Hilangnya Komunitas Rusia, Hongaria, Inggris dan Prancis di Jakarta

0
3392
Jakarta pernah menjadi kota internasional pada 1950-an sebab banyak komunitas orang asing masih tinggal di dalamnya.

Selain orang Belanda, pada 1950-an masih ada orang Inggris yang tinggal di Jakarta. Lapangan Pancasila di Jalan Borobudur di daerah Pegangsaan waktu itu disebut sebagai Lapangan Inggris karena digunakan oleh komunitas orang Inggris untuk kegiatan rekreasi mereka, misalnya bermain cricket, permainan semacam baseball yang sangat digemari oleh mereka.

Lapangan itu juga sebagai tempat berkumpul atau klub mereka—gedung klub ini kemudian pernah dipakai sebagai kampus Universitas Pancasila setelah orang Inggris pulang sebagai akibat konfrontasi dengan Malaysia pada awal 1960-an.

Saya kadang-kadang menonton kegiatan mereka waktu itu karena kebetulan salah seorang teman saya tinggal di sebelah lapangan itu. Juga ada gereja Inggris (Anglican) yang terletak di Jalan Arief Rahman Hakim—di zaman Belanda nama jalan ini Jalan Gereja Inggris atau Engelse Kerk yang masih ada sampai sekarang.

Selain lapangan tersebut, lapangan golf Rawamangun pada 1950-an juga dikenal sebagai Lapangan Inggris. Mungkin karena lapangan golf ini mulanya dipelopori oleh orang Inggris, atau banyak orang Inggris yang bermain golf di sini.

Baca Juga:

  1. Awal Batavia Kota Markas Dagang
  2. Kisah Pangeran Afrika di Bogor
  3. Akhir Pergundikan di Hindia Belanda

Selain orang Belanda dan Inggris, ada pula penduduk ras Eropa lainnya. Misalnya, beberapa pemusik, guru piano atau guru balet di Jakarta pada 1950-an ada yang keturunan Rusia. Beberapa orang Rusia ini datang ke sini pada 1915 untuk menyelamatkan diri dari kaum Bolshevik, kemudian setelah pecah Revolusi Bolshevik di Rusia pada 1917.

Mereka antara lain terdiri dari para pemusik dan karena itu mendirikan ensembel musik di Jakarta. Pada 1930 berdiri orkes Balalaika di bawah Doblovtsky. Salah satu lagu Rusia yang terkenal, Dark Eyes, kemudian menjadi lagu Sunda: Panon Hideung. Musisi Rusia ini banyak terlibat dalam teater musik yang waktu itu terkenal sebagai komedi atau opera bangsawan.

Selain orang Rusia, juga ada orang Hongaria. Beberapa dari mereka juga menjadi guru musik dan balet. Yang saya ingat ialah Szabo, nama khas orang Hongaria. Orang Yahudi pun masih ada waktu itu, misalnya toko Ezekiel di Jalan Ir. H. Juanda sekarang—dulu jalan ini dikenal sebagai Noordwijk, sisa nama dari zaman Belanda—pemiliknya ialah orang Yahudi.

Saya pernah ke toko itu bersama ayah untuk membeli sesuatu keperluannya. Juga ada komunitas Armenia sehingga ada gereja ortodoks Armenia di Jalan Budi Kemuliaan, yang dulu bernama Scotweg. Daerah sekitar Harmoni dan Jalan Ir. H. Juanda—dulu namanya Rijswijk yang artinya daerah sawah—pada zaman kolonial terkenal sebagai daerah perbelanjaan bagi orang Eropa. Di sini terdapat berbagai toko/usaha yang pelanggannya banyak masyarakat Eropa.

Daerah ini dikenal juga sebagai Perancis kecil (Little France) karena ada beberapa toko yang dikelola oleh orang Perancis, misalnya Oger Frères (Oger bersaudara) yang membuka usaha penjahitan/pembuatan mode pakaian, dan beberapa perusahaan lain. Beberapa toko yang masih saya ingat karena kadang-kadang pergi ke sini yaitu toko Comemo dan Ataka di Jalan Ir. H. Juanda, yang antara lain menjual bahan-bahan pakaian, juga toko Beatrix.

Sekarang semua toko tersebut tidak ada lagi. Bagi kami, para remaja waktu itu, melihat orang bule tidaklah begitu aneh karena mereka masih banyak yang tinggal di Jakarta. Istilah bule untuk menyebut orang kulit putih sepanjang saya ketahui belum digunakan waktu itu. Istilah tersebut mulai dipakai pada akhir 1960-an.

Artikel dikutip dari buku Jakarta 1950-1970, terbitan Komunitas Bambu

Bahkan beberapa di antara mereka ialah tetangga dan teman saya. Saya sering bertemu mereka di jalan, toko, restoran, dan di tempat-tempat umum lainnya, bahkan juga bermain bersama mereka. Selain terbiasa bertemu orang bule, kami juga menjadi terbiasa dengan istilah-istilah atau bahasa asing, khususnya Belanda. Hal ini saya rasakan ada manfaatnya bagi saya, misalnya saya menjadi mudah mempelajari bahasa asing seperti bahasa Inggris dan Jerman—termasuk pelajaran di SMA pada 1950-an.

Bahasa Inggris saya cukup bagus hingga sekarang terutama dalam berbicara, walaupun saya tidak pernah mengikuti kursus bahasa Inggris secara khusus. Saya belajar bahasa Inggris hanya di SMP dan SMA saja dan mempraktekkannya kemudian. Aksen saya juga menjadi lebih ”lemas”, tidak kaku, atau medhok sehingga memudahkan dalam mengucapkan kata-kata asing.

Ketika pada 1971 saya pergi ke Belanda dan tinggal selama hampir setahun di sini, saya juga tidak mengalami apa yang disebut sebagai cultural shock. Sesudah akhir 1950-an, jumlah orang bule secara drastis berkurang terutama setelah pengusiran orang-orang Belanda pada 1957 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing khususnya Belanda dan Inggris sesudah itu.

Selama 1960-an, saya kira sedikit sekali terdapat orang bule baik yang tinggal maupun yang datang ke Jakarta, sebelum mereka mulai berdatangan kembali sesudah 1970-an. Jumlahnya tidak pernah sampai sebanyak seperti pada permulaan 1950-an, kecuali mungkin di tempat-tempat pariwisata terkenal seperti Pulau Bali.


Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Firman Lubis, Jakarta 1950-1970-an. Bukunya tersedia di TokopediaBukaLapak,Shopee atau kontak langsung ke 081385430505

LEAVE A REPLY