
Kesaksian Nani Kusumasudjana disampaikan dalam beberapa kali wawancara antara Juli 2010 dan Januari 2014 di Bogor atau di Jakarta. Dialah satu-satunya saksi langsung yang masih hidup dari rangkaian kejadian di Lembaga Eijkman pada akhir 1944 dan di markas besar Kenpeitai. Nani menganggap kejadian itu adalah kegelapan terpendam yang dilupakan oleh semua yang terlibat dan tidak banyak diketahui. Kunjungan kami adalah kesempatan pertamanya untuk berbicara tentang kejadian traumatis 66 tahun silam.
Setelah membaca manuskrip buku ini pada akhir 2013, Nani menghubungi kami dan menjelaskan bahwa ada hal lain yang ingin ia ceritakan. Akhirnya, berkat dorongan besar dari putra dan menantunya, Nani dengan berat hati memberi kami memoar yang ia tulis dan tandatangani pada akhir 1987. Memoar itu berfungsi sebagai dokumentasi penting atas apa yang terjadi di penjara Kenpeitai di Jakarta saat penjajahan Jepang pada akhir 1944.
Setelah bebas dari penjara Kenpeitai, Nani menolak untuk kembali ke Lembaga Eijkman dan sepenuhnya meninggalkan dunia sains. Pada hari ia dibebaskan, para penangkapnya memberi peringatan keras untuk tidak menyinggung-nyinggung apa yang terjadi. Bahkan ketika pada tahun berikutnya ada yang menanyakan apakah Mochtar telah membunuh para romusha, Nani hanya bisa menggelengkan kepala dan menolak membicarakannya. Nani mengetahui kematian Achmad Mochtar, peneliti dan Direkur Lembaga Eijkman, lama sesudah ia keluar dari penjara Kenpeitai, melalui Asikin Widjajakusuma, kenalan ayahnya yang juga salah satu tahanan dalam Peristiwa Mochtar.
Baca Juga:
Nani ingat menjadi salah satu yang terakhir ditangkap. Hari itu 14 Oktober 1944. Ia menduga hal ini terjadi karena statusnya sebagai staf termuda di Lembaga Eijkman, umurnya baru 23 tahun. Hanya satu minggu setelah penangkapan pertama, Nani hidup dalam ketidakpastian yang suram. Kenpeitai pada akhirnya datang lagi dan menuntut menemuinya. Nani sedang bersama teman-teman di restoran kecil untuk pegawai ketika Pak Soekro (Kepala Administrasi) datang dan mengatakan bahwa ada tamu. “Kalau saya fikir sekarang matanya tidak memandang lurus kepada saya, mungkin tak tega.” Nani pun berjalan menuju kantornya. Seorang anggota Kenpeitai yang masih muda duduk di kursi belakang mobil sedan, menunggu kedatangannya. Nani menggambarkan bagaimana anggota Kenpeitai tersebut bertanya secara sopan dengan suara lembut, “Nanny kah?” Ketika Nani mengiyakan, suaranya terdengar lebih lembut lagi, “Ikut saya.” Nani diminta duduk di kursi depan di mobil itu.
”Perasaan apa yang meliputi diriku waktu itu? Tak dapat saya terangkan: bukan kaget, mungkin heran, tetapi satu yang pasti; saya tidak takut. Terdengar aneh memang, mungkin saya dapat dibilang sombong, tapi itulah kenyataannya. Mungkin juga ini yang dikatakan orang pasrah.” Setelah singgah sejenak di laboratorium pendidikan mikrobiologi di Jalan Pegangsaan untuk alasan yang tidak diketahui, mobil sedan itu segera menuju markas besar Kenpeitai di Koningsplein. Nani langsung dikawal ke ruang interogasi. Nani melaporkan bahwa dirinya tidak dianiaya secara fisik, meskipun ia terguncang dan ketakutan oleh kasarnya suara mereka. Mereka menjelaskan bahwa yang lain sudah mengaku, dan sekarang gilirannya.
