Kawasan Petojo kini meliputi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Petojo Utara dan Kelurahan Petojo Selatan termasuk wilayah Kecamatan Gambir, Kotamadya Jakarta Pusat.
Petojo berasal dari nama seorang pemimpin orang-orang Bugis yang pada 1663 mendapatkan hak pakai kawasan tersebut. Ia bernama Aru Petuju. Perubahan dari petuju menjadi petojo tampaknya lazim di Batavia pada waktu itu, seperti halnya kata pancuran kemudian diucapkan jadi pancoran.
Baca Juga:
Beberapa tahun sebelum bermukim di kawasan yang terletak di sebelah barat Kali Krukut, Aru (Arung) Petuju bersama Pangeran dari Bone, Aru (Arung) Palaka, menyingkir ke Batavia, setelah lama gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa.
Dengan demikian, terjalinlah kerjasama antara Arung Palaka dan Belanda dalam menghadapi Sultan Hasanuddin.
Kerjasama antara dua kekuatan itu berhasil mengakhiri kekuasaan Gowa atas Bone. Sultan Hasanuddin terpaksa harus menerima kenyataan bahwa Belanda akan memegang monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan.
Sebagaimana umumnya tanah-tanah yang semula dikuasai oleh sekelompok orang di bawah pemimpin masing-masing, kawasan Petojo juga kemudian beralih tangan.
Pada 1816 kawasan Petojo sudah dimiliki oleh Willem Wardenaar di samping tanah-tanah di daerah-daerah lainnya, seperti Kampung Duri dan Kebon Jeruk yang pada waktu itu biasa disebut Vredelust.
Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Rachmat Ruchiat, Asal Usul Nama Tempat Di Jakarta, hlm. 93-94. Bukunya tersedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505