Cinta Fatmawati kepada Sukarno tidaklah luntur. Tidak juga pada hari kematiannya di pagi itu. Rasa cintanya masih ada, saat Sukarno masih dirawat di Wisma Yaso, beberapa kali ia membuat masakan untuk dikirimkan kepada suaminya melalui anak-anak.
Ketika mendapat kabar Sukarno meninggal—saat itu ia berada di rumah Jalan Sriwijaya 26—sontak mulutnya berucap “innalilahi wainnailaihi raji’un”. Tatap pandangnya menggelayut menerima kabar sedih itu. Air matanya dibiarkan membanjir dalam terkaman hening yang menyayat.
Anak-anaknya sejak pagi-pagi sekali ditelepon oleh rumah sakit sudah menuju ke RSPAD. Dalam keheningan itu satu persatu kenangan indah mengapung di depan mata begitu jelas, begitu dekat. Rasanya baru kemarin ia menerima surat-surat cinta Sukarno, rasanya baru kemarin bersama anak-anak ia mengarungi suka duka bersama suaminya itu.
Baca Juga:
- Kluyuran Jakarta Bareng Bung Hatta
- Sukarno Suka Banyak Anak Tak Suka KB
- Bung Hatta di Hari-Hari Terakhir Bung Karno
Di sudut hatinya yang terdalam cinta itu sebenarnya masih ada. Dibantu beberapa orang lain, Fatmawati minta agar rumahnya ditata dan dibersihkan. Fatmawati berpikir jenazah suaminya akan disemayamkan di sana. “Yang terbaik almarhum Bung Karno disemayamkan di sini, di Jalan Sriwijaya No 26. Ini rumah keluarga.” Begitu permintaan Fatmawati.
Tetapi tak disangka-sangka pemerintah memutuskan jenazah Sukarno disemayamkan di Wisma Yaso. Fatmawati sungguh telah dibuat marah dan kecewa oleh campur tangan pemerintah itu. “Tidak, idak ado cerito! Inilah rumahnya.”
Batin Fatmawati benar-benar terguncang. Ia amat terpukul dan merasa tercampak ke sudut yang paling sunyi. Hak-hak keluarga benar-benar telah dihilangkan. Menurut Manai Sophian, mantan Duta Besar RI di Uni Soviet, permintaan isteri Sukarno yang lain, Fatmawati, agar jenazah Sukarno disemayamkan di rumahnya Jalan Sriwijaya, bukan di Wisma Yaso, juga tidak diizinkan.
Alasannya adalah karena akan diadakan upacara pemakaman dengan penghormatan militer atas jenazah Sukarno. Sempat terjadi perundingan antara Hoegeng, Kepala Polisi RI, yang waktu itu bertindak mewakili keluarga Sukarno dengan Alamsyah Ratu Prawiranegara dan Tjokropranolo, asisten pribadi Soeharto, untuk memutuskan tempat Sukarno akan disemayamkan.
Aroma politis tercium keras di hari kelabu itu. Pemakaman yang seharusnya menjadi perkara biasa dan menjadi hak penuh keluarga, tetapi pemerintah tidak memberikan hak dan kesempatan itu kepada keluarga Sukarno.
Perundingan yang diwakili Hogeng pun tidak mendapatkan kata sepakat. Akhirnya Soeharto sendiri yang menetapkan lokasi penguburan jenazah Sukarno. Presiden Soeharto memutuskan untuk memakamkan Sukarno di Blitar, dengan alasan supaya dekat dengan ibunda Sukarno.
Ketika jutaan rakyat Indonesia terpaku kelu di tempatnya masing-masing disertai duka yang mendalam atas kepergian pemimpin besarnya itu, Fatmawati termangu sunyi di Jalan Sriwijaya No. 26. “Ibu memang tidak menengok jenazah Bung Karno di Wisma Yaso, tetapi seluruh perasaan ibu, seluruh kesedihan ibu, sepenuhnya tercurah ke salah seorang Pendiri Bangsa Indonesia yang kharismatik dan bervisi jauh ke depan melampaui zamannya itu.”
Saat itu Fatmawati menangis sedih sekali, lama sekali. Fatmawati sebenarnya masih tetap mencintai Sukarno. Fatmawati hanya ingin mencintai Sukarno dan mengharapkan agar Sukarno hanya mencintainya. Semua ini tercermin jelas dalam sikapnya yang memohon agar Sukarno dapat disemayamkan di Jalan Sriwijaya, tempatnya tinggal.
Sikap yang penuh harapan bagaikan orang haus mendambakan setetes air. Untuk kali penghabisan, Fatmawati ingin melihat wajah Sukarno, sendiri di rumahnya. Namun semua harapan itu sia-sia setelah pemerintah menolak permintaan itu. Kepedihan hati Fatmawati menjadi tiada bandingannya.
Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Hari-Hari Terakhir Sukarno karya Peter Kasenda, hlm. 236-238. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee dan www.komunitasbambu.id atau kontak langsung ke WA 081385430505
Lebih jauh baca:
400 Tahun Sejarah Jakarta karya Susan Blackburn yang bisa didapatkan di Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee.
Sukarno, Orang Kiri, Revolusi dan G30S 1965 karya Onghokham yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Sukarno dan Modernisme Islam karya Muhammad Ridwan Lubis yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Sukarno Muda karya Peter Kasenda yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Hari-hari Terakhir Orde Baru karya Peter Kasenda yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.
Penghancuran PKI karya Olle Tornquis yang bisa didapatkan di Tokopedia, dan Shopee.
Musim Menjagal karya Geoffrey Robinson yang bisa didapatkan di Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee dan www.komunitasbambu.com atau telpon ke 081385430505