“Mengakui apa?” Nani bertanya jujur. Ia meringkas interogasi pertamanya sebagai berikut: “Karena memang merasa tidak bersalah dan sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud saya tetap pada jawaban saya: ‘Saya tidak tahu’, walaupun pertanyaan-pertanyaan dilakukan makin lama makin gencar. Rupanya kesabaran orang itu, yang memang tidak besar itu, telah habis dan mulailah saya rasakan cara Ken Pei Tai agar dapat membikin orang tahanan mengakui berbuat kesalahan walaupun mereka tidak pernah melakukannya.”
Nani kemudian dicatat sebagai tahanan dan dibawa ke sel no. 8. Di sana, dia mendapati Ko Kiap Nio dan sejumlah tahanan perempuan lain, orang-orang Indo. Kejahatan mereka adalah membuat pamflet yang memuat berita terpercaya tentang Perang Asia Timur Raya.
Nani menguraikan apa yang terjadi beberapa hari kemudian: “Tiap kali saya kembali dari pemeriksaan, saya makin tidak mengerti atau belum mengerti apa yang harus saya akui. Bahwa saya sekongkol dengan Dr. Mochtar… Hari-hari saya diperiksa makin lama makin sengit. Saya merasa bingung, saya lebih banyak diam kalau sedang dibentak-bentak. Dan kalau waktu makan tiba, saya tidak mempunyai nafsu malah tidak lapar… Setelah beberapa hari dalam tahanan dan tiap hari diperiksa, rasa tertekan mulai meliputi saya. Di luar sel menghadapi pemeriksaan Kenpeitai dan mendengar suara orang lain yang disiksa di ruangan lain…”
Nani merinci satu sesi interogasi mengerikan yang membuatnya sangat rapuh pada saat itu: Pada suatu hari saya hampir putus asa. Saya dibawa ke kamar di sebuah rumah di dalam kompleks perumahan di belakang gedung Kenpeitai. Disitu saya diinterogasi dengan sengit oleh orang Kenpeitai yang untuk pertama kali memeriksa saya (si A) dengan bentak-bentak: ”Mengaku! Mengaku!”
Masih dilanjutkan lagi: “Saya diam, betul-betul diam, tidak menyahut karena saya tidak tahu barang apa yang dimaksud. Makin lama, makin jengkel ia kelihatannya. Pada saat itu seorang Jepang lain masuk dan dengan lantang mengkhabarkan bahwa armada Amerika di sapu bersih oleh Dai Nippon. Ia bicara dalam bahasa Jepang (orang ini selalu pakai topi dari kain putih). Terus diulangi lagi dalam bahasa Indonesia. Apakah berita ini untuk mengintimidasi saya? Karena mata mereka diarahkan kepada saya. Saya tidak memberi reaksi apa-apa. Saya tahu pasti itu kabar bohong.
Waktu itu saya lihat di atas meja kecil samping, sebuah potret dari seorang wanita Jepang yang memakai kimono. Parasnya manis. Mungkinkah istri atau pacarnya? Saya perhatikan foto itu dan dengan tiba-tiba dalam hati saya “bicara dengan dia.” Tolonglah saya agar dengan selamat keluar dari ruangan ini. Apalagi waktu saya dengar mereka bicara tentang “listrik.” Kau akan di listrik bentak mereka. Saya seolah-olah tidak memperhatikannya. Saya sedang bicara dengan nona Jepang yang tidak aku kenal itu. Kemudian tangan si A menggeser foto itu dan saya terpaksa memandangnya kembali. Sebentar mereka berbicara antara mereka sendiri. Saya disuruh kembali ke sel.”
Selanjutnya Nani menguraikan hal memilukan tentang keadaan pikirannya pada hari itu: “Kalau tidak salah hari itulah K [Ko Kiap Nio] tidak saya temui di sel. Rupanya diperiksa juga. Sewaktu ia masuk sel kembali, wajahnya makin tidak cerah lagi dan mulailah lagi bentakan-bentakannya. Saya tak begitu memperhatikannya. Perasaan sepi mulai merasuki diri saya. Saya memandang saja keluar, seolah-olah masa bodoh, meski hatiku menjerit, “Tuhan, lindungi saya!”
