Ngerahul Betawi

0
2160
Warung pinggir jalan di Batavia pada pertengahan abad ke-19 tempat ngerahul, diambil dari Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, Vol. 15, No. 7, 1853.

Orang Betawi punya cara membuang kejenuhan rutinitas yaitu dengan ngerahul. Ini berasal dari kata dasar rahul, artinya kongko ngalor-ngidul untuk membunuh jenuh sesudah berjibaku memeras otak dan tenaga secara rutin. Semula dilakukan di tempat-tempat mangkal yang terbuka, seperti pos kamling, warung kopi, balai warga, dan lain sebagainya.

Di tempat inilah mereka saling bercerita ringan, lucu, sambil sesekali terkadang memaki keadaan. Setelah puas mereka pulang dengan perasaan plong. Beban di pundak yang menggelayut seolah runtuh berhamburan. Begitulah keperluan warga yang membutuhkan ruang bersantai terpenuhi.

Ngerahul bisa dikaitkan dengan pemikiran seorang filsuf dan sosiolog Jerman, Jurgen Habermas, tentang ruang publik (public sphere). Ruang publik ini merujuk pada seluruh realitas kehidupan sosial yang memungkinkan masyarakat bertukar pikiran, berdiskusi serta membangun opini publik secara bersama. Ruang ini bukan sekadar tempat tatap muka, namun menjadi sarana yang memungkinkan publik dapat menyalurkan opini atau pendapatnya secara bebas tanpa  tekanan dari mana pun, termasuk negara.

Baca Juga:

  1. Persaudaraan dalam Makanan Natal, Imlek, dan Lebaran
  2. Bir di Jawa
  3. Ketika Ejekan SARA belum Masalah di Jakarta

Konsep public sphere menginginkan terciptanya ruang diskursif yang memungkinkan individu dan kelompoknya mendiskusikan masalah bersama untuk mencapai kesepakatan. Di dalamnya ada rasio dan rasionalitas yang menopang segala pendapat serta argumen. Rasio merupakan alat ampuh melawan adanya perbedaan kelas sosial dan ketimpangan dalam kehidupan sosial. Pentingnya rasio, karena dalam diskusi yang rasional, tidak melibatkan urusan-urusan pribadi, tetapi lebih untuk kepentingan bersama.

Ngerahul memang bukan saja menjadi media kongko melepas penat, juga merupakan wadah silaturahmi yang tidak hanya berisikan ngobrol tanpa ujung pangkal, namun juga mengedepankan pencerahan pada segi pendidikan politik, kebudayaan dan kemanusiaan yang multikultur.

Ngerahul tumbuh dan menjadi kebiasaan masyarakat Betawi bermula dari kebutuhan pribadi tiap individu untuk berkumpul menghilangkan jenuh rutinitas. Pada gilirannya kepentingan pribadi itu bermetamorfosa menjadi keinginan komunitas untuk lebih serius dan intensif merespons berbagai isu yang berkembang.

Kongko dimaknai lebih sebagai diskusi yang diperluas dan dibuka kepada siapa saja yang ada di ruang rahul. Sebagai ruang diskusi, hadirin tanpa memandang kelas dan gendernya bebas berpendapat dan berargumen atas topik yang dibicarakan. Di dalamnya tentu silaturrahim dan tatap muka menjadi pemandangan yang kentel. Ngerahul bukan forum yang memutuskan sesuatu, melainkan forum untuk membuka wacana dan sudut pandang sehingga kita terus mendapat ilmu baru.

Ngerahul yang diadakan dalam arena terbuka dan dihadiri oleh beragam tipe manusia serta dalam rentang waktu berbeda (harian, mingguan, dan seterusnya), tentu memiliki pegiat fanatik, biasa, dan ala kadarnya. Karena sifatnya yang amat longgar dan terbuka itu, ngerahul menjadi ruang publik cair dan tidak saling mengikat dalam kesepakatan.

Tetapi masyarakat diasumsikan bisa menyerap hal-hal yang tak terpikir. Sepulang dari ngerahul diharapkan mereka menjadi pendekar-pendekar di masyarakat, di tempat kerja, dan di lingkaran manapun mereka terlibat. Sebagai feedback atas itu, ngerahul mempersilahkan masyarakat untuk urun rembug karena nanti akan ada formula atau pemikiran yang dapat dielaborasi.

Lantas apakah ngerahul dapat dikatakan penciptaan public sphere sebagaimana digagas Habermas? Agaknya sangat diragukan. Ngerahul hanya sebatas kongko tanpa memiliki topik bahasan tententu, sehingga sulit memiliki dampak lahirnya pemikiran positif. Bahwa ngerahul dapat meregangkan ketegangan syaraf setelah seharian membanting tulang, itulah mungkin tujuannya.