Kawin Campur di Batavia

0
3433
Nyonya rumah di Batavia pada abad ke-19. (sumber: Reizend Door Oost-Indie, Prenten en Verhalen Uit 19e Eeuw, hal 34)

Pada abad ke-17 dan ke-18, lapisan teratas masyarakat VOC di Hindia Timur terdiri dari orang-orang yang saling terhubung dalam jaringan pernikahan dan kekuasaan. Perkawinan adalah jalan memperbaiki kedudukan dan pendapatan.

Gubernur Jenderal yang memimpin dari 1650 sampai 1653, Carel Reyniersz, dan penggantinya, Joan Maetsuyker merupakan pendukung kuat perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia. Menurut mereka ada berbagai keuntungan dari hal tersebut. Para perempuan Asia lebih menguntungkan daripada perempuan-perempuan Eropa karena biaya pelayaran perempuan Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri.

Keterikatan dengan tanah kelahiran membuat para perempuan Pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka pasti akan membujuk suami mereka untuk melakukan hal serupa. Di samping itu perempuan Asia tidak terlalu serakah dibanding perempuan Belanda. Mereka pun akan puas dengan gaji yang kecil. Dengan demikian bahaya akan para pegawai yang memperkaya diri dianggap berkurang.

Dari perkawinan-perkawinan ini kelak akan lahir anak-anak. Anak laki-laki akan menjadi calon pegawai dan anak perempuan akan menjadi calon pengantin sempurna untuk angkatan baru pegawai VOC dari Belanda.

Baca Juga:

  1. Profesi yang Punah Tukang Hirkop dan Tukang Minyak Tanah
  2. Ondel-Ondel dan Korupsi 
  3. Sejarah Munculnya Golput

Dalam kasus laki-laki Eropa dengan pangkat lebih tinggi, elite pengurus, gagasan ini pun menjadi kenyataan. Mereka menikah dengan perempuan Asia dan (terutama) Eurasia. Politik perkawinan campur ini tetap dipertahankan sampai abad ke-19.

Dengan ini De Heren van de Compagnie menunjukkan bahwa mereka tidak melihat adanya manfaat bagi Timur dalam melakukan kolonisasi masal laki-laki dan perempuan kulit putih seperti yang didukung Coen.

Dengan begitu pengiriman para perempuan Eropa ke wilayah-wilayah pendudukan pun dihentikan. Bahkan diberlakukan juga larangan emigrasi bagi para perempuan Eropa. Selanjutnya pada 1669 peraturan tersebut diperlonggar dan larangan pun dihentikan.

Namun para pendatang perempuan diwajibkan untuk tinggal di dalam koloni sedikitnya selama 15 tahun. Meski telah ditetapkan kebijaksanaan bahwa pegawai-pegawai yang dikirim diutamakan yang masih lajang, namun para pejabat tinggi seperti kepala perdagangan dan anggota dewan diizinkan berlayar ke Timur bersama isteri Eropa mereka.

Artikel dikutip dari buku Reggie Bay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, hlm. 4-7.

Jika mereka telah memiliki anak maka seluruh anggota keluarga pun ikut serta. Karena para isteri ini termasuk kelompok elite kecil, maka jumlah mereka selalu terlalu sedikit untuk dapat memberi pengaruh pada masyarakat kolonial.

Hal terakhir yang disebut di atas justru dilakukan oleh para perempuan yang lahir dan besar di Asia. Di samping anak-anak pasangan imigran, pada awalnya mereka adalah perempuan Asia yang masuk ke dunia Eropa lewat perkawinan dengan pegawai Eropa.

Namun kemudian lebih didominasi oleh perempuan Eurasia yang lahir dari perkawinan antara orang Eropa dengan budak perempuan Asia. Karena sedikitnya kedatangan perempuan kulit putih, mereka pun masuk ke lapisan atas masyarakat VOC melalui perkawinan dengan para fungsionaris berpangkat tinggi.

Banyak dari dogteren van Azië ini bahkan menjadi isteri gubernur jenderal yang merupakan jabatan tertinggi di Hindia Belanda. Johanna van Ommeren, isteri ketiga Gubernur Jenderal Rijcklof van Goens (yang menjabat pada 1678–1681) dilahirkan di Batavia. Begitu juga dengan Pettronella Wonderaer dan Susanna van Outhoorn. Masing-masing merupakan isteri dari Cornelis Speelman (gubernur jenderal pada 1681–1684) dan Joan van Hoorn (gubernur jenderal pada 1704–1709). Adriana Bake, isteri Petrus van der Parra (gubernur jenderal pada 1761–1775) adalah cucu Lambertus Dudde.