Akhirnya, Kenpeitai meletakkan sekotak ampul di hadapannya. Kotak tersebut menurut mereka diambil dari ruang dingin di laboratoriumnya di Lembaga Eijkman, tempat Nani bekerja setiap hari. Nani mempelajari ampul tersebut dan menganggap ampul tersebut barang antik, bahkan di tahun 1944. Labelnya ditulis dengan tinta India dan tepi label terlihat berubah warna serta berjumbai karena usia. Nani menyatakan bahwa dirinya tidak pernah melihat ampul tersebut sebelumnya dan tidak tahu isinya.
Mereka kemudian menanyakan ampul vaksin yang disimpan di ruang dingin. Nani ingat bahwa para interogator menunjukkan minat yang besar terhadap ampul ini. Asal-usul ampul yang diduga dari sana oleh para interogator Jepang nampaknya menunjukkan bagian kunci dari argumen mereka tentang kesalahan Mochtar. Ampul vaksin itu merupakan satu-satunya peluang yang mungkin bisa dirusak Mochtar. Namun, Nani tidak tahu tentang itu. Dia hanya tahu bahwa ampul tersebut sepertinya penting bagi Kenpeitai.
Nani adalah orang yang mengontrol akses ke ruang dingin itu dan menyimpan satu-satunya kunci. Dalam wawancara pada 2010, Nani diminta untuk menggambarkan ruang dingin tersebut. Ruang itu bersuhu lemari pembeku, bukan lemari pendingin. Jarinya menunjuk ke tempat-tempat di ruang dingin tempat ampul vaksin disimpan, seolah-olah ia sedang berdiri di sana. Matanya melihat ke tempat-tempat yang ia tunjuk.
Sembari menunjuk ke lantai beberapa meter di depannya, ia berkata, “Ada ampul kaca, yang berbentuk seperti ini [membuat bentuk pin bowling]. Mereka sudah mengeringkan vaksin di dalamnya, tetapi saya tidak tahu jenis vaksinnya. Ada satu kotak, mungkin terdapat beberapa lusin ampul di dalamnya.” Dia ingat bahwa kotak itu sudah ada di sana sejak hari pertama ia bekerja di Lembaga Eijkman. Dan kotak itu tetap di sana hingga hari ia ditangkap Kenpeitai.
Nani sekarang mengerti bahwa dirinya ditangkap karena para romusha di Klender mati akibat tetanus. Pak Jatman, atasannya, telah memproses spesimen jaringan para romusha. Nani paham pertanyaan-pertanyaannya diarahkan untuk menjebak Mochtar, tetapi ia tidak memahami strategi interogatornya. Frustrasi dengan penolakan Nani untuk memperkuat kisah ampul yang hilang, mereka berulang kali menuntut Nani untuk mengaku. Ketika menceritakan kembali pengalamannya, suara Nani meninggi sembari membentangkan kuat-kuat kedua lengannya, berkata dengan keras dan jengkel, “Mengakui apa?” Rasanya mengerikan melihat Nani menghidupkan kembali trauma ini, seolah-olah kami sedang berada di ruang interogasi bersamanya.
Nani benar-benar tidak mengerti apa yang mereka inginkan untuk diakui. Sebuah kotak berisi beberapa lusin ampul vaksin di ruang dingin itu muncul dalam strategi Jepang untuk menimpakan kesalahan pada Mochtar dan Lembaga Eijkman. Jepang menciptakan peluang untuk menuduh Mochtar dan yang lainnya merusak vaksin romusha Klender. Kenyataan bahwa Lembaga Eijkman hanya memiliki beberapa lusin ampul—diperlukan ratusan ampul untuk membunuh 900 romusha di Klender—nampaknya tidak mengecilkan hati orang Jepang. Upaya cuci tangan selalu memiliki kandungan substansi yang tipis. Sebuah kotak di ruang dingin Nani adalah satu-satunya bukti vaksin yang ditemukan di Lembaga Eijkman. Jepang akan mengeksploitasi tanpa henti nilai kotak itu dalam ramuan tipu daya mereka, tak peduli betapa menyedihkan bobotnya.
