Di rumahnya yang didesain secara eksentrik dan dilengkapi dengan perabotan petani Jawa, Cina Peranakan, dan Indisch itu pula Ong mulai dikenal sebagai kolektor benda-benda antik dan seni. Memang benar bahwa sejak Sang Legenda dan Cerita di sekitarnya masa mahasiswa pada tahun 1950-an dan 1960-an, bahkan ketika ia masih remaja di Surabaya dan Malang, Ong telah mulai mengumpulkan lukisan, patung, dan topeng. Kemudian ia menambah koleksi atau mendapatkan hadiah berupa keramik, patung, dan lukisan dari teman-temannya.
Kemampuan Ong menjelaskan sejarah benda-benda koleksinya sungguh memukau banyak orang. Cerita-cerita itu ada yang bersifat historis, tapi ada pula yang mitos. Dengan mudah Ong meneguhkan statusnya sebagai kolektor benda seni dan antik, meskipun bagi orang yang benar-benar tahu, sebagian koleksi Ong memang otentik dan punya nilai seni, tapi sebagian lagi tidak, bahkan bisa disebut junk.
Meskipun demikian, Ong pintar menciptakan mitos sehingga banyak orang yang benar-benar menganggap Ong kolektor benda seni dan antik terkemuka. Bahkan ada seorang temannya yang snobbish percaya bahwa semua koleksi Ong otentik dan bernilai seni tinggi. Ong sendiri tahu bahwa banyak di antara koleksinya yang tidak otentik. Pernah Ong dengan bangga bercerita bahwa salah satu pinggan keramiknya berasal dari Dinasti Yuan. Namun, dengan nada bercanda, Ong segera menambahkan bahwa keramik itu memang asli Yuan, tapi bukan Dinasti Yuan (1264–1368), melainkan berasal dari zaman Yuan Shikai, penguasa Cina yang konyol, setelah Revolusi Cina 1911.
Baca Juga:
- Sitor Situmorang di Pasar Senen
- Kluyuran Jakarta Bareng Bung Hatta
- Pram dan Asal-Usul Neofeodalisme di Jakarta
Ong adalah seorang hedonis par excellence, cara apa pun akan ia tempuh guna mencapai kenikmatan hidup. Seorang sahabatnya, menyebut Ong “berani malu kalau ada maunya,” khususnya bila ia mengingingkan sesuatu yang edible or drinkable. Ong sangat obsessed pada makanan enak dan minuman beralkohol dan untuk itu ia berani malu datang ke sebuah pesta meski tak diundang.
Yang penting ia bisa menikmati makanan, minuman, dan ambience pesta itu. Dengan bangga ia mengklaim diri sebagai seorang berselera makan kosmopolitan. Artinya, selain bisa menikmati makanan petani Jawa seperti tempe Malang, sambal gandaria, bandeng bakar, jangkang, dan rawon, ia juga bisa menikmati makanan Cina seperti babi panggang, babi hong, dan bakut tei. Ia pun penggemar makanan India atau Maroko. Yang jelas, Ong sangat menyukai makanan borjuasi Eropa seperti pate, terrine, foie gras, cordon blue, Hungarian salami, proscioutto, caviar, Scandinavian smoked salmon, sliced leg ham, pastrami, olives, a variety of mustards, and most of all a variety cheeses such as camembert, stilton, brie, Dutch farmer (boeren kaas). Scotch whiskey adalah minuman keras kesukaannya, selain anggur merah sebagai teman menyantap keju. Gaya hidup borjuis ini telah lama menjadi bahan pembicaraan
banyak orang. Tentang kegemarannya menenggak minuman keras, khususnya Scotch whiskey, Ong pernah bercerita bahwa ia mulai berkenalan dengan Scotch whiskey ketika ia bekerja sebagai liaison officer pada Konferensi Asia Afrika di tahun 1955. Pada waktu itu, bahasa Prancisnya masih bagus dan karena itu ia ditugasi mendampingi delegasi Laos yang kebetulan adalah peminum Scotch whiskey. Mulai saat itulah Ong mulai menjadi peminum whiskey, yang kemudian menjadi minuman yang bisa membuatnya tidur nyenyak.