Dudde adalah seorang imigran yang kemudian menjadi baljuw di Batavia yang menikah dengan seorang budak perempuan Asia. Isteri kedua Willem Alting (gubernur jenderal pada 1780–1796), Maria Grebel, juga merupakan cucu seorang budak perempuan Asia.

Bahkan pada waktu itu, di dalam lapisan atas masyarakat Eropa ada sejenis “budaya perkawinan”. Adalah kebiasaan para pegawai mencoba memperbaiki kedudukan dan pendapatan mereka lewat perkawinan yang “baik”.

Menjalin hubungan dengan putri orang yang berpengaruh pun dianggap ideal. Hal itu tidak hanya memperkaya dan memperbaiki kedudukan, tetapi juga menjamin diri mereka dalam perkoncoan. Adapun hal yang terakhir itu justru sangat penting karena kedudukan yang lemah bisa dengan sangat mudah dihancurkan.

Rumor mengenai penghinaan terhadap para petinggi atau (lebih parah lagi) rumor tentang orang-orang yang berusaha memperkaya diri sudah cukup menyengsarakan mereka yang dituduh. Kapten Johan Splinter Stavorinus—lihat Roeper dan Van Gelder, In Dienst van De Compagnie, 135—menulis pada 1769 tentang masalah ini di sepucuk surat yang dikirim ke rumahnya: “Itulah akibat dari kesewenang-wenangan pemerintah, karena kata yang paling jarang diucapkan dapat memberikan akibat yang sangat buruk ketika seseorang dipermalukan dengan kata tersebut, atau jika seseorang merasa dipermalukan dengan kata tersebut. Saya mendengar banyak orang berkata bahwa mereka tidak berani lagi mempercayai saudara [setanah air] sendiri di negeri ini.”

Pada abad ke-17 dan ke 18, lapisan teratas masyarakat VOC di Hindia Belanda terdiri dari orang-orang yang saling terhubung dalam jaringan pernikahan dan kekuasaan. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa para ayah Belanda di Timur menjodohkan anak-anak perempuan mereka—yang biasanya masih muda—demi kepentingan karier mereka sendiri.

Hal ini menjadi sangat penting dalam suatu hubungan karena menurut undang-undang, seorang isteri bahkan tunangan dapat menjadi satu-satunya pewaris. Hal ini membuat seorang janda muda atau tunangan yang ditinggal mati oleh seorang laki-laki berkedudukan menjadi pasangan ideal untuk dinikahi.

Ada banyak contoh perempuan Kreol atau Mestizo yang semasa hidupnya lebih dari satu kali menikah dengan beberapa pejabat terpandang. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan umur yang jauh antara suami dan isteri. Sang isteri biasanya sangat muda ketika dijodohkan, tidak jarang masih anak-anak.

Sebaliknya sang suami baru dianggap calon pasangan yang menarik kalau ia sudah berkarier, artinya sudah lebih berumur dari sang isteri. Contohnya Fransçoise de Wit yang dilahirkan pada 1634 dari pasangan pendatang. Ia berumur 14 tahun ketika pada 1648 menikahi direktur jenderal perdagangan di Batavia yang berumur 44 tahun, Carel Reyniersz. Pada 1650 Reyniersz diangkat menjadi gubernur jenderal.

Beberapa bulan setelah Reyniersz meninggal pada 1653, Fransçoise de Wit pun menikah lagi dengan pejabat lain. Pernikahan kembali setelah meninggalnya pasangan sangat sering terjadi dalam kalangan elite. Anggapan beberapa orang tentang terlalu cepatnya pernikahan tersebut terbaca dari dikeluarkannya dekrit pada 1642—sebagaimana terbaca dalam Gelman Taylor, “Vrouwen in De VOC-Tijd”, 32—bahwa janda-janda dilarang menikah kembali  dalam waktu tiga bulan setelah suami mereka meninggal.

 


Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Reggie Bay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, hlm. 4-7. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee  atau kontak langsung ke WA 081385430505

LEAVE A REPLY