Para interogator akhirnya memberi tahu Nani apa yang ingin mereka dengar dari Nani. Mereka menjelaskan apa yang ingin mereka yakini, bahwa Nani telah mengganti tabung biakan bakteri tetanus kering yang diambil Mochtar. Begini ucapan interogatornya, “Nanny kena tipu muslihat.” Nani mengenang, “Melihat saya terheran-heran, karena tidak tahu arti kata itu (maklum saya baru belajar bahasa Indonesia sesudah Jepang masuk Indonesia) ia sambil tertawa berkilah, ‘Wah, Nanny selalu pakai bahasa Belanda ya, tipu muslihat berarti tipu musuh lihat!’” Ini adalah permainan kata-kata yang cerdas. Dalam memoarnya, Nani menambahkan dengan sinis, “Ini namanya humor tahanan!” Nani bersikeras bahwa tidak ada tabung biakan atau ampul vaksin yang hilang dari ruang dingin itu. Sikapnya tak goyah semata karena sebuah alasan sederhana, yaitu kebenaran.
Deskripsi Nani tentang sel di belakang markas besar Kenpeitai pada dasarnya sama dengan yang digambarkan oleh tahanan laki-laki, polos dan terbuat dari kayu. Sel tempatnya ditahan menghadap ke pos penjagaan. Meskipun Nani bersikeras bahwa para penculiknya tidak melakukan penyiksaan fisik atau pelecehan seksual, saat wawancara ia menjadi lebih pendiam. Pada akhirnya ia berkata, “Mereka benar-benar menyakiti banyak orang. Mereka memperlakukan orang-orang itu sangat buruk. Selalu ada jeritan.”
Akan tetapi, dalam memoarnya Nani membedakan antara para penjaga (prajurit Jepang berpangkat rendah) yang mengawasi sel dengan para interogator Kenpeitai. Nani menggambarkan para penjaganya tidak kasar dan bahkan sesekali terlibat dalam obrolan ringan yang menyenangkan. Mereka menghormati privasi perempuan selayaknya laki-laki baik-baik. Dalam satu waktu, Nani menceritakan bagaimana para penjaga melakukan inspeksi mendadak terhadap sel-sel para tahanan. Ketika aba-aba diteriakkan—datangnya tidak terduga dalam interval acak—tahanan diminta segera berdiri dalam posisi siap di tempat tanpa bergerak sampai kepala penjaga memasuki sel untuk melakukan inspeksi. Suatu hari, Ko Kiap Nio melepas baju untuk memperbaikinya secara kilat. Dia sedang tidak mengenakan kemeja ketika aba-aba untuk berdiri terdengar.
“Tiba-tiba terdengar teriakan dalam bahasa Jepang. Atuh… kalang kabut ia menyambar pakaian yang sedang dibetulkan itu dan dalam keadaan kaget kami menunggu sang Kepala Piket berlalu. Tunggu punya tunggu, si kepala kok tak muncul-muncul. Si penjaga ketawa-ketawa, rupanya ketahuan bahwa K tak berbusana lengkap.”
Nani menceritakan kebaikan-kebaikan lain yang dilakukan para penjaga sel. Misalnya, menyelipkan tambahan makanan dari jatah makanan mereka sendiri yang sudah sedikit ke piring para tahanan. Beberapa kali seorang penjaga menyelipkan sekantong kecil permen untuknya. Para tahanan kadang-kadang diizinkan menerima makanan dari restoran yang dititipkan keluarga mereka.
Pesan Latifah Kodijat-Marzoeki untuk tidak menyamaratakan tentara pendudukan Jepang terlintas dalam pikiran. Bahkan di dalam penjara Kenpeitai yang penuh dengan penyiksaan, pembunuhan, dan penderitaan, masih muncul kebaikan versus kejahatan, serta kejadian-kejadian yang menguak sifat dan pilihan sikap manusia-manusianya, begitu pelik dan kompleks. Di antara para sipir Jepang yang berseragam militer, kebaikan dan kesopanan menonjol pada sebagian besar mereka. Regu penjaga yang mengawasi para tahanan di penjara Kenpeitai tidak hanya menunjukkan tata krama dan kesopanan, tetapi juga kebaikan dan empati terkait perlakuan mereka terhadap dua tahanan perempuan tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa para penjaga adalah prajurit biasa yang diperbantukan ke markas Kenpeitai. Para prajurit ini tidak memiliki budaya elite Kenpeitai yang kejam dan keji. Budaya itu tertanam kuat pada diri para interogator.