Bagaimana Ong bisa membiayai gaya hidup borjuisnya itu, sedangkan ia hanya dosen UI berpangkat Golongan III/c dengan take home pay-nya tak lebih dari US $200 per
bulan? Dosen UI lainnya yang bekerja keras di banyak proyek penelitian sekalipun tak mampu hidup dengan gaya semewah Ong. Dalam komunikasi personal, Ong berkali-kali
mengolok-olok beberapa orang temannya yang telah menjadi kaya raya namun cara dan jenis makanan mereka masih tetap sekelas petani Jawa. Ong memang tak punya banyak uang, tapi ia jelas punya selera yang tinggi, Ong has more taste than money. Dalam hal ini Ong berbeda dengan kebanyakan nouveau riche Indonesia yang punya banyak uang namun tak punya selera.
Sebagai seorang hedonis sejati, Ong rela membuang energi demi usahanya mengejar kenikmatan hidup. Bila kaum cendekiawan Timur seringkali digambarkan sebagai
orang yang hidup dalam asketisme namun punya komitmen tinggi pada ilmu, Ong sebaliknya. Sekembalinya dari Yale University, ia memang mengajar di Jurusan Sejarah UI, tapi semua mahasiswanya tahu bahwa Ong tak pernah datang ke kelas dengan persiapan. Boleh dibilang ia asal datang ke kelas, kadang-kadang bahkan masih dalam
keadaan setengah hang over atau memikirkan makanan yang harus ia masak untuk pesta nanti malam di rumahnya, lalu mulai berbicara, mengajukan pertanyaan, dan mengintimidasi mahasiswa.
Ia tak pernah ingat apa yang ia ajarkan pada sesi sebelumnya. Ia lalu akan menyebut teori-teori Barrington Moore, Karl Wittfogel, atau James C. Scott bila ia sedang berpikir tentang sejarah masyarakat petani. Praktis Ong tak pernah melakukan penelitian sekembalinya dari Yale pada tahun 1975 itu. Ia pernah menjadi visiting fellow di ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies) di Singapura, tapi konon, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di sana untuk berburu makanan dan pesta. Meski tak pernah menghasilkan scholarly works setelah menyelesaikan disertasinya, Ong punya sumbangan terbesar dalam perannya sebagai public intellectual. Gagasan-gagasan orisinalnya dituangkannya dalam bentuk kolom atau wawancara di berbagai media seperti Kompas, Tempo, dan Prisma.
Di balik “kemewahan” hidup Ong, khususnya dalam mengkonsumsi makanan borjuasi Barat, Ong sekali lagi menunjukkan eksentrisitasnya. Sulit membayangkan seorang dosen UI berusia sekitar 60 tahunan masih mau naik bus kota atau jenis angkutan kota lainnya yang jelas-jelas tak nyaman dan aman.
Ong memang sengaja memilih bus kota sebagai moda transportasi dalam kotanya. Ia percaya bahwa dengan begitu ia bisa tahu lebih banyak tentang kehidupan masyarakat. Ia menikmati benar angkutan kota yang selalu padat penumpang, panas, dan berhenti seenaknya untuk mencari lebih banyak penumpang itu. Untuk membunuh waktu selama berada dalam bus kota, Ong membaca Koran internasional seperti International Herald Tribune, NRC Handelsblad, atau Le Monde. Sungguh pemandangan yang tak lazim melihat seorang penumpang bus kota di Jakarta sedang membaca koran dunia. Namun, bagi Ong itu bukan suatu hal yang aneh.
Bila kebanyakan penumpang bus kota di Jakarta mengenakan pakaian sederhana, dan cenderung beralih naik taksi bila mereka berpakaian resmi (dress up), tidaklah demikian dengan Ong. Hampir seminggu sekali Ong menghadiri pesta diplomatik yang mengharuskannya mengenakan baju batik lengan panjang atau jas dan dasi.
Ong pun dengan penuh rasa PD (percaya diri) dan tanpa merasa risih duduk atau berdiri dalam bus kota dengan jas dan dasinya. Tentu saja banyak penumpang lainnya yang menatapnya dengan pandangan aneh. Tentang hal ini, Ong akan mengatakan bahwa di New York banyak orang berjas naik bus atau subway. Rupanya ia tak pernah sadar bahwa Jakarta bukanlah New York.
Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri (ed), Onze Ong: Onghokham Dalam Kenangan, hlm. 64-68. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505