maka mereka pun tertawa gembira, menertawakan yang menjawab “cacing untuk umpan”.

Meskipun materi tebak-tebakan atau bade-badean dari waktu ke waktu itu-itu saja, mereka selalu berulang-ulang melakukannya. Malah sebenarnya, jawabannya juga sudah mereka ketahui, tetapi mereka selalu memberi jawaban yang salah. Kalau pertanyaan itu dijawab langsung yang benar tentu tidak akan menimbulkan tawa gembira, padahal yang diinginkan dari acara tebak-tebakan itu adalah suasana kegembiraan. Malah ada kemungkinan, pertanyaan yang sudah diajukan setelah beberapa lama akan dimunculkan lagi.

Materi tebak-tebakan itu bisa mengenai apa saja, seperti yang berkenaan dengan binatang, dengan tumbuh-tumbuhan termasuk buah-buahan, dengan manusia, dengan alam, atau dengan hal-hal lain. Contohnya, berkenaan dengan binatang, antara lain: “ Binatang apa yang tanduknya di kaki?” Jawabannya: “ayam jago”. Atau: “Mengapa anjing kalau berlari suka menoleh-noleh ke belakang?” Jawabannya: “karena tidak punya kaca spion.” Ada lagi: “Binatang apa yang kakinya cuma tiga?” Jawabannya: “anjing lagi pipis.”

Lantas masih ada: “Apa bedanya onta dengan taoge?” Jawabannya: “onta di arab, taoge diurab”. Kemudian: “Apa bedanya semut sama orang?” Jawabannya: “orang bisa semutan, sedangkan semut tidak bisa orangan”. Juga: “Mana yang lebih panjang buntut gajah dengan buntut kura-kura?” Jawabannya: “buntut kura-kura karena buntut kura-kura sampe nyerempet ke tanah, sedangkan buntut gajah tidak.”

Yang berkenaan dengan manusia, antara lain adalah: “Dipikul bukan barang, ditanam bukan tanaman, apa tuh?” Jawabannya: “orang meninggal”.  Lalu: “Mengapa orang mati harus dimandiin?” Jawabannya: “karena dia tidak bisa mandi sendiri.” Ada lagi: “Tukang apa yang kalau dipanggil, malah lari?” Jawabannya: “tukang copet”. Kemudian: “Bulu apa yang bisa jalan-jalan?” Jawabannya: “Bu Lurah.” Juga: “Bangku apa yang bisa shalat?” Jawabannya: “Bang Kusnadi”.

Tebak-tebakan atau bade-badean Betawi sejatinya adalah medium pendidikan kedekatan sosial, sekaligus pendidikan retorika yang bukan saja dalam artian kepandaian berbahasa dan berargumentasi, tetapi juga melatih kekuatan logika serta mengasah kecerdasan berpikir kritis.


Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Abdul Chaer, Folklor Betawi, hlm. 138-141. Bukunya tersedia di  TokopediaBukalapak, dan Shopee   atau kontak langsung ke WA 081385430505

Lebih jauh baca:

400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapakdan Shopee.

Wilayah Kekerasan di Jakarta karya Jerome Tadie yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Profil Etnik Jakarta karya Lance Castles yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Batavia Abad Awal Abad XX karya Clockener Brousson yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Jakarta Punya Cara karya Zeffry Alaktiri yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee.

Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukaLapakdan Shopee.

Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api karya Margreeth van Till yang bisa didapatkan di Tokopedia dan Shopee.

Dongeng Betawi Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang bisa didapatkan di TokopediaBukalapak, dan Shopee atau telpon ke 081385430505

Buku terkait dengan artikel.

LEAVE A REPLY