Nani Kusumasudjana menghabiskan empat minggu di penjara sebelum dibebaskan pada 12 November 1944. Memoarnya mengungkapkan perasaan bersalah karena selamat. Ketika itu dia merasa memiliki peran langsung—meskipun tidak menyadari bahwa dirinya telah dipermainkan—atas kematian para romusha di Klender. Nani tidak mungkin mengetahui secara pasti fakta bahwa Mochtar tidak bersalah, meskipun nalurinya mengatakan demikian. Dia menggambarkan dengan sangat rinci mimpi buruk yang jelas dan mengerikan yang ia alami beberapa saat sebelum Perang Asia Timur Raya berakhir, sekian bulan setelah pembebasannya. Pada saat itu, dia tidak punya firasat bahwa Mochtar sudah atau akan meninggal, apalagi bagaimana ia meninggal. Mimpi itu membakar ingatannya.
Pada akhir 1987, Nani menceritakan mimpi buruk yang ia alami pada Juli atau Agustus 1945: “Dan pada suatu malam saya mimpi. Saya mimpi berada di Jalan Kwitang di seberang rumah Jl. Prapatan Oom Asikin (Prof. dr. Asikin W.K., ayahnya kang Azil) ketika secara tiba-tiba melintas di depan saya, begitu saja menerjang tanpa merusak pohon-pohon dan segala sesuatu yang ada di antara Jalan Prapatan dan dan Jl. Kwitang yang sejajar, dimana saya berada, ratusan kereta-kereta kosong. Kereta-kereta yang mirip di sebuah lukisan, dimana Marie Antoinette—istri Louis ke XVI—berdiri dalam perjalanan ke guillotine dengan agung dan pasrah. Sedang saya memandang dengan heran, sekonyong-konyong saya lihat seseorang berdiri tegak di salah satu gerobak, di antara gerobak-gerobak kosong lain, dan secara tiba-tiba orang itu yang berbaju putih-putih memutar lehernya dan memandang saya. Sayup-sayup saya mendengar suaranya: “Ik ben onschuldig–waarom denken jullie dat ik schuldig ben! (saya tidak bersalah—mengapa kamu pikir saya bersalah!)” dan ia menjauh ikut gelombang gerobak-gerobak kosong, tetapi tetap memandang pada saya.”
Nani menyatakan dalam memoarnya bahwa ingatan akan mimpi tersebut secara utuh pada tahun 1987 adalah hal yang mendorongnya menuliskan memoar. Pada tahun itu, secara tidak sengaja ia menemukan memoar Ali Hanafiah yang sudah lusuh saat berbelanja di sebuah toko serba ada di Jakarta. Memoar Ali Hanafiah itu terbit pada 1976. Nani membeli dan membacanya dengan saksama. Buku itu membuatnya paham bahwa beberapa orang masih meragukan bahwa Mochtar tidak bersalah.
Dalam memoarnya, Nani mengutip buku tersebut (hlm. 27) ketika mengaitkannya dengan komentar Sukarno, “Almarhum Prof. Dr. Mochtar, harus dihukum mati, karena dia telah membunuh ribuan orang di Indonesia.” Saat itulah mimpi itu menyeruak tiba-tiba ke dalam benaknya. Nani sadar bahwa Mochtar telah menjangkaunya lewat mimpi. Nani merasa bertanggung jawab untuk mencatat semua yang ia ketahui, dan itulah yang kemudian ia lakukan.
Dikutip atas izin penerbit Komunitas Bambu dari buku J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki, Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Rōmusha 1944-1945, hlm 149-155. Bukunya bisa didapatkan dan www.komunitasbambu.id atau hubungi 081385430505
Lebih jauh baca:
Bogor Zaman Jepang 1942-1945 karya Susanto Zuhdi di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya : Sejarah dengan Foto yang Tak Terceritakan karya Aiko Kurasawa yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial Di Pedesaan 1942 – 1945 karya Aiko Kurasawa yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Soearto di Bawah Militerisme Jepang karya David Jengkins yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta karya Robert Cribb yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Nasionalisme dan Revolusi karya George McTurnan Kahin di Tokopedia, dan Shopee.
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.